TUMOR PLEXUS CHOROID

Epidemiologi

Tumor plexus choroid (CPT) adalah tumor otak primer yang cukup langka. Tumor ini muncul dari neuroepithelium plexus choroid. Walaupun tumor ini bisa ditemukan pada pasien semua umur, namun kebanyakan terjadi pada populasi anak-anak. Terdapat hingga 70% dari neoplasma ini yang terjadi pada anak-anak, dengan lebih setengahnya yang muncul pada anak-anak di bawah 2 tahun. Kejadian tahunan untuk CPT cukup rendah, dengan 0,3 kasus/juta yang telah dilaporkan. Meskipun dengan kejadian rendah ini, kejadian tahunan pada anak-anak dapat mencapai 3% - 5%, dan hingga 12% pada anak-anak di bawah 2 tahun. CPT mewakili 0,4% - 0,8% dari semua tumor otak, antara 0,9% - 3% dari semua tumor otak anak primer, dan hingga 10% - 20% dari tumor otak anak selama tahun pertama masa hidup. Laporan-laporan kasus yang mengungkapkan temuan CPT in utero dengan ultrasound, atau temuan diagnosis CPT pada neonatus, menunjukkan bahwa beberapa dari lesi ini bisa terjadi secara bawaan.

CPT terdiri dari papilloma plexus choroid (CPP) jinak, dan karsinoma plexus choroid (CPC) ganas. Diantara CPP dan CPC terdapat CPP atipikal. Kelihatannya tidak ada perbedaan antara CPP dan CPC dalam hal kecenderungan seksual, usia saat presentasi, gejala-gejala, atau lokasi lesi.

Pada anak-anak, sekitar tiga-per-empat dari semua CPT terdapat dalam ventrikel lateral, khususnya atrium atau trigone. Dalam ventrikel lateral, CPT juga bisa ditemukan dalam kaitannya dengan foramen of Monro, atau dalam tanduk temporal. Kecenderungan ventrikal lateral ini pada anak-anak berbeda yang terjadi pada populasi dewasa, dimana kebanyakan CPT terjadi pada lokasi ventrikular ke-empat. Lokasi kejadian tumor yang paling umum berikutnya pada anak-anak adalah ventrikel ke-empat, diikuti dengan ventrikel ke-tiga, dan terakhir lokasi ekstraventrikular. Lokasi tak-lazim dimana CPT telah dilaporkan mencakup parenchyma otak, dalam batang-otak, dalam sudut cerebellopontin, atau dalam kaitannya dengan cistern basal lainnya. Dalam sebuah penelitian terhadap 353 CPP dan 207 CPC, Wolff dkk menemukan bahwa semakin tua pasien, semakin besar kemungkinan tumor tersebut terletak di bagian belakang dalam neuraksis. Dalam meta-analisisnya, Wolff dkk menemukan usia rata-rata 1,5 tahun untuk tumor yagn terletak dalam ventrikel lateral, 1,5 tahun untuk tumor yang terletak pada ventrikel ke-tiga, 22,5 tahun untuk tumor yang terletak dalam ventrikel ke-empat, dan 35,5 tahun untuk tumor yang terletak dalam sudut cerebellopontin. Selain itu, mereka menemukan bahwa 12% pasien menunjukkan penyakit metastatik saat presentasi, dengan metastasis yagn lebih umum diantara CPC dibanding CPP. Hingga 7% kasus bisa melibatkan lesi di banyak lokasi, misalnya CPT ventrikel lateral bilateral. Akan tetapi, sebagian dari kasus ini, kemungkinan disebabkan oleh pertunasan CSF dari sebuah lesi primer soliter ke sebuah tempat sekunder, yang berlawanan dengan dua lesi primer sinkron.

Kebanyakan CPT terjadi secara sporadis; akan tetapi, ada laporan kasus yang menunjukkan kejadiannya pada sindrom bawaan tertentu. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa pasien yang mengalami sindrom Li Fraumeni rentan untuk mengalami CPC. Selain itu, keberadaan CPP multiple telah dilaporkan pada pasien-pasien yang mengalami sindrom Aricardi.

Gejala-Gejala dan Tanda-Tanda Klinis
   
Karena lokasi tumor yang sebagian besar terdapat dalam ventrikular, maka pasien biasanya tetap asimtomatik meskipun telah membawa lesi yang banyak. Gejala biasanya mulai terlihat seiring dengan terjadinya hidrosefalus. Gejala-gejala dan tanda-tanda yang memperparah keberadaan CPT dikategoriman menjadi lima kategori umum, yaitu: tekanan intrakranial (ICP) yang meningkat, seizure, perdarahan, defisit neurologi lokal, dan gejala-gejala umum/konstitusional. Dalam salah satu laporan kasus, kategori gejala dan tanda-tanda yang paling umum adalah ICP yang meningkat. Hipertensi intrakranial bisa disebabkan oleh efek massa dari tumor, atau karena hidrosefalus. Hidrosefalus biasanya dari tipe menular, yang disebabkan oleh produksi CSF berlebih oleh tumor. Selain itu, hidrosefalus obstruktif bisa disebabkan oleh gangguan drainase CSF normal akibat efek massa tumor, debris seluler, atau produk perdarahan sebelumnya. Dalam laporan kasus Pencalet, 33 dari 38 anak mengalami hidrosefalus saat presentasi. Sebagai akibat dari ICP yang meningkat ini, anak-anak bisa mengalami sakit kepala, mudah iritasi, abnormalitas gaya berjalan, nausea atau muntah-muntah, atau gangguan penglihatan. Pada bayi dan anak-anak yang masih muda, seseorang bisa menemukan bukti fontanel padat atau makrosefali tegas saat pemeriksaan.
   
Yang kurang sering, gejala dan tanda-tanda defisit focal bisa ditemukan. Ini sebagian terkait dengan lokasi tumor dan efek massa lokal. Diantara temuan ini adalah defisit motorik focal, kemiringan kepala, titubasi, difungsi saraf kranial, atau disfungsi serebellar. Pasien-pasien yang mengalami lesi ventrikular ke-tiga bisa menunjukkan disfungsi endokrinologi, seperti obesitas, pubertas precocious, diabetes insipidus, ketidakteraturan menstruasi pada anak-anak yagn lebih tua, fenomena kepala bobble, psikosis, atau gangguan diencephalik.
   
Gejala dan tanda-tanda umum atau konstitusional dari CPT mencakup tundaan perkembangan, dan terkadang tanda-tanda serta gejala-gejala awal bisa disebabkan oleh deposit metastatik sekunder. Contoh, Sawaishi dkk telah melaporkan seorang anak perempuan umur 2 tahun yang menunjukkan tanda-tanda dan gejala-gejala gangguan gaya berjalan dan disuria, akibat massa subarachnoid kanal spinal bawah yang terbukti sebagai deposit metastatik yang berasal dari sebuah CPC primer ventrikel lateral.
Pencitraan Diagnostik
   
Secara umum, metode diagnostik moderen untuk CPT mencakup CT dengan zat kontras, MRI (pentiraan resonansi magnetik), MRA (angiografi resonansi magnetik), dan angiografi serebral berbasis kateter.
   
Pada CT scan, baik CPP maupun CPC tampak sebagai massa bulat atau multilobul, hiperdens pada korteks. Sekitar 20% bisa mengandung kalsifikasi, biasanya pada anak yang lebih tua. Selain itu, beberapa bisa mengandung area kista. Dengan penggunaan zat kontras, keduanya menunjukkan peningkatan intensitas homogen yagn kuat.
   
Scan MRI tertimbang T1 meunjukkan tumor-tumor ini sebagai iso-hipointens atau sedikit hipointens, sedangkan mereka tampak hiperintens pada citra tertimbang T2. Kenampakan terlobulasi tipikal juga terlihat, dan kekosongan sinyal bisa ditemukan – yang mendukung sifat vaskular dari tumor-tumor ini. CPP dan CPC bisa terlihat menekan parenkima otak di sekitarnya. Peningkatan intensitas sinyal dengan zat kontras paramagnetik intravena menunjukkan peningkatan intensitas sinyal yang homogen dengan CPP (Gbr. 1). Untuk CPC, peningkatan intensitas sinyal bisa sedikit heterogen. Ciri lain yang sugestif, walaupun tidak diagnostik, dari CPC mencakup adanya invasi parenkimal, dan edema terkait (Gbr. 2). Penelitian-penelitian tentang pencitraan ini membantu membedakan CPT dari berbagai patologi intrakranial lainnya (Tabel 1). Selain pencitraan otak, aksis spinal jyga harus dicitra untuk mengeluarkan kemungkinan adanya metastasis pada saat diagnosis. Penyakit metastatik bisa tampak sebagai massa focal terpisah, atau peningkatan intensitas sinyal leptomeningeal. Penyakit metastatik juga bisa diselidiki keberadaannya dengan analisis sitologi cairan spinal serebral, dengan punktur lumbar jika tidak dikontraindikasikan, pengeringan ventrikular eksternal, atau pada saat bedah definitif.
   
Melengkapi MRI dengan MRA bisa memberikan informasi tambahan tentang suplai arterial dan drainase vena dari lesi-lesi ini menyebabkan tidak diperlukannya angiografi kateter formal pada kebanyakan kasus. Dengan MRA, seseorang bisa menemukan arteri choroidal posterior atan anterior yagn membesar dan berbelit-belit yang menyuplai tumor. Informasi seperti ini ermanfaat untuk perencanaan bedah, untuk mengidentifikasi suplai darah primer tumor dan merencanakan sebuah pendekatan bedah yang mempermudah pengidentifikasian dini suplai ini untuk meminimalisir kehilangan darah intraoperatif.
   
Walaupun tidak rutin digunakan, spektropospi resonansi magnetik (MRS) bisa memegang peranan dalam membantu diangosis CPT di masa mendatang. Horska dkk telah meneliti CPP dan CPC dengan teknik ini, dan telah menemukan bahwa kedua lesi menunjukkan kadar senyawa pengandung cholin yang tinggi, dan ketiadaan kreatinin dan N-asetil aspartat. Jika dibandingkan dengan CPP, CPC menunjukkan kadar cholin yang relatif lebih tinggi, serta puncak laktat. Dengan demikian, modalitas pencitraan ini bisa bermanfaat dalam membedakan tumor-tumor ini dari lesli-lesi intraventrikular lain, serta dalam membedakan antara papilloma dan karsinoma.
   
Angiografi serebral berbasis kateter formal digunakan dalam menentukan anatomi vaskular karena terkait dengan sulai arterial dan drainase vena dari lesi-lesi ini, serta dalam membantu perencanaan bedah pra-operatif (Gbr. 3). Sejak penemuan angiografi MR dan venografi, peranan angiografi kateter yang hanya sebatas untuk tujuan diagnostik dan perencanaan telah dihapuskan. Akan tetapi, teknik ini masih digunakan pada kasus-kasus dimana emboilsasi pra-operatif tumor feeder dipertimbangkan, sebagai upaya untuk meminimalisir kehilangan darah intraoperatif selanjutnya selama reseksi tumor.
Klasifikasi Patologi dan Penetapan Stadium
   
CPP dikategorikan sebagai lesi Kelas 1 WHO. Secara kasar, lesi-lesi ini memiliki kenampakan berwarna ungu yang mirip kol kembang, dengan permukaan mirip palem yang tidak beraturan. Kebanyakan memiliki struktur lunak, dan memiliki sifat vaskular, dengan kalsifikasi yang bervariasi. Secara mikroskopis, CPP terdiri dari sebuah lapisan tunggan sel epitel cuboidal yang terdiferensiasi baik di sekitar stalk fibrovaskular karakteristik. Mereka menunjukkan proyeksi mirip jari, yang menghasilkan konfigurasi papillary. Membran dasar juga ditemukan. Indeks pelabelan MIB-1 rata-rata untuk CPP adalah sekitar 3,7%. peningkatan indeks pelabelan MIB-1 bisa membantu dalam membedakan CPP dari sebuah entitas yang dikenal sebagai “hipertropi villous”, dimana plexus choroid non-neoplastis ditemukan. CPP atipikal adalah entitas yang menunjukkan peningkatan selularitas, mitosis, dan polimorfisme nuklear dibanding dengan CPP tipikal, serta struktur papillary yang belum terbentuk sempurna. Selain itu, mereka bisa menunjukkan indeks pelabelan MIB-1 yang sedikit lebih tinggi.
   
CPC dikategorikan sebagai lesi Kelas III WHO. Membedakan CPC dari CPP secara histologis bisa sulit, dan pada beberapa kasus gambaran histologis bisa berkorelasi sedikit dengan perilaku biologis tumor. Ada perbedaan pendapat tentang ciri-ciri yang diperlukan untuk mengidentifikasi sebuah tumor sebagai CPC, dan ada banyak kriteria. Diantara ciri yang menandakan karsinoma adalah anaplasia seluler,. Rusaknya arsitektur papillary normal, pleomorfisme nuklear, nekrosis, pembentukan sel raksasa, dan peningkatan mitosis. Indeks pelabelan MIB-1 rata-rata yagn ditemukan pada CPC adalah 14% (Gbr. 4). Yang masih dipertentangkan adalah apakah invasi otak harus terjadi untuk menggolongan sebuah kasus sebagai CPC. Beberapa peneliti memasukkan tumor yang menunjukkan bukti invasi otak dalam kategori CPC. Akan tetapi, peneliti lainny telah menemukan tumor dengan kenampakan yang jinak plus invasi parenkimal yang berperilaku dengan cara yang jinak, dengan merespons terhaap pengobatan bedah saja tanpa harus memerlukan terapi pembantu. Para peneliti ini menganjurkan pengelompokan lesi-lesi seperti ini sebagai papilloma, meskipun dengan adanya invasi otak. Ada atau tiak adanya penyakit metastatik juga tidak membantu dalam menentukan perbedaan antara CPP dan CPC ini, karena penularan melalui neuraksis terkait dengan kedua patologi. Selain itu, evolusi CPP menjadi CPC telah ditunjukkan.
   
Secara imunohistoikimia dan secara genetik, ada perbedaan tertentu yang telah ditemukan antara CPP dan CPC. CPC ditemukan lebih sering mengekspresikan penanda transthyretin dan S-100 pada 80%-90% kasus. CPC lebih sering mengekspresikan antigen karsinoembrionik (CEA) dan CD44 dibanding CPP. Protein asam fibrillary *GFAP) ditemukan pada 25%-55% CPP, dan 20% CPC. Carloti dkk menunjukkan bahwa imunostain untuk penanda siklus sel tertetu yang mencakup siklin, kinase dependen siklin, dan protein retinoblastoma, meningkat paa CPC dan tidak pada CPP.
   
Untuk penyimpangan kromosom, CPP menunjukkan pertambahan kromosom 5q, 6q, 7q, dan 15q yang leih besar serta kehilangan 21q, dibanding dengan CPC. Akan tetapi, CPC menunjukkan peningkatan pertambahan kromosom 1, 4q, 10, 14q, 20q, dan 21q, serta kehilangan 5q dan 18q.
Pengobatan
   
Pengobatan anak yang mengalami CPT tetap menantang, sebagian karena adanya kontroversi tentang klasifikasi klinis dan patologis lesi-lesi ini, kelangkaannya yang relatif diantara tumor otak, dan sedikit data tentang respons terhadap terapi-terapi pembantu, ditambah dengan usia muda dari mereka yang mengalami CPT dan efek saming potensial yang terkait dengan pengobatan. Yang menjadi unggulan pengobatan untuk CPP dan CPC masih eksisi bedah total. Untuk kasus CPC, pengobatan pembantu bisa mencakup kemoterapi pra-operatif dan pasca-operatif, radioterapi, atau keduanya.
Bedah
   
Tujuan intervensi bedah untuk pasien-pasien yang mengalami CPT mencakup reseksi total lesi itu sendiri, serta penatalaksanaan hidrosefalus terkait jika ada. Perkembangan moderen dalam teknik mikroneurosurgikal, serta penemuan neuroradiologi, neuroanestesia, perawatan neurointensif, dan staf perawatan berdedikasi semuanya telah mengarah pada perbaikan outcome bedah untuk pasien-pasien ini. Selain itu, kemajuan perangkat-keras terkait shunt telah meningkatkan prognosis untuk mereka yang mengalami hidrosefalus persisten.
   
Prinsp-prinsip bedah dasar untuk reseksi CPT cukup mirip dengan lesi intraventrikular secara umum, dan banyak pendekatan bedah yang telah dilaporkan. Pilihan pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi lesi, penyuplai arterialnya, dan pengalaman serta preferensi juru bedah. Ringkasnya, juru bedah harus merencanakan insisi kortikal yang baik dengan memberikan akses memadai terhadap area sistem ventrikular yang membawa tumor dan identifikasi dini pedikel vaskular, yang diikuti dengan ligasi pedikel ini dan selanjutnya ekstirpasi en bloc tumor (Gbr. 5). Terkadang, penjangkauan stalk vaskular sulit akibat ukuran tumor yang besar. Pada kasus-kasus ini, penggunaan cautery bioplar secara hati-hati untuk menyusutkan tumor, diikuti dengan pengangkatan sebagian komponen yang di cauterisasi, akan membuat pedikel terjangkau disamping meminimalisir kehilangan darah intraoperatif.
   
Untuk pasien yang mengalami CPP, pengobatan definitif umumnya melibatkan bedah saja, dengan tujuan reseksi total. Prognosis untuk pasien ini setelah reseksi total sangat baik, dengan persentase kelangsungan-hidup 5-tahun di atas 100%, dan persentase kelangsungan hidup 10-tahun di atas 85%. Untungnya, reseksi lengkapi memungkinkan pada kebanyakan CPP. Carolitti dkk, yang melaporkan kasus 12 pasien CPC yang dioperasi selama periode 1982 sampai 1997, mampu mencapai reseksi lengkap pada 100% kasus. Dalam laporan kasus mereka, Zuccaro dkk dan McEvoy dkk juga mencapai reseksi lengkap pada semua CPP yang dilaporkan. Pencalet dkk mendapatkan 96% persentase reseksi total untuk laporan kasus CPP mereka. Hasil seperti ini telah menyebabkan banyak orang menyimpulkan bahwa resepsi CPP lengkap bisa kuratif, dan jika dicapai, terapi pembantu lebih lanjut tidak dianjurkan.
   
Krishnan dkk baru-baru ini mereview laporan kasus 41 pasien yang mengalami CPP, yagn diobati selama periode antara 1974 sampai 2000 di satu rumah sakit. Walaupun populasi penelitian mereka terdiri dari pasien dewasa yagn lebih banyak, namun mereka menyimpulkan bahwa reseksi total adalah pengobatan yang dipilih untuk CPP. Lebih lanjut, pada pasien yang mengalami reseksi sub-total awal, mereka mengamati bahwa hanya setengah yang memerlukan pengobatan lebih lanjut dengan reseksi ulangan, dan sehingga penambahant erapi radiasi pada kelompok ini hanya memberi sedikit manfaat bagi outcome pengobatan. Mereka dan beberapa peneliti lainnya menganjurkan agar pasien dengan progresi penyakit setelah reseksi subtotal awal menjalani bedah jika memungkinkan, bukan kemoterapi atau radioterapi sebagai pengobatan pembantu.
   
Mirip dengan CPC, terapi awal yang dipilih untuk pasien CPC umumnya adalah reseksi bedah, sebagai uypaya untuk mendapatkan eksisi total. Persentase kelangsungan hidup dua tahun setelah eksisi lengkapi adalah sekitar 72%, sedangkan jumlah yang hanya mengalami reseksi parsial  dan tetap bertahap hidup sampai titik waktu ini adalah sekitar 34%. Dalam reviewnya terhadap 75 kasus CPC yang dipublikasikan, Fitzpatrick dkk menemukan persentase kelangsungan hidup 84% berbanding 18% untuk pasien CPC yang mengalami reseksi total berbanding reseksi sub-total, masing-masing. Karena vaskularitas yang ekstrim, dan potensi akan invasi, reseksi lengkap bisa lebih sulit pada sub-kelompok pasien ini. Dalam laporan kasus mereka, Carlotti dkk mampu mendapatkan reseksi lengkap hanya pada sekitar setengah dari pasien mereka yang mengalami CPC. Pencalet dkk mampu mendapatkan reseksi lengkap pada 61,5% pasien CPC mereka. Berger dkk melakukan sebuah review retrospektif dengan 22 anak yang didiagnosa dengan CPC, antara tahun 1984 dan 1995. Semua mengalami reseksi bedah lesi primer, dan 19 dari 22 menjalani terapi pembantu lebih lanjut. Periode kelangsungan hidup 5 tahun hanya 26%; akan tetapi, pada sub kelompok pasien dimana reseksi lengkap dicapai, kelangsungan hiup 5-tahun adalah 86%. faktor prognostik utama alam laporan kasus mereka adalah luasnya reseksi bedah. Mereka merekomendasikan agar reseksi agresif dilakukan, dan pada anak-anak yang mengalami reseksi sub-total awal, operasi “second look” dipertimbangkan jika tidak dibatasi oleh dampak neurologis potensial yang signifikan.
   
Meskipun dengan pengangkatan CPT yang semurna, sekelompok kecil pasien terus memerlukan diversi CSF permanen pasca-operasi. Pada salah satu lapran kasus, 9 dari 38 anak memerlukan shunt ventrikuloperitoneal setelah pengangkatan tumornya. Laporan kasus lain telah menunjukkan bahwa antara 30% - 50% pasien mungkin memerlukan shunt untuk pengobatna hidrosefalus simtomatik, meskipun dengan pengangkatan tumo yang sempurna. Selain hidrosefalus pasca-operasi, efek samping bedah yagn berbahaya lainnya pada anak-anak adalah akumulasi kumpulan cairan subdural (Gbr. 6). Anak-anak yang mengalai hidrosefalus pra-operatif signifikan, dengan penipisan mantel kortikal, kelihatannya berisiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi ini. Terkadang, kumpulan ini memerlukan pemasangan shunt untuk memfasilitasi drainasenya. Untuk meminimalisir peluang terjadinya komplikasi seperti ini, beberapa peneliti menganjurkan pengisian ventrikel dengan larutan saline sebelum penutupan kraniotomi, atau dengan menggunakan jahitan pital atau lem fibrin untuk menutup tempat kortikotomi, serta drainase ventrikular eksternal pasca-operasi temporer.

Terapi radiasi
   
Secara umum, penggunaan terapi radiasi pembentu untuk CPT telah dilakukan untuk pasien-pasien yang didiagnosa dengan CPC. Akan tetapi, radioresponsivitas dari CPC masih dipertentangkan. Jika digunakan, terapi radiasi untuk CPC umumnya dalam bentuk radiasi kraniospinal, dengan dosis rata-rata 35,2 Gy ke axis kraniospinal, plus tambahan ke kavitas tumor (dosis total 55,2 Gy). Pada pasien yang mengalami penyakit metastatik leptomeningeal, radiasi kraniopsinal postoperatif bisa memberikan outcome yagn lebih baik dibanding kemoterapi saja. Peranan terapi radiasi pembantu tanpa adanya penyakit metastatik atau progresi penyakit lebih kontroversial, khususnya jika reseksi total awal dicapai. Beberapa mendukung terapi radiasi, dengan alasan efek endokrin dan kognitifnya yang telah diketahui terhadap otak yang sedang berkembang, khususnya pada anak-anak yang paling muda. Terapi radiasi umumnya tidak dilakukan pada pasien di bawah 3 tahun. Beberapa lainnya telah mengomentari kelangsungan hidup meningkat dengan radioterapi pembantu, bahkan pada anak-anak dimana reseksi total kasar dicapai. Dalam meta-analisis mereka, Wolff dkk menemukan bahwa kelompok reseksi total dan subtotal, kelangsungan hidup lebih baik untuk pasien yang diradiasi.

Kemoterapi
   
Seperti terapi radiasi, peranan kemoterapi pembantu umumnya dibatasi untuk pengobatan pasien yang mengaami CPC. Resimen kemoterapi terdiri dari kombinasi siklofosfamida, eotposida, vinristin, dan agen platinum. Carlotti dkk menggunakan resimen kemoterapi “ICE” untuk 2-6 siklus (ifosfamida, karboplatinum, etoposida) untuk pengobatan pasien CPC. Salah satu sub-kelompok pasien mereka mendapatkan kemoterapi setelah biopsi awal atau reseksi subtotal, dan selanjutnya menjalani uylangan upaya reseksi total. Jika dibandingkan antara spesimen biopsi/reseksi awal dengan spesimen reseksi pasca-kemoterapi, ditemukan bahwa ekspresi protein siklus sel berkurang setelah kemoterapi. Penelitian oleh Pediatric Oncology Group pada tahun 1995, yang meneliti 8 anak yang mengalami CPC, menemukan bahwa kemoterapi pembantu pasca-operasi sangat membantu dalam menunda kebutuhan akan terapi radiasi, bahkan pada anak-anak yang mengalami reseksi sub-total awal. Selain kemoterapi pasca-operasi, beberapa ahli telah menganjurkan peranan kemoterapi pra-operasi alam upaya untuk mengurangi ukuran dan vaskularitas tumor, sehingga meminimalisir risiko perdarahan pada saat bedah, bersama dengan morbiditas dan mortalitas terkait.

Angio-embolisasi
   
Salah satu opsi terapeutik tambahan untuk pasien-pasien yang mengalami CPT adalah embolisasi arteri penyuplai, dengan bantuan endovaskular intervensional. Meskipun bukan merupakan strategi pengobatan definitif, ini bisa meminimalisir kehilangan darah yang ditimbulkan pada saat bedah. Akan tetapi, teknik ini bukannya tanpa risiko, karena pembuluh choroidal yang menyuplai tumor-tumor ini berukuran kecil dan berbelit-belit, sehingga sulit dikateterisasi. Selain itu, ada risiko oklusi arterial, akibat embolus, trombosis, atau diseksi.

Prognosis/Kualitas Hidup
   
Karena kelangkaan CPT, dan perbedaan dalam pengobatan lesi, maka sulit untuk menarik kesimpulan pasti tentang prognosis secara keseluruhan dan kualitas hidup pada pasien-pasien ini. Outcome dari anak-anak yang mengalami tumor ini mencakup seluruh spektrum tumor ini – mulai dari mortalitas intra-operatif akiat perdarahan tak terkendali, derajat efek samping enruologi terapi pasca-operasi dan pasca-radiasi, kesulitan jangka-panjang yang terkait dengan kebutuhan akan diversi CSF permanen. Akan tetapi, dalam laporan-laporan kasus terbaru, outcome yang semakin baik telah dicapai. Penyembuhan bedah dari CPP adalah outcome yang diharapkan. Untuk pasien yang mengalami CPC, prognosis kurang menjanjikan; akan tetapi, kelangsungan hidup jangka panjang telah dilaporkan setelah reseksi bedah agresif yang sekarang bisa dicapai secara aman dengan menggunakan kemoterapi pra-bedah dan embolisasi pra-operatif imediet. Follow-up ketat dengan pencitraan beruntun terhadap aksis kraniospinal dianjurkan pada kelompok pasien ini.

(Support me in Iconia PC Tablet dengan Windows 8 contest)

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk