Definisi dan Diagnosis Dermatitis Atopik Intrinsik dan Ekstrinsik

I. Aspek Historis – Konsep Atopi dan Penemuan IgE

Pada tahun 1923 Coca dan Cooke memperkenalkan istilah “atopy” yang menunjuk pada fenomena hypersensitifitas pada manusia. Atopy diambil dari bahasa Yunani yang berarti “tidak pada tempatnya” atau “penyakit aneh”. Atopi dalam konsep Coca dan Cooke adalah penyakit yang diwariskan, terbatas pada sekelompok kecil manusia, berbeda dengan anafilaksis, yang menunjuk pada kekurangan proteksi, alergi, reaktifitas normal dan terganggu, keduanya bisa juga ditimbulkan secara eksperimental pada manusia dan pada hewan, yang secara kualitatif merupakan respon abnormal yang terjadi hanya pada individu tertentu (atopi), secara klinis ditandai dengan hay fever dan asma bronkial, dan terkait dengan reaksi-reaksi kulit tipe-sedang.
Para peneliti ini ingin memaparkan bahwa kecenderungan bawaan atau familial – yang tidak terjadi pada keadaan normal – ditimbulkan secara alami terhadap zat-zat tertentu dalam lingkungan, seperti debu dalam rumah, serbuk, atau makanan, dan menghasilkan reaksi hypersensitifitas seperti hay fever dan asma, yang terkait dengan reaksi-reaksi kulit tipe langsung. Disini Coca dan Cooke tidak mengetahui penelitian dari Prausnitz dan Kiistner, yang dipublikasikan di tahun 1921, tentang transfer pasif hypersensitifitas langsung pada manusia melalui serum. Akan tetapi, 2 tahun kemudian Coca dan Grove mendefinisikan “atopic reagin” sebagai zat-zat yang beraksi khusus dalam serum individu atopik yang bisa ditunjukkan dengan uji Prausnitz-Klistner. Dalam definisi atopi pertama mereka, Coca dan Cooke hanya memasukkan rhinitis alergi dan asma bronkial. Wise dan Sulzberger membahas pada tahun 19933 dalam Year Book of Dermatologi and Shypilogy tentang kondisi-kondisi eczema, neurodermatitis, lichenifikasi, dan “prurigo diathesiques” yang ditemukan oleh ahli kulit Perancis Besnier dan Brocq dan disebutkan dalam catatan kaki bahwa:

Semua bentuk penyakit ini adalah lichenifikasi rampat dan terlokalisasi dengan tipe yang hampir sama, sekurang-kurangnya dalam pertumbuhan awal sebagai entitas yang berbeda dan jelas. Ini kemungkinan paling baik disebut sebagai dermatitis atopik, tetapi umum diketahui sebagai neurodermitis rampat atau pruritus difusif dengan lichenifikasi. Ini ditandai dengan faktor-faktor berikut: (1) riwayat keluarga atopik, (2) eczema anak-anak sebelumnya, (3) lokalisasi pada ruang-ruang antecubital dan politeal, bagian anterior leher dan dada dan wajah, khususnya kelopak mata, (4) keberadaan warna kulit yang keabu-abuan atau kecoklatan, (5) tidak adanya gelembung sejati, secara klinis dan histologis, (6) ketidakstabilan vasomotor dan keteriritasian, (7) uji patch biasanya negatif dengan berbagai alergen kontak, (8) banyak reaksi positif tipe langsung atau uji intradermal dan (9) keberadaan banyak reagin dalam serum darah.

Banyak penelitian populasi, khususnya dilakukan oleh Schwartz dan oleh Schnyder, dan penelitian-penelitian lanjutan terhadap anak yang pertama kali ditemukan mengalami eczema anak, mendukung adanya hubungan dekat antara asma bronkial, hay fever, rhinitis perennial, dermatitis atopik, dan beberapa alergi makanan dengan penyakit atopik klasik. Di akhir tahun 1960an, Ishizaka dan Ishizaka dan Johansson mengidentifikasi golongan immunoglobulin baru, antibodi IgE, sebagai karier reaktivitas reaginat, yang muncul pada individu atopik, dan dengan demikian, merupakan karakteristik kondisi atopik. Tidak berapa lama stelah penemuan molekul IgE dibuktikan bahwa kadar IgE serum pada dermatitis atopik meningkat dan peningkatan IgE serum ini terkait dengan peningkatan IgE spesifik terhadap beberapa alergen lingkungan. Lebih lanjut, dibuktikan bahwa keparahan dermatitis atopik sangat berkorelasi dengan kadar IgE serum. Akan tetapi, diamati bahwa dalam bentuk sedang atau ringan dan bahkan pada beberapa kasus dermatitis atopik parah tanpa asma bronkial atau rhinitis alergi, nilai IgE berada dalam rentang normal.

Akan tetapi, beberapa tahun setelah itu, tampak jelas bahwa kritieria awal untuk menentukan atopy berdasarkan definisi Coca dan Cooke tidak lagi bisa diterima karena (1) penyakit atopik bisa juga nonfamilial, (2) asma “intrinsik” juga memiliki faktor bawaan, (3) hewan bisa mengalami hay fever, asma, dan dermatitis atopik dan menghasilkan antibodi reaginat, dan (4) mengalami kembali penyakit bukanlah respon abnormal kualitatif. Pada tahun 1976, Spector dan Farr membahas karakteristik imunologi dan farmakologi berbeda dari individu atopik dan subjek asma, seperti kadar IgE meningkat, fungsi sel-T terganggu, daya-respon resepetor β-adrenergik berkurang, dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa diperlukan definisi yang lebih realisitis dari istilah alergi dan atopy dan untuk penggunaan istilah yang lebih disiplin. Pada tahun 1979 Lowell mengusulkan memperbaharui atopy mencakup sindrom pernafasan asma dan rhinitis, alergik (diperantarai IgE) atau non alergi, yang memiliki predisposisi genetik, eosinofilia, dan hyperaktivitas yang sama dengan agen adrenergik, dan merespon terhadap steroid. Akan tetapi, para peneliti ini, seperti Coca dan Cooke, telah menghilangkan dermatitis atopik dalam definisi atopy.

II. Definisi dan Gambaran Klinis Dermatitis Atopik

Sampai pada akhir tahun 1970an, sekurang-kurangnya ada 12 sinonim dermatitis atopik yang digunakan, dan tidak jelas apakah nama-nama ini menggambarkan konsep klinis yang sama. Kriteria kesepakatan Hanifin dan Fajka di tahun 1980 menjadi batu loncatan yang penting dalam menyatukan gambarna klinis dermatitis atopik dan merupakan kriteria yang paling banyak dirujuk dan banyak diterapkan berkenaan dengan diagnosis dermatitis atopik (eczema atopik) (Tabel I). Mereka mengatakan bahwa “saat ini kadar IgE darah yang meningkat hanya bisa dianggap sebagai salah satu gambaran penyakit, kemungkinan mencerminkan kontrol disfungsional dari sel-sel yang menghasilkan immunoglobulin. Sebagai sebuah uji praktis, kadar IgE serum hanya sedikit membantu baik dalam diagnosis maupun prognosis pada situasi klinis.” Kriteria diagnostik lain yang ditemukan di Jerman oleh Diepgen dan rekan-rekannya dan di Inggris oleh Williams dan rekan-rekannya lebih bermanfaat untuk tujuan epidemiologik yang digunakan oleh non ahli-kulit dalam penelitian-penelitian yang berbasis populasi. Mereka tidak menganggap kadar IgE yang menngkat dan reaktifitas kulit tipe langsung positif sebagai prasyarat mutlak untuk mendiagnosa dermatitis atopik. Kriteria Lillehammer di tahun 1994 (Tabel 2) didasarkan pada ide bahwa distribusi dermatitis atopik bisa berbeda pada fase bayi, anak-anak dan dewasa:
1.Kriteria klinis berpusat pada dermatitis di daerah khas yang lebih besar
2.Untuk penyederhanaan, kriteria anamnestik identik dalam ketiga fase
3.Kriteria laboratorium untuk IgE dan uji tusukan kulit telah ditempatkan secara terpisah.
4.Kriteria teridiri dari durasi tertentu dari penyakit

Disamping dermatitis atopik lengkap, ada manifestasi penyakit kecil atau atipikal. Deskripsi bentuk-bentuk ini ditemukan oleh peneliti Perancis di pertengahan tahun 1960an dan di awal tahun 1970an dan Herzberg di Jerman. Bentuk-bentuk khusus dan varian-varian kecil ini bisa terjadi sendiri, bersamaan, atau bergantian dengan bentuk eczematous tipikal, lichenoid,  pruriginous, dan seborheik, yang kejadiannya terkait dengan usia, predisposisi individu, dan durasi penyakit – tanda dari statusnya sebagai manifestasi kulit atopik. Bentuk-bentuk kenampakan yang khusus ini menarik perhatian karena merupakan varian klinis dan morfologis dan karena tempa-tempat terjadinya yang khusus, seperti kelopak mata, bibir, puting susu, vulva, telapak tangan dan telapak kaki. Disamping manifestasi-manifestasi berbeda dan konsekuensi dermatitis atopik, temuan-temuan fisik bisa dianggap sebagai penanda manifestasi kulit atopik (Tabel 3). Lebih lanjut, sebuah kelompok penyakit heterogen telah ditemukan terkait dengan dermatitis atopik, tetapi kondisi-kondisi ini tidak bisa diinterpretasi sebagai manifestasi langsung atau konsekuensi dari penyakit atopik.

Peneliti Denmark, Mygind dkk. menuliskan dalam bukunya pada bab penyakit Atopik, bahwa: (1) “Apabila penderita dermatitis atopik terpapar terhadap sedikit jumlah alergen di udara, maka mereka perespon dengan produksi antibodi IgE secara terus menerus,” (2) “status atopik dari seseorang bisa ditentukan dengan uji kulit berdasarkan aero-alergen umum,” dan (3) penyakit atopik yang paling umum adalah dermatitis atopik, rhinitis alergi dan asma.” Lebih lanjut: “meskipun rhinitis alergi dan asma adalah penyakit yang dimediasi IgE, dermatitis atopik pada kebanyakan kasus hanya terkait dengan IgE. Dengan kata lain, rhinitis alergik dan asma adalah penyakit atopik dan alergik dimana gejala-gejalanya adalah akibat dari keterpaparan alergen, meskipun dermatitis atopik merupakan sebuah penyakit atopik tetapi bukan penyakit alergi, karena gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh keterpaparan alergen. Masih membingungkan bahwa sebuah penyakit atopik bisa alergik dan non-alergik.”

Tentu tidak semua pasien yang memiliki fenotip klinis dari dermatitis atopik tersensitisasi terhadap alergen. Ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa sub-tipe klinis dari dermatitis atopik terjadi tanpa produksi IgE yang meningkat dan uji kulit negatif tipe langsung. Untuk tipe ini, para peneliti mengusulkan istilah dermatitis atopik “intrinsik” yang analog dengan tipe asma intrinsik. Dari sudut pandang klinis, tipe dermatitis atopik “murni” yang tidak memiliki gejala respirasi terkait, seperti rhinitis dan asma, dan tipe dermatitis atopik “campuran” yang disertai alergi, bisa dipisahkan; pada tipe yang terakhir ini, sebuah sensitisasi IgE yang hampir polivalen terhadap alergen hirup dan makanan menjadi petunjuk diagnosis. Berdasarkan pemeriksaan alergologi, tipe dermatitis atopik “murni” bisa lebih lanjut dibagi menjadi tipe “ekstrinsik” dan “intrinsik” (Gbr. 1). Tipe “intrinsik” ditandai dengan kriteria berikut: (1) fenotip klinis dari dermatitis atopik yang sesuai dengan kriteria Hanifin dan Rajka; (2) tidak ada penyakit atopik lain seperti rhinokonjungtivitis, asma, urtikaria akut, atau alergi makanan; (3) uji tusukan kulit dan uji intrakutaneous untuk aeroalergen atau alergen makanan yang umum memberikan hasil negatif; (4) total kadar IgE serum berada dalam rentang normal untuk bayi, anak-anak, dan dewasa; (5) screening in vitro negatif untuk IgE spesifik yang umum bagi aeroalergen dan alergen makanan (seperti Phadiatop atau SX), sebuah multi-RAST yang mengandung delapan alergen hirup yang dikenal, yakni debu rumah tangga, timothy, gandum, pohon birch dan serbuk mugwort, epithelia kucing dan anjing serta cendawan Cladosporium, FX, campuran makanan yang mengandung susu, putih telur, terigu, ikan, kacang, dan kedelai.

Pada bagian berikut kami menekankan berbagai aspek subtipe khusus dari dermatitis atopik ini. Perbedaan antara kedua tipe ini bukan hanya dari segi teori. Klasifikasi dermatitis atopik menjadi tipe ekstrinsik dengan sensitisasi khusus terhadap alergen dan menjadi tipe intrinsik tanpa sensitisasi khusus tampaknya cukup bermanfaat karena sensitisasi spesifik secara signifikan berkorelasi dengan kondisi kulit lebih parah dan perjalanan penyakit yang lebih lama. Dokter dan pasien harus mengetahui apakah penghindaran alergen dan pencegahan sekunder bisa bermanfaat, seperti pada tipe ekstrinsik. Untuk tipe intrinsik, onset penyakit pernapasan selanjutnya kelihatannya tidak mungkin; pencegahan asma secara farmakologi misalnya, dengan pengobatan jangka panjang menggunakan cetirizin, sebuah antagonis H-histamin dengan sifat-sifat anti-inflam    Disamping dermatitis atopik lengkap, ada manifestasi penyakit kecil atau atipikal. Deskripsi bentuk-bentuk ini ditemukan oleh peneliti Perancis di pertengahan tahun 1960an dan di awal tahun 1970an dan Herzberg di Jerman. Bentuk-bentuk khusus dan varian-varian kecil ini bisa terjadi sendiri, bersamaan, atau bergantian dengan bentuk eczematous tipikal, lichenoid,  pruriginous, dan seborheik, yang kejadiannya terkait dengan usia, predisposisi individu, dan durasi penyakit – tanda dari statusnya sebagai manifestasi kulit atopik. Bentuk-bentuk kenampakan yang khusus ini menarik perhatian karena merupakan varian klinis dan morfologis dan karena tempa-tempat terjadinya yang khusus, seperti kelopak mata, bibir, puting susu, vulva, telapak tangan dan telapak kaki. Disamping manifestasi-manifestasi berbeda dan konsekuensi dermatitis atopik, temuan-temuan fisik bisa dianggap sebagai penanda manifestasi kulit atopik (Tabel 3). Lebih lanjut, sebuah kelompok penyakit heterogen telah ditemukan terkait dengan dermatitis atopik, tetapi kondisi-kondisi ini tidak bisa diinterpretasi sebagai manifestasi langsung atau konsekuensi dari penyakit atopik.

Peneliti Denmark, Mygind dkk. menuliskan dalam bukunya pada bab penyakit Atopik, bahwa: (1) “Apabila penderita dermatitis atopik terpapar terhadap sedikit jumlah alergen di udara, maka mereka perespon dengan produksi antibodi IgE secara terus menerus,” (2) “status atopik dari seseorang bisa ditentukan dengan uji kulit berdasarkan aero-alergen umum,” dan (3) penyakit atopik yang paling umum adalah dermatitis atopik, rhinitis alergi dan asma.” Lebih lanjut: “meskipun rhinitis alergi dan asma adalah penyakit yang dimediasi IgE, dermatitis atopik pada kebanyakan kasus hanya terkait dengan IgE. Dengan kata lain, rhinitis alergik dan asma adalah penyakit atopik dan alergik dimana gejala-gejalanya adalah akibat dari keterpaparan alergen, meskipun dermatitis atopik merupakan sebuah penyakit atopik tetapi bukan penyakit alergi, karena gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh keterpaparan alergen. Masih membingungkan bahwa sebuah penyakit atopik bisa alergik dan non-alergik.”

Tentu tidak semua pasien yang memiliki fenotip klinis dari dermatitis atopik tersensitisasi terhadap alergen. Ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa sub-tipe klinis dari dermatitis atopik terjadi tanpa produksi IgE yang meningkat dan uji kulit negatif tipe langsung. Untuk tipe ini, para peneliti mengusulkan istilah dermatitis atopik “intrinsik” yang analog dengan tipe asma intrinsik. Dari sudut pandang klinis, tipe dermatitis atopik “murni” yang tidak memiliki gejala respirasi terkait, seperti rhinitis dan asma, dan tipe dermatitis atopik “campuran” yang disertai alergi, bisa dipisahkan; pada tipe yang terakhir ini, sebuah sensitisasi IgE yang hampir polivalen terhadap alergen hirup dan makanan menjadi petunjuk diagnosis. Berdasarkan pemeriksaan alergologi, tipe dermatitis atopik “murni” bisa lebih lanjut dibagi menjadi tipe “ekstrinsik” dan “intrinsik” (Gbr. 1). Tipe “intrinsik” ditandai dengan kriteria berikut: (1) fenotip klinis dari dermatitis atopik yang sesuai dengan kriteria Hanifin dan Rajka; (2) tidak ada penyakit atopik lain seperti rhinokonjungtivitis, asma, urtikaria akut, atau alergi makanan; (3) uji tusukan kulit dan uji intrakutaneous untuk aeroalergen atau alergen makanan yang umum memberikan hasil negatif; (4) total kadar IgE serum berada dalam rentang normal untuk bayi, anak-anak, dan dewasa; (5) screening in vitro negatif untuk IgE spesifik yang umum bagi aeroalergen dan alergen makanan (seperti Phadiatop atau SX), sebuah multi-RAST yang mengandung delapan alergen hirup yang dikenal, yakni debu rumah tangga, timothy, gandum, pohon birch dan serbuk mugwort, epithelia kucing dan anjing serta cendawan Cladosporium, FX, campuran makanan yang mengandung susu, putih telur, terigu, ikan, kacang, dan kedelai.

Pada bagian berikut kami menekankan berbagai aspek subtipe khusus dari dermatitis atopik ini. Perbedaan antara kedua tipe ini bukan hanya dari segi teori. Klasifikasi dermatitis atopik menjadi tipe ekstrinsik dengan sensitisasi khusus terhadap alergen dan menjadi tipe intrinsik tanpa sensitisasi khusus tampaknya cukup bermanfaat karena sensitisasi spesifik secara signifikan berkorelasi dengan kondisi kulit lebih parah dan perjalanan penyakit yang lebih lama. Dokter dan pasien harus mengetahui apakah penghindaran alergen dan pencegahan sekunder bisa bermanfaat, seperti pada tipe ekstrinsik. Untuk tipe intrinsik, onset penyakit pernapasan selanjutnya kelihatannya tidak mungkin; pencegahan asma secara farmakologi misalnya, dengan pengobatan jangka panjang menggunakan cetirizin, sebuah antagonis H-histamin dengan sifat-sifat anti-inflammatory, tidak diindikasikan. Terakhir, para peneliti harus mengkaji dermatitis atopik intrinsik secara khusus karena temuan klinis dan immunologi pada sub kelompok ini. Dan juga pada penelitian-penelitian genetik, pemisahan pasien yang memiliki dermatitis atopik saja (dengan atau tanpa IgE spesifik) dari pasien yang memiliki manifestasi atopik tambahan cukup bermanfaat karena salah satu penjelasannya adalah keduanya memiliki gen kerentanan penyakit yang sama.

III. Epidemiologi dan Gambaran Klinis Dermatitis Atopik Intrinsik

Persentase pasien dermatitis atopik yang memiliki tipe intrinsik bervariasi diantara populasi penelitian mulai dari 10% sampai sekitar 50% tergantung pada kelompok usia, perekrutan rumah sakit atau survei epidemiologi, dan metode-metode yang digunakan untuk menilai sensitisasi alergi (uji kulit saja dan/atau serologi) (lihat Tabel 4). Dalam penelitian klinis-immunohistologi kami, berdasarkan pada pasien rawat inap dewasa yang mengalami pemeriksaan alergologi ekstensif, frekuensi tipe intrinsik diantara semua pasien dermatitis atopik bervariasi antara 10 sampai 40%. Meskipun prevalensi keseluruhan dari dermatitis atopik ekstrinsik pada anak-anak usia pra-sekolah – yang dinilai dengan uji tusukan kulit dengan enam aeroalergen umum (pohon birch, rumput, serbuk mugwort, debu rumah tangga, kucing, dan Cladosporium) dan dua alergen makanan (telur ayam, susu sapi) – tidak berbeda antara pasien di Jerman timur (4,9%; n = 1926) dan Jerman barat (4m8%; n = 2076), prevalensi tipe intrinsik ditemukan hampir dua kali lipat lebih tinggi di Jerman timur (8,5%) dibanding di barat (4,7%). Ini menunjukkan bahwa faktor selain sensitisasi alergi memberikan kontribusi bagi manifestasi penyakit ini. Pada sebuah penelitian genetik skala besar yang bertujuan mengidentifikasi gen kerentanan untuk dermatitis atopik melalui analisis pertalian terhadap 1097 pasangan saudara yang terkena (usia rata-rata 29 tahun; rentang 4-48 tahun) dari 481 keluarga berbeda, 74% memiliki kadar serum IgE total dan/atau IgE spesifik alergen yang meningkat. Sehingga, 26% termasuk tipe intrinsik.

Secara klinis, pasien dengan dermatitis atopik intrinsik cenderung memiliki onset penyakit yang lambat, tetapi meski begitu riwayat keluarga dan lamanya penyakit terlihat mirip. Seperti yang umumnya ditemukan pada dermatitis atopik, kecenderungan pada wanita juga telah diamati pada dermatitis atopik intrinsik. Distribusi dan gambaran klinis lesi kulit tidak berbeda. Distribusi “tipe kepala-dan-leher” yang lebih umum juga telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian, yang mana merupakan karakteristik dermatitis atopik yang terkait dengan sensitisasi terhadap fungi, utamanya Pityrosporum ovale. Karena P. Ovale tidak diuji secara rutin pada SPT dan ekstrak baku tidak tersedia, maka ini bisa menjadi penyebab hilangnya sensitisasi IgE. Perbedaan histologi tidak diamati. Gambaran sederhana dari spongiosis dan infiltrasi limfotik pada lesi tahap akut dan acanthosis pada tahapan yang lebih kronis cukup mirip pada kedua bentuk dermatitis atopik.

IV. Kemiripan dan perbedaan imunologi antara dermatitis atopik ekstrinsik dan intrinsik

berbagai parameter imunologi telah diamati pada sel-sel darah perifer dan pada sel-sel dari sampel-sampel biopsi kulit berlesi atau reaksi uji patch (Tabel 5).

A. Sel T

Pengamatan klinis dan berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sel T adalah termasuk sel paling penting yang terlibat dalam patogenesis dermatitis atopik. Infiltrat dermal sebagian besar terdiri dari sel CD4+ dan CD8+ teraktivasi dengan rasio CD4+/CD8+ yang mirip dengan yang ada pada daerah perifer. Aeroalergen, alergen makanan, dan superantigen terlibat dalam aktivasi sel-sel T. Berbagai perbedaan immunologi antara dermatitis atopik intrinsik dan dermatitis atopik ekstrinsik telah ditemukan pada pola sitokin dari sel-sel T yang terlibat serta dalam daerah perifer seperti pada temuan kulit berlesi. Begitu juga sebuah pola sitokin diferensial dalam supernatan limfosit daerah perifer dan pasien kulit yang ditunjukkan oleh Kagi dkk. pada total 33 pasien. Aktivasi sel-T terjadi pada kedua bentuk dermatitis, sebagaimana dapat diukur dengan ekspresi limfosit IL-2R+ dan HLA-DR+ terlarut. Berbeda dengan itu, 19 pasien yang memiliki dermatitis atopik ekstrinsik tidak mengekspresikan kadar IL-4 dan IL-5 yang meningkat, sedangkan pada 14 pasien yang mengalami dermatitis atopik intrinsik ditemukan kadar IL-5 yang tinggi tetapi kadar IL-4 yang rendah. Aktivasi sel-B yang meningkat oleh ekspresi CD23 yang bertambah (FcrIgERII) pada dermatitis atopik ekstrinsik telah diamati pada berbagai penelitian. Disamping itu, sel T kulit teraktivasi yang mengekspresikan reseptor kulit selektif, antigen terkait limfosit kutaneous (CLA), menginduksi IgE utamanya melalui IL-13 dan memperlama waktu hidup eosinofil, utamanya melalui IL-5. Karena IL-4 dan IL-13 mengaktivasi sel B, ekspresi penanda permukaan sel B yang menurun, CD22 (FcrRII), yang ditemukan pada dermatitis atopik intrinsik kemungkinan merupakan konsekuensi dari kadar IL-14/IL-13 rendah yang ditemukan di tempat ini. Selain dari IgE pengikat, CD23 tampaknya menjadi regulator IgE negatif tetapi juga memiliki regulatory positif pada titer-titer IgE pada beberapa kondisi. Dengan demikian, ekspresi CD23/FcrRII yang berkurang bisa menjadi efek sekunder dari produksi IL-4/IL-13 yang berkurang pada dermatitis atopik intrinsik sebagai sebuah penyebab utama perbedaan kadar IgE.

Dalam kulit, gambaran immunohistologi dari lesi-lesi eczematous pada dermatitis atopik hanya sesuai pada tahap akut dengan respon Th2 (dengan IL-4, IL-5, dan IL-13 meningkat) sedangkan lesi-lesi kronis menunjukkan pola yang lebih mirip Th1 dengan kadar IL-12 dan IFN-γ yang meningkat. Menariknya, IFN γ, sebuah sitokin penting yang terlibat dalam induksi apoptosis termediasi sel T pada eczema, menunjukkan tidak ada perbedaan antara dermatitis atopik intrinsik dan ekstrinsik. Sebaliknya, Akdis dkk. menunjukkan produksi IL-5 dan IL-13 yang berkurang dalam infiltrat selular dermal pada dermatitis atopik intrinsik dibanding dengan dermatitis atopik ekstrinsik. Sehingga, sel-sel T yang diisolasi dari biopsi-biopsi kulit dermatitis atopik ekstrinsik memicu produksi IgE termediasi IL-13 yang tinggi pada kultur bersama dengan sel B normal, sedang sel tipe intrinsik tidak.

Sebagai kesimpulan, pada dermatitis atopik sel-sel T teraktivasi menembus kulit dan mensekresikan sitokin. Dua tipe dermatitis atopik tercerminkan dalam pola sitokin ini: dermatitis atopik ekstrinsik dengan IL-5, IL-3 yang tinggi dan beberapa IFN-γ dan dermatitis atopik intrinsik dengan IL-5, IL-3 rendah, dan juga beberapa IFN-γ.

B. Eosinofil, sel mast, dan basofil

Eosinofil adalah penanda reaksi inflammatory tahap-akhir pada asma dan inflamasi alergik lainnya. Pada asma dan dermatitis atopik eosinofil direkrut secara diferensial ke individu sehat. Apoptosis eosinofil yang lama memegang peranan penting dalam patogenesis asma. Fenomena ini lebih lanjut ditunjukkan dalam dermatitis atopik; akan tetapi, peranan eosinofil dalam dermatitis atopik jauh lebih kurang jelas. Protein granula toksik eosinofil serta chemokin attraktif eosinofil seperti eotaksin dan reseptornya meningkat pada kulit berlesi. Eosinofil tidak hanya merupakan sel efektor, mereka juga memegang peranan immunoregulatory aktif; dengan demikian, mereka bisa memegang peranan penting dalam pergeseran dari pola Th2-sitokin pada lesi akut dermatitis atopik menjadi pola yang lebih mirip Th1 pada tahap kronis. Eosinofil dan protein kation eosinofil (ECP) sering meningkat pada dermatitis atopik intrinsik maupun ekstrinsik.

Sel-sel mast dan basofil memediasi hypersensitifitas tipe langsung klasik, dipicu melalui pengikatan silang (ditimbulkan alergen) antibodi IgE spesifik yang terikat pada sel-sel mast melalui reseptor-reseptor berafinitas tinggi. Kecuali reaksi urtikaria akut, mekanisme-mekanisme ini mungkin tidak penting dalam manifestasi klinis dermatitis atopik. Disamping itu, sel-sel mast melepaskan banyak chemokin dan sitokin, yang memberikan kontribusi bagi perekrutan dan aktivasi sel-sel lain, khususnya eosinofil, dan menginduksi inflamasi jaringan lokal seperti IL-4 dan IL-13. Perbedaan pada kadar sel mast tidak diharapkan pada dermatitis atopik, karena reaksi-reaksi alergi tipe langsung sangat terlibat. Sejauh ini pengamatan-pengamatan yang membandingkan sel mast dan basofil dari dua bentuk dermatitis atopik belum dilaporkan.

C. Sel-sel penampak antigen

Respon kekebalan terhadap protein-protein asing sangat tergantung pada efisiensi dan selektivitas penyerapan antigen oleh sel-sel penampak antigen (APC). Dengan demikian, APC memegang peranan penting juga dalam asma dan dermatitis atopik. Sel-sel Langerhans (LC) dan sel dendritik epidermal (EDC) sebagai sel penghuni kulit telah terbukti memegang peranan penting dalam penyakit ini. Reseptor berafinitas tinggi untuk IgE (FcRI) telah ditunjukkan tidak hanya pada sel-sel batang dan basofil, tetapi juga pada LC dan EDC. Ekspresi yang meningkat dari reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcrRI) pada sel-sel dendritik epidermal (DC) dari kulit lesi dan non-lesi pasien dermatitis atopik telah ditemukan. Oppel dkk. menunjukkan ekspresi FcRI yang lebih rendah pada EDC pada pasien yang mengalami dermatitis atopik intrinsik dibanding dengan dermatitis atopik ekstrinsik dengan penentuan tipe EDC menggunakan sitometri alir karena menunjukkan rasio ekspresi FcrRI/FcrRII >1,5 dibanding dengan dermatitis atopik intrinsik yang memiliki nilai sekitar 0,5. Masih belum jelas apakah kadar FcrRI yang ditemukan dalam EDC merupakan penyebab atau dampak dari IgE lokal atau IgE darah yang lebih rendah. Sel-sel lain seperti sel mast dan FcrRI basofil diupregulasi oleh konsentrasi IgE serum. Tidak tergantung pada mekanisme dasar, temuan-temuan ini memperjelas perbedaan karakteristik inflammatory antara dermatitis atopik intrinsik dan ekstrinsik.

IV. Kesimpulan

Dermatitis atopik intrinsik merupakan sebuah sub-tipe dermatitis atopik yang memenuhi kriteria diagnostik paling umum, tetapi pasien menunjukkan tidak ada peningkatan IgE darah secara keseluruhan maupun yang spesifik dan uji kulit tipe-langsung negatif. Kesimpulan kami, berdasarkan pengalaman dan telaah pustaka, berbeda dengan kriteria milenium untuk diagnosis dermatitis atopik yang dirumuskan oleh Bos dan rekan-rekannya, yang menganggap keberadaan IgE spesifik-alergen sebagai petunjuk pasti untuk diagnosis dermatitis atopik. Kriteria Asosiasi Dermatologi Jepang untuk diagnosis dermatitis atopik menekankan bahwa kebanyakan orang dengan dermatitis atopik memiliki diatesis atopik – didefinisikan sebagai memiliki riwayat pribadi dan produksi antibodi IgE yang berlebihan. Akan tetapi, Uhera telah berulang kali menunjukkan bahwa ada pasien dermatitis atopik Jepang yang tidak memiliki mekanisme hypersensitifitas yang diperantarai IgE. Peneliti jepang yang lain adalah yang pertama dalam menunjukkan bahwa beberapa pasien dermatitis atopik memiliki uji patch atopy positif terhadap aeroalergen tanpa sensitisasi IgE. Hasil uji patch atopy dengan aeroalergen dan IgE spesifik (sIgE) bisa digunakan untuk membagi pasien dermatitis atopik menjadi empat sub kelompok berbeda: (1) + APT dan – sIgE, (2) + APT dan + sIgE, (3) – APT dan + sIgE, dan (4) – APT dan – sIgE. Masing-masing sub kelompok memiliki morfologi klinis tertentu, sehingga menunjukkan heterogeneitas dari penyakit ini. Temuan imunologi moderen tentang pola aktivasi terkait sel Th2 dari dermatitis atopik memungkinkan pendefinisian ulang istilah atopy. Definisi ini bisa mencakup sindrom-sindrom pernapasan berupa asma dan rhinitis dan manifestasi kulit atopik, yang memiliki predisposisi genetik sama, hyperaktivitas organ target terhadap agen-agen farmakologi (hyperreaktivitas cholinergik dan hyperrespon α-adrenergik) atau terhadap iritan, dan secara imunologi sebuah sel Th2 merespon terhadap alergen (eksogen atau endogen) dengan produksi sIgE fakultatif, dan aktivasi eosinofil (Gbr. 2). Sejauh ini, tipe-tipe ekstrinsik dan intrisik dari asma, rhinitis, dan eczema mewakili sebuah manifestasi atopik (Gbr. 3). matory, tidak diindikasikan. Terakhir, para peneliti harus mengkaji dermatitis atopik intrinsik secara khusus karena temuan klinis dan immunologi pada sub kelompok ini. Dan juga pada penelitian-penelitian genetik, pemisahan pasien yang memiliki dermatitis atopik saja (dengan atau tanpa IgE spesifik) dari pasien yang memiliki manifestasi atopik tambahan cukup bermanfaat karena salah satu penjelasannya adalah keduanya memiliki gen kerentanan penyakit yang sama.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital