Prinsip Imunoasai Hamburan Cahaya

Imunoasai yang didasarkan pada pengukuran cahaya yang dihamburkan atau diserap adalah perluasan dari prinsip-prinsip pokok yang mendasari uji agglutinasi lateks. Perubahan cahaya yang dihamburkan atau diserap oleh larutan Ab (atau Ag) digunakan untuk mengukur jumlah Ag (atau Ab) yang menyebabkan reaksi pengendapan Ab-Ag imunologis atau reaksi agglutinasi (jika lateks digunakan).
   
Dalam imunoasai hamburan-cahaya dasar, antigen-antigen polivalen bereaksi dengan antibodi-antibodi divalen membentuk kompleks-kompleks yang besar, antibodi ini secara efektif membentuk sebuah jembatan antara molekul-molekul antigen. Sebuah antigen protein, yang bisa dianggap multivalen, dengan kemungkinan banyak salinan epitop sama serta epitop berbeda, bisa menghasilkan kompleks imun besar yang tersusun atas beberapa molekul.

1. Turbidimetri
   
Turbidimetri adalah pengukuran spesies hamburan-cahaya dalam larutan dengan memanfaatkan penurunan intensitas berkas masuk setelah dilewatkan melalui larutan. Untuk uji turbidimetri, perubahan cahaya yang diserap (kebalikan dari jumlah yang ditransmisikan) bisa dikaitkan dengan jumlah agglutinasi yang terjadi. Dengan demikian, jumlah analit (spesies yang menyebabkan agglutinasi) dalam sampel bisa ditentukan dengan mudah.

II. Imunoasai Tertingkatkan Partikel (particle-enhanced)

A. Format-Format Asai
   
Gambar 3a mengilustrasikan sebuah format yang dikenal sebagai aglutinasi langsung. Format ini bisa digunakan untuk pemantauan turbidimetri atau nefelometri, dan hanya berguna untuk antigen-antigen polivalen, seperti protein dan mikroorganisme. Disini, jumlah antibodi yang berkonyugasi dengan mikrosfer bisa berbeda-beda, karena terdapat dalam jumlah antigen berlebihan pada sampel (utamanya pada atau di dekat titik ekivalensi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1).
   
Gambar 3b mengilustrasikan sebuah format yang dikenal sebagai inhibisi kompetitif aglutinasi. Format ini paling sering digunakan untuk mengukur antigen-antigen monovalen, seperti hapten. Antigen bisa ditempelkan secara langsung ke permukaan mikrosfer, atau bisa dipasangkan dengan karier, seperti sebuah protein. Albumin serum bovin sering digunakan untuk tujuan ini. Disini, kesensitifan asai berbanding terbalik dengan jumlah antigen yang berkonyugasi dengan permukaan mikrosfer; semakin rendah muatan, semakin besar kesensitifan. Akan tetapi, konsentrasi antigen yang terkonyugasi-permukaan harus cukup tinggi untuk memungkinkan pembentukan agregasi pada konsentrasi analit nol, agar dapat mengukur konsentrasi baseline yang cocok untuk asai.

B. Instrumentasi Asai

1. Spektrofotometer/Analiser Sentrifugal Cepat
   
Pengukuran dengan turbidimetri bisa dilakukan dengan sebuah spektrofotometer, dan sinyal yang dihasilkan akan menjadi fungsi dari beberapa faktor, termasuk panjang gelombang monokromator, lebar-pita spektra, cahaya menyimpang, panjang jalur kuvet dan geometri, sumber cahaya, dan stabilitas detektor. Karena kecanggihan spektrofotometer terus meningkat dari tahun ke tahun, maka popularitas penggunaannya sebagai turbidimeter dalam tipe asai ini juga meningkat. Analiser sentrifugal dan analiser tersendiri lainnya, dimana reaksi kuvet atau optik dirotasi sedang yang lainnya tetap dalam keadaan stasioner, menghasilkan sebuah mode scanning reguler dengan tergantung pada waktu, juga telah dibuktikan sebagai turbidimeter yang sangat tepat.

C. Parameter-Parameter Asai
   
Dua pertimbangan utama ketika memilih mikrosfer yang tepat untuk format-format imunoasai hamburan-cahaya adalah ukuran dan distribusi ukurannya.
   
Mikrosfer yang yang paling baik dalam menghamburkan cahaya memiliki diameter yang kira-kira sama dengan panjang gelombang cahaya yang dihamburkan. Dengan demikian, untuk sinar tampak (λ = 380-770nm), mikrosfer yang paling baik untuk menghamburkan cahaya memiliki diameter 380-770nm (0,38-0,77μm). Mikrosfer di luar rentang diameter ini tidak akan menghamburkan cahaya dengan sama baiknya. Secara teoritis, pendeteksian dimer (doublet) akan menghasilkan asai yang paling sensitif, dan ini akan dimaksimalkan untuk ukuran partikel yang setengah dari panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk iluminasi. Dalam prakteknya, banyak pengalaman dengan partikel-partikel kecil (<100nm, yang diukur menggunakan cahaya 340nm) dipakai untuk penghamburan cahaya. Mikrosfer yang kurang dari 0,1μm adalah penghambur cahaya yang buruk dan pada saat beraglutinasi, dengan cepat bertambah besar hingga mencapai ukuran yang dapat menghamburkan cahaya jauh lebih baik. Perubahan cahaya terhamburkan berbanding konsentrasi analit ini bisa menjadi dasar untuk imunoasai yang paling sensitif. Sinar UV memerlukan mikrosfer yang lebih kecil (<< 100nm) dan sinar inframerah bisa menggunakan mikrosfer ~0,5μm.
   
Sebaliknya, seseorang juga bisa memulai dengan mikrosfer yang menghamburkan cahaya dengan baik (mungkin mikrosfer 0,5μm) dan mengamati mikrosfer ini kemudian membesar dan jatuh dari larutan (mengendap) sehingga tidak menghamburkan cahaya. Kebanyakan sistem asai kelihatannya menggunakan prinsip penggumpalan mikrosfer kecil yang buruk dalam menghamburkan cahaya untuk membentuk gumpalan penghambur cahaya yang baik.
   
Penggunaan mikrosfer dengan distribusi ukuran sempit paling baik karena perubahan hamburan cahaya yang maksimum terjadi ketika partikel-partikel tunggal berkombinasi satu sama lain membentuk dimer. Jika distribusi ukuran luas, instrumen yang digunakan untuk pendeteksian menyalahartikan sebuah dimer sebagai mikrosfer tunggal (singlet) yang lebih luas dalam populasi mikrosfer.

2. Panjang gelombang optimum
   
Dari segi optik yang terlihat dalam tipe asai ini, ada tiga poin penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a)Panjang gelombang optimum untuk pemantauan turbidimetri (dan juga untuk pemantauan nefelometri) meningkat seiring dengan ukuran kompleks imun. Sehingga, untuk pemantauan pembentukan kompleks protein-antibodi, panjang gelombang 340 nm (atau kurang) lebih disukai, sebagian karena akan memungkinkan pendeteksian tahap-tahap awal pembentukan kompleks dengan lebih cepat. Berdasarkan sebuah survei literatur yang telah dipublikasikan tentang imunoasai hamburan cahaya tertingkatkan partikel, pendekatan yang paling umum adalah menggunakan partikel 40-60nm, dengan sumber cahaya pada 340-360nm.

D. Peranan Tipe-Tipe Partikel yang Berbeda
   
Beberapa variabel yang harus dipertimbangkan ketika memilih mikrosfer yang cocok untuk asai hamburan cahaya mencakup ukuran (dan distribusi ukuran), kepadatan, indeks refraktif, ada atau tidak adanya gugus fungsional permukaan, dan stabilitas koloid.

1. Ukuran/Distribusi Ukuran

Paling baik menggunakan mikrosfer polimerik yang memiliki distribusi ukuran sempit. Karena perubahan hamburan cahaya yang maksimum terjadi ketika mikrosfe-mikrosfer tunggal bergabung membentuk dimer, maka distribusi ukuran yang luas akan menjadikan pembedaan antara singlet dan dimer menjadi sulit. Mikrosfer yang lebih kecil memiliki manfaat berupa daerah permukaan yang paling luas (relatif terhadap volume), sehingga potensi yang lebih tinggi untuk pemuatan antibodi. Dalam hal ini, pemuatan protein dengan sendirinya akan meningkatkan ukuran mikrosfer (satu lapisan-tunggal IgG meningkatkan diameter sekitar 10nm).

2. Densitas
   
Mikrosfer yang lebih kecil dan memiliki densitas mendekati netral memiliki manfaat berupa pergerakan yang lebih besar dalam fase cair, disamping juga meminimalkan derajat engendapan, sehingga tidak memerlukan pengadukan konsntan (menggunakan reagen) dalam rangka mempertahankan homogeneitasnya. Komposisi penyangga penyimpanan juga memiliki peranan besar bagi waktu pengendapan mikrosfer.

3. Indeks Refraktif
   
Prinsip dasar imunoasai hamburan cahaya adalah kemampuan agregat-agraget untuk menghamburkan cahaya dengan tingkat hamburan yang lebih besar dibanding yang dapat dicapai dengan medium pensuspensi saja. Jika medium pensuspensi ini adalah air (indeks refraktif = 1,333 pada 569 nm), maka mikrosfer polistiren, yang memiliki indeks refraktif 1,591 pada 569 nm, dapat berfungsi sebagai pendukung padat yang dapat diandalkan, dan sebagai penghambur cahaya, untuk menghasilkan sensitifitas yang baik dalam asai.
   
Penelitian yang dilakukan oleh Price, Newman, dkk., telah menimbulkan ketertarikan terhadap mikrosfer yang berukuran sangat kecil dan memiliki indeks refraktif yang lebih tinggi. Untuk polivinilnaftalen, nD = 1,69 pada 569nm. Mikrosfer yang “lebih cerah” ini menghamburkan cahaya lebih baik, khususnya ketika mereka beraglutinasi hingga mencapai ukuran hamburan yang optimum. Seseorang juga bisa mendapatkan indeks refraktif yang lebih tinggi untuk polistiren dengan menggunaan panjang gelombang cahaya yang lebih pendek (n400nmm = 1,63).

4. Stabilitas Koloidal
   
Muatan permukaan mikrosfer memegang peranan penting dalam kinerja asai. Ini ditentukan berdasarkan sifat kimia permukaan awal partikel, sifat protein atau ligan lain yang terikat bersama partikel, tipe dan jumlah deterjen atau molekul perintang lain yang ada, dan sifat buffer (larutan penyangga) reaksi. Secara umum, mikrosfer netral cenderung beragregasi sendiri, sedangkan mikrosfer yang bermuatan tinggi akan tetap tersebar karena adanya tolak-menolak diantara mikrosfer. Terlalu besar muatan bisa menghasilkan tidak ada agregasi dengan adanya analit sampel, karena energi pengikat dari reaksi antigen-antibodi terlalu rendah untuk mengatasi tolak-menolak tersebut.

5. Mikrosfer Berlapis Streptavidin
   
Sebuah imunoasai turbidimetri bergantung-laju telah ditemukan, yang memungkinkan perlekatan ligan sederhana dengan memanfaatkan afinitas alami yang dimiliki stretavidin untuk biotin. Metode ini menggunakan format inhibisi kompetitif, tetapi juga bisa digunakan untuk format aglutinasi langsung.
   
Penggunaan mikrosfor berlapis streptavidin untuk asai memiliki beberapa kelebihan dibanding alat-alat konvensional untuk perlekatan ligan, termasuk:

a)Biotinilasi, atau melekatkan biotin ke ligan yang diinginkan, merupakan sebuah proses sederhana, hampir semua ligan bisa dibiotinilasi dengan menggunakan alat-alat yang tersedia secara komersial.
b)Perlekatan biotin-streptavidin cukup kuat (Kd ~ 1015), dan dengan demikian membentuk reagen yang lebih stabil dan lebih permanen dibanding jika ligan diserap secara pasif, tanpa optimisasi yang diperlukan untuk protokol pengikatan kovalen.
c)Kesulitan perlekatan hapten (seperti diperlukannya perlekatan pendahuluan ke sebuah protein karier, seperti BSA) tidak diperlukan, karena hapten terbiotinilasi bisa dilekatkan secara langsung ke mikrosfer.

6. Polistiren/Polistiren Magnetik
   
Ada dua tahapan dalam prosedur uji ini. Pertama-tama, analit uji, jika terdapat dalam sampel, dimasukkan ke dallam mikrosfer supermagnetik yang berlapis antigen, dengan membentuk sebuah kompleks antigen/antibodi pada permukaan mikrosfer. Selanjutnya, mikrosfer polistiren berlapis antibodi (analit uji) ditambahkan ke dalam suspensi. Jika analit yang diinginkan terdapat dalam sampel, aglutinasi akan terjadi antara mikrosfer magnetik dan mikrosfer polistiren. Dengan pemisahan menggunakan gravimetri atau pemisahan magnetik, kompleks-kompleks ini akan mengendap keluar dari larutan, meninggalkan lapisan atas yang jernih. Jika analit uji tidak ada, tidak ada aglutinasi yang akan terjadi, dan mikrosfer polistiren kecil akan tetap tersuspensi oleh gerakan Brown. Keberadaan mikrosfer-mikrosfer ini bisa dideteksi dengan megukur turbudisitas (kekeruhan) lapisan teratas. Jika lapisan teratas tetap keruh setelah mikrosfer magnetik mengendap, maka uji negatif. Derajat kekeruhan dalam kaitannya dengan jumlah mikrosfer polistiren yang ditambahkan bisa digunakan untuk membuat asai menjadi kuantitatif.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital