Penggunaan Sunscreen pada Fotodermatosis

Fotodermatosis adalah sekelompok kondisi dan penyakit yang terkait dengan kesensitifan atau reaksi abnormal terhadap radiasi non-pengion. Kelompok penyakit ini tidak mencakup reaksi-reaksi normal terhadap radiasi yang terjadi pada populasi umum seperti lecur surya (sunburn) dan karsinogenisitas. Fotodermatosis biasanya dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu: (1) idiopatik, (2) fotokimia eksogen, (3) genetik dan metabolik, dan (4) fotoagravasi (diperburuk cahaya) (Tabel 1). Walaupun kebanyakan kondisi ini relatif tidak umum, terkecuali erupsi akibat cahaya polimorf (PMLE), kebanyakan terkadang ditemukan di ruang praktek kebanyakan ahli dermatologi.

 
Penting untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan tipe fotosensitifitas pada pasien tertentu sehingga pengobatan yang tepat bisa dilakukan. Diagnosis pasien fotosensitif telah dibahas dalam literatur. Akan tetapi, terlepas dari diagnosis, pada kebanyakan kasus penatalaksanaan pasien fotosensitif akan melibatkan penghindaran dan perlindungan dari keterpaparan sinar matahari. Ini selalu mencakup penggunaan sunscreen.
  
Untuk kebanyakan reaksi fotokimia eksogen, termasuk fototoksik dan dermatitis kontak foto-alergi dan reaksi-reaksi foto-obat, pengidentifikasian agen pemicu secara tepat dan penghindaran bahan kimia tersebut terkadang memerlukan penggunaan sunscreen selama periode waktu yang singkat sampai pemeka cahaya (fotosensitizer) dibersihkan dari kulit secara lengkap. Disamping itu, pada beberapa pasien dengan reaksi foto-obat yang sedang menjalani pengobatan tertentu yang tidak ada alternatifnya yang sebanding, agen pemekacahaya bisa tetap dipertahankan dengan fotoproteksi. Sunscreen penting pada pasien-pasien ini.

Spektrum aksi
  
Menurut teori, metode yang digunakan dokter untuk memilih sunscreen yang paling efektif bagi masing-masing pasien tergantung pada pengidentifikasian panjang-gelombang foton yang bertanggungjawab untuk menimbulkan sensitifitas, atau spektrum aksi. Dengan informasi ini, dokter bisa memilih sebuah sunscreen dengan komponen-komponen yang menyerap atau memantulkan foton tertentu. Tidak selamanya memungkinkan  bagi ahli dermatologi untuk menentukan panjang-gelombang efektif pada pasien tertentu, baik karena kurangnya peralatan foto-testing yang diperlukan, atau karena proses ini tidak bisa dilakukan dengan mudah secara buatan.
  
Untungnya, spektra aksi untuk fotodermatosis yang lebih umum telah diidentifikasi oleh para peneliti fotobiologis. Seperti disebutkan dalam sebuah review terbaru yang dipublikasikan oleh Lenane dan Murphy, dan seperti disebutkan pada Tabel 1, kebanyakan pasien yang menderita fotosensitifitas bereaksi terhadap radiasi yakni sekurang-kurangnya dalam rentang panjang gelombang yang lebih panjang, UVA, dan sinar tampak atau panjang gelombang yang lebih dari 320 nm.
  
Seperti dibahas pada bagian-bagian lain dari permasalahan ini, kebanyakan agen sunscreen yang tersedia di Amerika Serikat saat ini menawarkan proteksi yang sangat baik terhadap radiasi UVB tetapi hanya sebagian memberikan proteksi terhadap UVA dan sinar tampak. Disamping itu, karena belum ada metode baku untuk menguji dan mengidentifikasi level proteksi panjang gelombang dari sunscreen yang dipasarkan di Amerika Serikat, sulit bagi dokter untuk mampu menentukan sunscreen mana yang paling ampuh pada individu-individu yang memerlukan proteksi gelombang panjang.
  
Secara teori, dokter terbatas pada perekomendasian produk-produk yang mengandung filter-filter UVA yang telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat (Box. 1). Dalam kategori sunscreen organik atau sunscreen kimiawi, tercakup benzofenon (oksibenzon, dioksibenzon, dan sulisobenzon), butilmetoksidibenzoilmetana, juga dikenal sebagai avobenzon (Parsol 1789), dan metilanthralinat. Semuanya, terkecuali avobenzon, sebagian besar memberikan proteksi untuk rentang UVA 2; absorpsi avobenzon meluas sampai ke UVA 1.
  
Tabir anorganik atau tabir fisik yang telah disetujui adalah titanium dioksida dan zink oksida. Ketika agen-agen ini digunakan pada awalnya memberikan proteksi yang mencakup UVA dan sinar tampak tetapi mengorbankan keberterimaan dari sisi kosmetik. Agar agen-agen ini lebih berterima bagi konsumen, partikel-partikelnya telah diperkecil dan dilapisi. Walaupun agen-agen ini masih menawarkan beberapa proteksi pada rentang gelombang yang lebih panjang, namun proteksinya tidak sebaik dengan agen lama. Berkenaan dengan ini, telah dibuktikan dalam penelitian-penelitian in vitro bahwa mikrofin zink dioksida dapat memberikan proteksi yang lebih baik dalam rentang UVA1 dibanding mikrofin titanium oksida dengan konsentrasi yang sama.
  
Ada agen-agen lain yang melindungi terhadap radiasi gelombang yang lebih panjang pada individu fotosensitif. Agen-agen ini mencakup dihidroksiaseton yang menyamak sendiri dan besi oksida anorganik. Walaupun tidak disetujui sebagai bahan aktif sunscreen, bahan-bahan ini telah tersedia dalam produk-produk yang dijual di Amerika Serikat.
  
Empat agen lainnya yang tidak disetujui penggunaannya di Amerika Serikat tetapi digunakan pada beberapa produk yang dijual di negara-negara lain tampaknya menawarkan proteksi rentang gelombang panjang yang jauh lebih baik, dan bisa segera digunakan pada produk-produk yang dijual di negara ini. Agen-agen ini mencakup tereftaliden dicamphor asam sulfonat dan drometrizol trisiloksan, keduanya dibuat oleh L'Oreal, dan metilen-bis-benzotriazol tetrametilbutilfenol dan bis-etilheksiloksifenol metoksifenol triazin, yang dibuat oleh Ciba Specialty Chemicals (lihat Box 1).
  
Sayangnya, tidak ada cara bagi dokter untuk menilai besarnya proteksi UVA pada agen-agen kombinasi. Telah dianjurkan bahwa sunscreen anorganik murni dengan SPF tinggi secara teoritis dapat memberikan proteksi gelombang panjang yang baik.
  
Telah disebutkan bahwa produk-produk yang mengandung kadar titanium dioksida dan zink oksida tinggi pada sunscreen bebas zat kimia SPF tinggi dan yang mengandung avobenzon dikombinasikan dengan dua agen anorganik kelihatannya menjadi alternatif yang baik jika sunscreen baru yang tidak disetujui FDA tidak bisa didapatkan. Disamping itu, dihidroksiaseton dan besi oksida bisa bermanfaat pada beberapa individu.

Penelitian-penelitian yang dipublikasikan
  
Masih sangat sedikit informasi yang menilai manfaat protektif relatif dari berbagai agen terhadap radiasi gelombang panjang. Bissonette dan rekan-rekannya meneliti proteksi gelombang panjang dari enam sunscreen yang tersedia di pasaran (di Eropa) dengan mengukur penggelapan pigmen persisten pada kulit manusia. Hasil akhir ini merupakan salah satu hasil akhir yang telah digunakan untuk mengukur proteksi UVA. Mereka menemukan bahwa sebuah produk yang mengandung asam sulfonat terefthaliden dicamphor, avobenzen, dan TiO2 paling protektif. Ini diikuti dengan sunscreen yang mengandung avobenzon dan tabir fisik TiO2 dan ZnO. Penelitian ini menggunakan produk-produk yang memiliki berbagai konsentrasi filter UVA, sehingga sulit untuk menyimpulkan tentang efektifitas relatif dari masing-masing komponennya. Akan tetapi, secara umum diyakini bahwa asam sulfonat tereftaliden dicamphor akan memberikan proteksi yang lebih besar untuk pasien fotosensitif jika telah tersedia di Amerika Serikat.
  
Trial-trial klinis yang meneliti efikasi sunscreen untuk pencegahan terjadinya berbagai fotodermatosis masih jarang. Disamping itu, penelitian-penelitian seperti ini terkadang diperumit oleh istilah diagnostik yang tidak konsisten. Bagian-bagian berikut merangkum beberapa penelitian dimana berbagai agen telah diuji untuk fotoproteksi pada pasien-pasien yang memiliki banyak gangguan fotosensitif.

Erupsi cahaya polimorf
  
Fotosensitifitas paling umum pada individu yang berkulit terang tanpa melihat negara asal adalah PMLE. Kejadian kondisi ini seumur hidup seseorang di Amerika Serikat telah dilaporkan sebesar 10% hingga 15%. Angka yang serupa telah dilaporkan dari negara-negara lain. Ketika populasi semakin mendekati garis katulistiwa, angka kejadian untuk populasi tersebut semakin berkurang. Ini bisa disebabkan karena perbedaan warna kulit, meski juga menunjukkan bahwa semakin banyak keterpaparan matahari yang diterima, semakin kecil kemungkinannya mengalami kesensitifitan.
  
Riwayat klasik pada orang-orang yang terkena adalah bahwa episode pertama terjadi selama hari libur di musim panas dengan keterpaparan yang lama terhadap sinar matahari. Reaksi secara klasik terjadi setelah 2 atau 3 hari keterpaparan, dan dengan penghindaran sinar matahari, reaksi akan pulih dalam beberapa hari hingga 1 atau 2 pekan. Pola reaksi yang paling umum adalah morfologi papular kecil atau papulo-vesikular. Reaksi ini biasanya melibatkan dada, lengan dan kaki dan tidak mengenai wajah. Pada kebanyakan kasus, individu akan mengalami episode tunggal tanpa rekurensi. Ada sekelompok orang yang mulai mengalami reaksi ini dengan cara yang lebih rekuren, dengan beberapa individu yang mengalami reaksi dengan keterpaparan yang lebih kecil. Ini adalah pasien-pasien yang kemungkinan mencari perawatan medis. Diagnosis banding pada pasien-pasien ini mencakup lupus eritematosus dan dermatitis kontak fotoalergi, utamanya terhadap sunscreen.
  
Walaupun erupsi bisa direproduksi dengan sumber cahaya buatan pada penelitian fotoprovokasi, diagnosis biasanya bisa ditegakkan berdasarkan riwayat klasik dengan konfirmasi histologis. Dalam menelaah pustaka tentang kondisi ini dan banyak bentuk fotosensitifitas lainnya, perlu diingat bahwa tata nama yang digunakan penulis bisa berbeda-beda. Dalam hal ini, walaupun beberapa laporan menunjukkan bahwa uji dosis eritema minimal (MED) bisa menunjukkan MED yang berkurang pada sekelompok pasien ini, namun kebanyakan penelitian menunjukkan uji MED pada PMLE berlangsung normal. Untuk mereproduksi erupsi, dosis radiasi yang lebih besar dari MED harus diaplikasikan ke daerah kulit luas yang tepapar sebelumnya.
  
Banyak peneliti telah melakukan penelitian untuk menentukan spektrum aksi PMLE. Walaupun ada variasi diantara laporan-laporan, secara keseluruhan, akan tampak bahwa kebanyakan pasien yang menderita PMLE bereaksi sekurang-kurangnya secara parsial terhadap UVA. Ada beberapa individu yang sensitif terhadap UVB saja; akan tetapi, kebanyakan pasien bereaksi dengan UVA saja atau dengan kombinasi radiasi UVB dan UVA. Ada kemungkinan bahwa pasien-pasien yang mengalami reaksi terhadap UVB saja mendapatkan proteksi memadai dari sunscreen sehingga jarang mencari perawatan medis (pengamatan pribadi penulis).
  
Walaupun beberapa penulis menganjurkan bahwa sunscreen UVB/UVA menawarkan beberapa proteksi terhadap terjadinya reaksi, mereka biasanya menyebutkan bahwa fototerapi profilaksis dan fotokemoterapi paling efektif. Holzle dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa 4-isopropil dibenzoil metana dan metilbenziliden camphor mampu mencegah fotoprovokasi lesi dengan radiasi UVA dalam setting laboratorium. Baru-baru ini Allas dan rekan-rekannya melaporkan pencegahan timbulnya lesi PMLE pada 23 pasien dengan sunscreen kombinasi yang mengandung asam sulfonat tereftaliden dicamphor dengan menggunakan sumber cahaya fotoprovokasi UVA/UVB. Sebuah sunscreen kontrol yang mengandung tabir UVB dan oksibenzon untuk proteksi UVA mencegah terjadinya reaksi hanya pada tiga pasien. Produk ini dan lain-lainnya kemungkinan akan menjadi penting untuk pencegahan PMLE dan berbagai tipe fotosensitifitas lainnya dimana radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang memegang peranan etiologi. Bidang penelitian baru yang menjanjikan adalah penggunaan kombinasi sunscreen protektif UVA baru dan antioksidan-antioksidan potensial yang tampak pada penelitian-penelitian terdahulu dapat melindungi terhadap terjadinya PMLE pada pasien-pasien yang terkena.

Urtikaria surya
  
Urtikaria surya (SU) didiagnosa dengan mudah berdasarkan riwayat. Pasien menunjukkan respons langsung terhadap sinar matahari dengan terjadinya pruritus, eritema, dan terkadang tetapi tidak selalu edema atau hives khas. Reaksi ini jarang berlangsung lebih dari beberapa menit sampai beberapa jam. Terkadang, reaksi-reaksi sistemik seperti anafilaksis mungkin terjadi tetapi sangat jarang. Pasien sangat bervariasi dalam hal spektrum aksi reaktifitasnya. Biasanya UVA atau bahkan sinar tampak terlibat. Pada kebanyakan, tetapi tidak semua orang yang terkena, erupsi bisa terjadi dengan sumber-sumber cahaya buatan. Cukup bermanfaat untuk melakukan fototesting seperti ini dalam memilih tabir yang cocok untuk proteksi. Pengobatan selain penghindaran sinar matahari biasanya terdiri dari antihistamin seperti untuk urtikaria fisik lainnya. Plasmaferesis, fototerapi, dan fotokemoterapi juga telah digunakan.
  
Untuk pasien yang memiliki kesensitifitas UVB, sunscreen SPF-tinggi akan membantu. Agen-agen baru ini yang memiliki aktivitas UVA akan bermanfaat pada individu-individu yang memiliki kesensitifan UVA. Proteksi dalam rentang sinar tampak bisa lebih sulit dicapai. Tabir fisik – titanium dan zink oksida – bisa memberikan beberapa proteksi pada rentang sinar tampak yang lebih rendah. Besi oksida, yang tidak disetujui sebagai sunscreen oleh FDA tetapi terdapat dalam beberapa produk (RYPaque) sebagai sebuah agen pewarna, telah dilaporkan memberikan beberapa proteksi terhadap radiasi sinar tampak. Akan tetapi, semakin protektif agen-agen ini, semakin tidak berterima secara kosmetik.
  
Dihidroksiaseton merupakan komponen penyamak tanpa sinar matahari. Walaupun nilai SPF-nya rendah, komponen ini memberikan proteksi dalam rentang UVA dan sinar tampak dan bisa bermanfaat dalam pengobatan urtikaria surya. Agen ini harus diaplikaikan sebelum tidur selama 2 sampai 3 malam (ikuti instruksi) sampai sebuah pencoklatan kulit yang terlihat terjadi. Selanjutnya harus diaplikasikan 2 sampai 3 malam per pekan untuk menjaga warna dan fotoproteksi.

Hydroa vaccinoformis
  
Hydroa vacciniformis (HV) merupakan sebuah fotodermatosis non-familial yang rutin terjadi setelah pubertas. Bersama dengan aktinik prurigo (AP), lesi ini mewakili dua fotodermatosis idiopatik pada masa anak-anak. Usia onset dalam sebuah review terbaru adalah sekitar 8 tahun. Laki-laki dan perempuan sama-sama terkena. Dengan keterpaparan sinar matahari, orang yang terkena mengalami makula-makula yang berkembang menjadi papula-papula dan akhirnya menjadi vesikula yang sembuh meninggalkan scarring variola-form. Wajah utamanya terkena. Episode-episode pertama bisa menyerupai herpes simplex primer tetapi akan negatif-kultur. Penyakit ini pada kebanyakan orang sembuh dengan sendirinya, dengan 60% yang sembuh dalam 4 sampai 7 tahun. Spektrum aksi penyakit ini tampaknya cukup luas, dengan reproduksi oleh UVB dan UVA.
  
Ada beberapa kasus erupsi mirip hydroa vacciniformis yang terkait dengan penyakit limfoproliferatif dan infeksi virus Epstein-Barr. Manifestasi pada kulit pada pasien-pasien ini jauh lebih parah dan tidak terkait dengan keterpaparan sinar matahari. Seharusnya tidak ada masalah dalam membedakan penyakit ganas ini dari HV berdasarkan data klinis dan histologis. Sunscreen UVB murni tidak bisa mencegah reaksi HV. Pasien-pasien ini memerlukan penghindaran sinar matahari yang signifikan dan proteksi dengan tabir spektrum-luas untuk mencegah erupsi dan scarring permanen.

Aktinik prurigo
  
AP juga dikenal sebagai PMLE Amerindian familial. Di Eropa, kondisi ini telah ditemukan pada orang-orang non-Indian. Di Amerika Serikat, istilah ini digunakan untuk fotodermatosis yang terjadi pada anak-anak keturunan Amerindian mulai dari Canada sampai Amerika Serikat dan terus ke Amerika Tengah dan Selatan. Walaupun penyakit ini diwariskan, dia pada umumnya lebih dikelompokkan sebagai fotosensitifitas idiopatik dan bukan genodermatosis. Sebanyak 80 persen individu yang terkena memiliki onset sebelum pubertas. Lesi-lesi klasik adalah papula-papula purigenous yang terjadi pada kulit yang terpapar sinar matahari, walaupun erupsi ini bisa menyebar sampai melibatkan daerah-daerah yang tidak terkena sinar matahari. Ini biasanya disertai dengan cheilitis dan keterlibatan mata. Erupsi ini cenderung kronis ketimbang rekuren dengan keterpaparan matahari selama bulan-bulan musim panas dan bersih pada musim dingin. Spektrum aksi mencakup radiasi UVB dan UVA. Thalidomid merupakan obat yang dipilih jika terapi seperti ini memungkinkan. Penghindaran sinar matahari dan sunscreen spektrum-luas dengan abobenzon telah dibuktikan efektif pada beberapa pasien, dan fototerapi UVB berkas sempit telah dilaporkan bermanfaat jika penggunaan sunscreen tidak efektif.

Dermatitis aktinik kronis
  
Dermatitis aktinik kronis (CAD) merupakan sebuah fotodermatosis idiopatik pada orang dewasa. Kondisi ini cukup jarang, dan pada banyak kasus, merupakan penyakit yang sangat mengganggu. Istilah ini digunakan untuk orang-orang yang bereaksi terhadap radiasi dengan respons eczematosa secara klinis dan histologis. Erupsi ini terbatas pada bagian-bagian yang terpapar matahari pada tahap-tahap awal perkembangannya, meski bisa menyebar sampai melibatkan kulit yang tidak terpapar matahari. Reaksi menjadi kronis, kemungkinan karena kuantitas radiasi yang sangat kecil bisa menimbulkan patologi. Morfologi pada kasus-kasus parah bisa berkembang menjadi kenampakan retikuloid disertai lionin facies dan kebanyakan plak mirip tumor. Histologi juga bisa berkembang menjadi ciri-ciri limfoma sel-T kutaneous. Kasus-kasus yang terakhir ini terkadang disebut sebagai aktinik retikuloid. Beberapa pasien bahkan berkembang mengalami eritroderma eksfoliatif. Reaksi ini biasanya mudah direproduksi dengan MED yang berkurang dan respons eczematosa terhadap radiasi UVB pada kebanyakan pasien, dengan perluasan sampai rentang UVA dan bahkan rentang sinar tampak pada beberapa pasien.
  
Fotodermatosis ini dianggap sebagai sebuah reaksi tahap-akhir yang dipicu oleh berbagai kejadian imunologi berbahaya. Beberapa orang memulai  dengan mengalami dermatitis kontak terhadap berbagai alergen, termasuk reaksi-reaksi kompositiae dari asal-udara dari antigen-antigen tanaman dan di tempat kerja seperti kromat pada semen, dan kemudian dengan alasan yang tidak diketahui berkembang menjadi reaksi terhadap radiasi. Yang lainnya pada awalnya mengalami dermatitis kontak fotoalergi dan berkembang menjadi CAD setelah agen pemicu dihilangkan. Pada kasus-kasus ini, reaksi-reaksi disebut sebagai reaktifitas cahaya persisten. Beberapa pasien yang memiliki eczema atopik mengalami fotosensitifitas dan masuk ke dalam klasifikasi ini. Jarang pasien dengan reaksi foto-obat akan terus bereaksi dengan cahaya saja ketika obat tersebut dihentikan, dan terakhir pasien yang mengalami HIV juga telah dilaporkan mengalami tipe fotosensitifitas ini.
  
Opsi-opsi pengobatan mencakup uji bercak ekstensif dan foto-patch sehingga semua alergen pemicu bisa dihindari. Fototerapi dan fotokemoterapi telah digunakan dengan tingkat keberhasilan berbeda-beda. Sunscreen spektrum luas seperti ditunjukkan pada Box 1 bisa digunakan tetapi hanya setelah uji bercak dan foto-patch untuk memastikan tidak ada alergi sunscreen.

Genodermatosis
  
Seperti dijelaskan dalam publikasi Lenane dan Murphy, genodermatosis bisa dibagi menjadi genodermatosis yang memiliki defisiensi reparasi DNA, defisiensi pigmentasi, porfiria, dan defisiensi jalur biosintesis kolesterol. Defisiensi reparasi DNA terjadi pada individu yang mengalami Xeroderma pigmentosum, trikotiodistropi, sindrom Torhmund Thomson, dan sindrom Cockayne. Pada semua individu ini, penghindaran sinar matahari yang signifikan harus dilakukan. Walaupun sunscreen spektrum luas bisa direkomendasikan, SPF yang tinggi untuk proteksi UVB yang baik paling penting.
  
Fotosensitifitas baru-baru ini telah dilaporkan terjadi pada sindrom Smith-Lemli-Opitz. Pasien yang mengalami defisiensi enzim 7-dehidrokolesterol reduktase ini memiliki angka kematian yang tinggi dan menunjukkan penyakit jantung bawaan dan keterlambatan mental. Individu-individu yang terkena memiliki onset eritema mirip lecur-surya (sunburn) dalam 2 menit keterpaparan, dan ini berlangsung selama 1 sampai 2 hari. Fototesting telah menunjukkan kesensitifan dalam rentang UVA. Penghindaran sinar matahari dan sunscreen spektrum-luas dengan demikian diperlukan.
  
Porfiria adalah sekelompok penyakit dapatan (acquired) yang mewakili defisiensi-defisiensi aktivitas enzim dalam jalur biosintesis heme. Eritropoietik protoporfiria (CEP), dan hepatoeritropoietik porfiria (HEP) memiliki onset pada masa anak-anak. Individu-individu ini mengalami luka bakar dan sengatan jika terpapar terhadap sinar matahari. Orang-orang yang mengalami CEP dan HEP memiliki fotosensitifitas yang jauh lebih parah, dibanding dengan orang-orang yang mengalami EEP, yang merupakan penyakit yang relatif ringan. Pada semua inidividu ini, penghindaran sinar matahari dan proteksi juga penting.
  
Pada porfiria kutanea tarda (PCT) yang relatif umum, pasien lebih banyak mengeluhkan mudahnya mengalami memar dan pelepuhan kulit yang terpapar, utamanya tangan. Ini dapat diobati dengan flebotomi atau terapi antimalaria, dengan pengurangan kelainan-kelainan porfirin dan resolusi gejala-gejala. Pasien-pasien yang mengalami porfiria campuran, porfirian variegata (VP), dan koproporfiria bawaan (HC), bisa memiliki kenampakan kulit yang serupa dengan pasien PCT, tetapi juga bisa memiliki gejala-gejala neurologis. Pengobatan lesi-lesi kulit pada pasien-pasien ini sebagian besar didasarkan pada penghindaran sinar matahari dan fotoproteksi.
  
Karena lesi-lesi kulit pada semua jenis porfiria disebabkan oleh radiasi berkas Soret (400 – 410 nm), maka tabir yang memberikan proteksi dalam rentang sinar tampak cukup optimal untuk orang yang terkena. Akan tetapi, proteksi seperti ini sulit untuk dicapai. Sunscreen spektrum luas biasanya direkomendasikan, tetapi penggunaan dihidroksiaseton dan besi oksida yang dikombinasikan dengan tabir UVB/UVA yang lebih tradisional akan bermanfaat.
  
Pasien-pasien yang memiliki berbagai bentuk albinisme memerlukan proteksi spektrum-luas untuk mencegah efek berbahaya dari kurangnya proteksi melanin alami dalam kulit mereka.

Penyakit-penyakit yang diperburuk cahaya
  
Walaupun ada banyak penyakit dimana radiasi bisa memperparah patologi dalam kulit, namun ada dua yang paling penting dan paling umum yakni lupus eritematosus (LE) dan dermatomyositis (DM). Walaupun fotosensitifitas dalam DM belum diteliti secara ekstensif, penelitian-penelitian tentang spektra aksi untuk berbagai bentuk LE telah dilaporkan. Lehmann meneliti 128 pasien yang mengalami LE. Lesi-lesi kulit LE bisa direproduksi dengan sinar buatan pada 64% pasien yang mengalami LE subkutaneous subakut, 42% pasien yang mengalami LE diskoid, dan 25% pasien yang mengalami LE sistemik. Pada pasien-pasien yang mengalami lesi-lesi yang bisa direproduksi dengan sinar buatan, spektrum aksinya adalah pada rentang UVB dan UVA untuk 53%, pada rentang UVB saja untuk 33%, dan pada rentang UVA saja untuk 14%.
  
Stege dan rekan-rekannya meneliti efek dari tiga produk sunscreen berbeda untuk pencegahan lesi-lesi LE yang dihasilkan secara buatan pada 11 pasien. Sebuah tabir yang mengandung asam sulfonat tereftaliden dicamphor dan drometrizol trisoloksana, Parsol 1789, dan titanium dioksida merupakan yang paling protektif, dengan mencegah perkembangan lesi pada seluruh pasien. Dua produk dengan titanium dioksidan dan Parsol 1789 sebagai tabir UVA dan tabir-tabir UVB berbeda efektif pada masing-masing tiga dan lima pasien saja. Callen dan rekan-rekannya meneliti proteksi sunscreen pada sebuah penelitian terbuka dengan menggunakan sebuah tabir dengan Padimate O dan Parsol 1789 dan menemukan proteksi yang baik hingga sangat baik pada 54% pasien. Johnson dan Fusaro menganjurkan bahwa dihidroksiaseton akan bermanfaat pada pasien-pasien LE yang memiliki penyakit imbas gelombang panjang.

Ringkasan
  
Kebanyakan fotodermatosis ditimbulkan oleh radiasi gelombang panjang. Sunscreen harus digunakan sebagai bagian dari pengobatan untuk orang-orang yang terkena. Saat ini, sunscreen yang memberikan fotoproteksi sempurna terhadap UVA dan sinar tampak, dan proteksi untuk orang-orang yang terkena masih belum tersedia di Amerika Serikat. Diharapkan agar agen-agen seperti ini akan segera ditemukan.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk