Sintesis Kolagen

Keberadaan dan tidak adanya oksigen telah ditemukan mempengaruhi sintesis kolagen. TGF-β1 merupakan sebuah faktor pertumbuhan yang bertanggung jawab untuk transkripsi gen prokolagen. Aktivitas TGF-β1 juga telah diketahui meningkatkan migrasi fibroblast manusia yang dikulturkan muda. Falanga dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa hipoksia meningkatkan sintesis TGF-1β dan sekresi oleh fibroblast secara in vitro dan pengurangan ekspresi pro-kolagen 1 gen COLA1. Siddiqui dan rekan-rekannya juga menunjukkan bahwa hipoksia akut meningkatkan proliferasi fibroblast, sintesis kolagen, dan ekspresi mRNA TGF-β1. Kondisi-kondisi hipoksik kronis mengurangi aktivitas ini; akan tetapi, pengurangan ini bersifat reversibel ketika sel kembali ke lingkungan yang memiliki kadar oksigen lebih tinggi. Disamping itu, ROS (spesies oksigen radikal) yang dihasilkan dari tekanan oksidatif juga menimbulkan faktor pertumbuhan fibroblast.
   

Meski demikian, oksigen diperlukan untuk tahapan-tahapan sintesis kolagen akhir yang mencakup hidroksilasi dan pengikatan-silang prolin dan lisin pasca-translasi. Fibroblast memerlukan tekanan oksigen antara 30 sampai 40 mmHg agar dapat mendeposisi kolagen dengan tepat dan produksi kolagen sebanding dengan tekanan oksigen. Oksigen diperlukan untuk hidroksilasi lisin dan prolin – tahapan ini diperlukan untuk pelepasan kolagen dari sel. Enzim-enzim utama yang terlibat dalam tahapan-tahapan sintesis-kolagen pasca-translasi, yakni, prolil hidroksilase, lisil hidroksilase, dan lisil oksidase memerlukan oksigen sebagai kofaktor. Prolil hidroksilase, yang diperlukan untuk sintesis hidroksiprolin, penting untuk pembentukan tripel heliks. Tanpa oksigen, rantai-rantai peptida pro-alfa yang tidak mengalami dehidroksilasi gagal membentuk sebuah tripel heliks. Jika diekspor keluar dari retikulum endoplasma fibroblast, maka rantai-rantai peptida ini menjadi protein yang non-fungsional.
   
Oksigen juga diperlukan untuk pengikatan-silang kolagen dan pematangannya. Lisil hidroksilase dan lisil oksidase memungkinkan pengikatan-silang yang lebih baik. Oksigen juga bisa memegang peranan dalam kontraksi luka dengan memicu diferensiasi fibroblast ke dalam miofibroblast; akan tetapi, fenomena ini baru ditunjukkan pada jaringan kardiak sejauh ini.

Angiogenesis
   
Seperti dengan sintesis kolagen, hipoksia kelihatannya menginisiasi neovaskularisasi, tetapi tidak bisa mempertahankan proses tersebut. Dari semua faktor pertumbuhan angiogenik pada luka, VEGF dianggap paling berpengaruh. Hipoksia dan ROS menstimulasi fibroblast, keratinosit, dan makrofage untuk melepaskan VEGF melalui mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya. Hipoksia juga  mempengaruhi reseptor VEGF, FLT-1. Secara eksperimental, VEGF telah ditunjukkan meningkatkan ekspresinya pada lingkungan yang hipoksik dan hiperoksik. Salah satu penjelasan untuk hal ini adalah bahwa VEGF diinduksi ketika normoksia didestabilisasi. Angiogenesis, berlangsung lebih efisien dan hanya bisa dipertahankan dengan oksigen yang cukup. VEGF menstabillkan ulang tekanan oksigen yang lebih tinggi tanpa tergantung dengan cara mana VEGF diinduksi pada awalnya. Akan tetapi, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa inhibisi neovaskularisasi yang ditimbulkan oleh hipoksia kronis tidak bisa diatasi dengan VEGF yang ditambahkan.

Merokok, Stres, dan Diabetes
   
Faktor-faktor yang menyebabkan vasokonstriksi atau kerusakan mikrovaskulatur, seperti merokok, tekanan fisilogis, dan diabetes, menghasilkan penyembuhan luka yang buruk. Merokok menghasilkan zat-zat seperti nikotin, karbon monoksida, dan hidrogen sianida, yang secara signifikan mengurangi penyaluran oksigen dan mengganggu respons imun. Merokok juga menginduksi vasokonstriksi arterial dan ischemik, mengurangi aktivitas fibroblast, dan meningkatkan daya lekat trombosit, yang mana meningkatkan pembekuan dan mengurangi perfusi darah. Pada salah satu penelitian. Menghisap dua batang rokok menyebabkan 9% hingga 55% (rata-rata 22%) pengurangan aliran darah ke kaki. Juga ditunjukkan bahwa kadar oksigen jaringan yang berkurang selama hingga 50 menit, dan ini kelihatannya berkorelasi dengan kadar darah nikotin. Nikotin dianggap sebagai penyebab utama vasokonstriksi karena nikotin menstimulasi pelepasan katecholamin.
   
Akan tetapi, menariknya, pemberian zat nikotin tanpa rokok tidak menghasilkan efek yang sama, dan asap rokok mengandung ratusan senyawa lain. Karbon monoksida secara kompetitif menghambat pengikatan oksigen ke hemoglobin dengan menggeser oksigen dari hemoglobin dan dengan mengurangi transport oksigen, sedangkan hidrogen sianida menghambat sitokrom oksidase yang mencegah sel-sel dari menggunakan oksigen.
   
Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa merokok memiliki implikasi untuk infeksi luka. Para perokok memiliki tingkat infeksi luka yang lebih tinggi dibanding bukan-perokok. Akan tetapi, dengan pemberian zat nikotin (tanpa rokok) tidak meningkatkan angka infeksi. Dalam sebuah penelitian prospektif terhadap 78 pasien (48 perokok yang menghisap sekurang-kurangnya 20 batang per hari dan 30 bukan-perokok), luka biopsi jarum sacral ditindaklanjuti selama 15 pekan. Kelompok perokok diacak untuk aktivitas merokok secara kontinyu atau merokok selama 1 pekan dan kemudian diperintahkan tidak merokok yang digantikan dengan nikotin saja atau tidak merokok yang digantikan dengan bukan-nikotin selama pekan-pekan selanjutnya. Perokok memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi – 12% berbanding 2% pada bukan-perokok. Tidak merokok selama 4 pekan mengurangi tingkat infeksi luka, dan penggunaan suplemen nikotin tidak memperburuk tingkat infeksi. Penelitian lain mendukung temuan-temuan ini dan menunjukkan bahwa intervensi merokok, yang melibatkan pengurangan merokok 6 sampai 8 pekan sebelum bedah, bisa cukup untuk mengurangi infeksi pasca-operasi dan morbiditas keseluruhan pada bedah penggantian sendi ortopedik. Terakhir, merokok lebih dari 10 tahun telah ditemukan terkait dengan imunoglobulin yang berkurang. Rasio CD16+/sel NK dan rasio CD4/CD8 yang berkurang pula akibat peningkatan sel-sel CD8+.
   
Disamping itu, merokok memiliki efek merugikan lainnya terhadap penyembuhan luka. Merokok menyebabkan emfisema dan bronchitis, proses-proses penyakit yang mengurangi oksigenasi arterial, proliferasi fibroblast paru, dan migrasi. Kontraksi kolagen dan kontraksi luka berkurang pada perokok, kemungkinan karena produksi fibronektin yang berkurang. Merokok mengurangi pembentukan jaringan granulasi dan penyembuhan luka pada mencit.
   
Pasien pada situasi stres tinggi, seperti pasien bedah dan pasien yang dirawat inap, bisa mengalami gangguan penyembuhan luka. Dengan aktivasi sistem saraf simfatetik dan vasokonstriksi, stres bisa meningkatkan permintaan oksigen dan mengurangi penyaluran oksigen. Dengan demikian, seseorang bisa meningkatkan penyaluran oksigen dan mempercepat penyembuhan luka dengan faktor-faktor seperti kehangatan, pemblokiran simfatetik, dan oksigen suplemental.
   
Diabetes merupakan sebuah penyakit yang mempengaruhi mikrovaskulatur. Kadar glukosa intraseluler yang tinggi dan glikolisis mengarah pada pembentukan produk-produk yang bersifat toksik bagi sel-sel endotelium. Vaskulatur menjadi abnormal dari segi fungsi, interaksi leukosit-sel endotelium meningkat, dan perfusi berkurang, yang semuanya mengarah pada penyaluran oksigen dan nutrien yang berkurang ke tempat luka. Penyembuhan pada luka diabetik lebih lanjut terganggu karena neutrofil memiliki fungsi yang buruk dalam lingkungan hiperglikemi.

Pembalutan Luka
   
Pembalutan luka bisa memegang peranan dalam tingkat dan kualitas penyembuhan. Pertama, pembalutan luka menghasilkan lingkungan yang lembab. Pembalutan telah dibuktikan meningkatkan epitelisasi sebanyak dua kali lipat, mengurangi nekrosis flap kulit ischemik dan mengurangi pembentukan scar. Untuk meningkatkan reepitelisasi, Eaglestein dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa balutan dari bahan poliuretan (PUD) perlu digunakan dalam 24 jam (paling baik 6 jam) dan dibiarkan selama 24 jam. Pada laporan lainnya, setelah 3 hari, balutan hidrokoloid dan PUD meningkatkan epitelisasi dan sintesis kolagen dibanding dengan luka yang tidak dibalut. Luka yang dibalut dengan hidrokoloid sembuh lebih baik dibanding yang dibalut dengan PUD. Luka-luka yang dibalut bisa memperlama keterpaparan luka terhadap faktor-faktor pertumbuhan dalam matriks ekstraseluler.
   
Balutan juga bisa meningkatkan hipoksia terhadap luka yang mana dapat menstimulasi proses penyembuhan luka seperti re-repitelisasi. Balutan luka PUD permeabel oksigen dan hidrokoloid non-permeabel oksigen bisa menghasilkan tekanan oksigen pada luka yang hampir dapat diabaikan (4,5 mmHg O2 berbanding 0 mmHg O2). Balutan yang dibubuhi petrolatum juga menghambat penyaluran oksigen. Akan tetapi, neutrofil yang lebih aktif ditemukan dalam PUD permeabel-oksigen, yang mana bisa mencegah infeksi lebih lanjut.
   
Disisi lain, luka ischemik yang dibalut telah terbukti mengurangi kekuatan tekanan dibanding dengan luka yang tidak dibalut setelah 14 hari. Secara teori, balutan memberikan kemampuan untuk melindungi luka dari kontaminasi bakteri. Akan tetapi, ini tidak didukung oleh sebuah penelitian yang menemukan bahwa membiarkan luka yang bersih tanpa dibalut tidak menyebabkan risiko infeksi yang lebih tinggi. Sebetulnya, balutan oklusif tertentu bisa meningkatkan jumlah bakteri anaerob pada sebuah luka. Lebih khusus, dalam salah satu penelitian, luka yang dibalut dengan balutan DuoDERM dan Vigilion menunjukkan jumlah Clostridium perfringes dan Bacteroides fragilis yang lebih tinggi dibanding luka yang dibalut OpSite dan yang tidak dibalut, meskipun Opsite dan Vigilon menunjukkan jumlah Pseudomonas aeruginosa yang lebih tinggi dibanding dengan luka yang tidak dibalut. Dengan demikian, efek balutan terhadap tekanan oksigen, kelembaban, dan kontaminasi dan penentuan waktu luka balutan bisa signifikan dan perlu diselidiki lebih lanjut.

Terapi Oksigen Hiperbarik
   
Berdasarkan bukti eksperimental, terlihat bahwa tekanan oksigen yang meningkat pada tempat luka bisa menghasilkan proses penyembuhan yang yang lebih cepat dan lebih efisien. Dengan demikian, terapi oksigen telah dilakukan untuk membantu penyembuhan luka akut dan kronis. Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) merupakan salah satu metode penyaluran oksigen suplemental dan digunakan utamanya untuk luka-luka kronis. HBOT didefinisikan sebagai pemberian 100% oksigen pada tekanan yang lebih besar dari 1 ATM.
   
HBOT merupakan perawatan yang disetujui FDA dengan beberapa indikasi. Ini mencakup luka kronis yang sukar sembuh, infeksi jaringan lunak nekrosis, gangren gas klotridial, cedera tabrakan, luka bakar termal, preparasi graf, mikosis membanel, ostemeolitis membandel, osteoradinekrosis, abses intrakranial, anemia kurang darah, keracunan karbon monoksida, keracunan sianida, embolisme udara, dan kesakitan dekompresi. Kontraindikasi mencakup bedah telinga atau sinus yang baru saja dilakukan, gangguan seizure, gangguan demam, kemoterapi tertentu akibat toksisitas paru yang meningkat, infeksi pernapasan atas, efisema, riwayat bedah toraks atau pneumotoraks, pacu jantung, neuritis optik atau otsklerosis, infeksi viral, spherositosis kongenital, hiperthermia, klaustrofobia, dan kehamilan.
   
Sejauh bukti untuk efikasi pada luka-luka kronis, penelitian-penelitian hewan dan sel-sel yang dikulturkan menunjukkan bahwa HBOT benar-benar meningkatkan proliferasi fibroblast dan sel-sel endotelium, sehingga membantu jaringan granulasi dan kontraksi luka. HBOT juga meningkatkan diferensiasi keratinosit dan migrasi keratinosit pada model ekivalen kulit manusia. Sheikh dan rekan-rekannya menunjukkan kadar VEGF yang meningkat pada cairan luka mencit yang menjalani HBOT. Bukti klinis mencakup analisis terhadap penelitian-penelitian HBOT dan ulser ekstremitas bawah diabetik, yang menyimpulkan bahwa HBOT mengurangi amputasi pada ulser kaki diabetik dan mengurangi ukuran ulser vena pada interval 6 pekan, tetapi tidak setelah 18 pekan. Sebuah penelitian terkontrol terhadap ulser-ulser kaki diabetik menemukan HBOT menghasilkan pengurangan ukuran ulser yang signifikan pada Hari 15, tetapi tidak setelah 30 hari pengobatan, meskipun review dengan skala yang lebih kecil menemukan bahwa HBOT benar-benar meningkat kecenderungan terhadap ukuran ulser yang berkurang. Sebuah penelitian terkontrol menemukan bahwa HBOT mengurangi kejadian kolonisasi bakteri pada ulser-ulser diabetik, tetapi tidak mengurangi lama tinggal di rumah sakit.
   
Oksimetri transkutaneous merupakan sebuah teknik terbaru yang memberikan cara objektif untuk mengukur oksigenasi jaringan di dekat sebuah luka. Pemantau tekanan oksigen transkutaneous menentukan perfusi oksigen pada jaringan (TcPO2). Pencatatan TcPO2 biasanya dilakukan dengan pasien yang menghirup udara ruangan dan 100% oksigen pada tekanan 1 ATM dan selama HBOT. TcPO2 dianggap lebih baik sebagai indikator terganggunya mikrovaskular aliran darah mikrovaskular dibanding dengan indeks tekanan darah sistolik engkel-brachial, yang hanya bisa mengukur penyakit makrovaskular. Pengukuran TcPO2 telah ditunjukkan pada beberapa penelitian untuk menentukan pasien-pasien yang memiliki peluang lebih baik untuk sembuh atau termasuk kategori yang harus menjalani HBOT. TcPO2 pasien-pasien diabetik dengan ulser-ulser kaki telah diteliti. Pasien-pasien dengan TcPO2 in-chamber 200 sampai 400 mmHg memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses dengan terapi HBOT.
   
Akan tetapi, penelitian-penelitian HBOT telah dikritik, dan ini bisa menjelaskan hasil-hasil yang masih belum jelas. Seringkali penelitian-penelitian ini memiliki ukuran sampel yang sangat kecil, protokol-protokol pengobatan yang tidak standar selain HBOT, dan/atau evaluasi komorbiditas pasien yang buruk. Sebuah penelitian acak, terkontrol terhadap ulser-ulser kaki diabetik dengan populasi yang diseleksi menurut usia, jenis kelamin, dan komorbiditas tidak menunjukkan bahwa HBOT meningkatkan penyembuhan ulser luka. Sehingga, tindakan klinis dari HBOT masih harus ditentukan, dan penelitian-penelitian tambahan akan diperlukan untuk menentukan efikasinya.
   
Penyembuhan luka yang terganggu akibat tekanan merupakan komplikasi lain yang berpotensi diatasi oleh HBOT. Pada sebuah penelitian mencit dimana mencit dikurung selama 3 hari dan kemudian dilukai, HBOT mampu meredakan efek tekanan dan sehingga memungkinkan luka sembuh sama efisiennya dengan kelompok kontrol. Akan tetapi, HBOT tidak menunjukkan perbaikan signifikan pada penyembuhan luka dalam kelompok kontrol, yang tidak lagi mengalami stress.
   
Disisi lain, HBOT juga bisa memiliki kendala bagi penyembuhan luka akibat tekanan potensial yang bisa ditimbulkan baik secara psikologis maupun fisiologis. HBOT tidak hanya menyebabkan stres pada pasien klaustrofobik, tetapi juga ada banyak risiko, termasuk barotrauma telinga tengah dan hipoglikemia. Efek berbahaya yang paling serius dilaporkan dari HBOT adalah seizure menyeluruh, walaupun dilaporkan jarang (1/3388 atau 0,03%). Risiko-risiko teoritis lainnya telah dilaporkan oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa HBOT menggeser tubuh ke sebuah keadaan oksidatif. HBOT menyebabkan pembentukan radikal bebas dalam leukosit secara in vitro, walaupun ada bukti bahwa ini terjadi dengan tingkat yang tidak membahayakan pada HBOT sesekali, dan belum ditunjukkan secara in vivo pada relawan sehat. Tekanan oksidatif dari HBOT bisa mengganggu fungsi sel darah merah secara in vitro. HBOT terkait dengan mutasi pada DNA darah manusia, apoptosis dan pertumbuhan sel tertahan pada fibroblast, dan sel-sel hematopoietik. Dengan memperhitungkan komplikasi potensial HBOT dan kurangnya penelitian kasus-kontrol dan penelitian retrospektif, sangat penting untuk menentukan apakah manfaat terapi ini lebih besar dibanding risiko yang ditimbulkan.

Terapi Oksigen Topikal
   
Beberapa peneliti telah menyarankan oksigen topikal sebagai alternatif yang lebih baik untuk HBOT. Terapi ini tidak berpotensi kurang toksik, tetapi oksigen topikal jauh lebih nyaman karena bisa dilakukan di rumah, kurang mahal, dan memiliki komplikasi yang lebih sedikit (lihat Tabel 2). Metode pengobatan oksigen topikal adalah pemberian oksigen murni ke bagian terlokalisasi dari tubuh melalui sebuah alat yang terbuat dari plastik.
   
Dalam mendukung efikasinya, salah satu penelitian observasional retrospektif terhadap 58 luka bedah kompleks pada 32 pasien menentukan bahwa 65% (38 dari 58 pada 15 pasien) sembuh sempurna pada oksigen topikal. Dalam seri kasus klinis ini, rata-rata durasi luka adalah 4 bulan (rentang, 1 sampai 4 tahun). Kebanyakan pasien memiliki sekurang-kurangnya satu komorbiditas. Luka yang dipilih adalah luka yang sukar disembuhkan atau diharapkan gagal sembuh karena risiko yang lebih tinggi, walaupun tidak ditentukan. Luka-luka dipaparkan terhadap sebuah kantung steril yang berisi 100% oksigen pada takanan 1 ATM selama 90 menit, 4 hari berturut-turut. Waktu perlakuan rata-rata adalah 80 ± 54 hari (rentang, 24 sampai 233 hari) dan periode follow-up berkisar antara 1 sampai 8 bulan. Pada kelompok yang sembuh dan yang tidak sembuh, 51 dari 55 luka yang diobati berkurang ukurannya. Luka yang paling kecil responnya adalah ulser neutropati, luka ekstremitas bawah akibat bedah, dan ulser tekanan. Tidak ada komplikasi yang ditemukan.
   
Fries dan rekan-rekannya menggunakan oksigen topikal (3-6 L/menit 3 jam sehari selama 7 hari melalui sebuah masker) untuk membuka luka-luka dermal pada hewan. Masing-masing dari empat hewan memiliki 10 luka yang terbentuk pada punggungnya, setengahnya dipaparkan terhadap oksigen topikal dan setengah lainnya tidak dipaparkan terhadap oksigen. Oksigen topikal mempercepat penutupan luka yang diukur berdasarkan histologi, dan keratin 14 yang meningkat, ekspresi VEGF dan pO2 jaringan sampai 2 mm kedalamannya. Yang perlu diperhatikan, semua luka juga dibalut dengan balutan PUD, yang bisa mengaburkan perbedaan antara perlakuan dan kontrol.
   
Penelitian-penelitian oksigen topikal telah dikritik. Penelitian-penelitian ini mencakup tipe-tipe luka (ulser bedah, diabetik, tekanan, dan ulser statis, akut dan kronis), resimen perawatan luka, dan usia populasi pasien. Terapi oksigen topikal tidak akan mampu digunakan pada perokok untuk alasan keamanan. Yang paling penting, ada beberapa penelitian tentang subjek ini, dan tak satupun yang telah dilakukan pada manusia. Jumlah pasien yang lebih banyak perlu diteliti untuk membuktikan manfaatnya.
   
Efek terapi oksigen suplemental kurang dapat dipahami kecuali karena efeknya yang bermanfaat pada infeksi luka seperti yang dibahas sebelumnya. Masih sedikit yang diketahui tentang bagaimana oksigen suplemental mempengaruhi penyembuhan oksigen melalui efek-efek sistemiknya atau melalui perfusi lokal di dekat luka. Peningkatan kadar oksigen aterial sebesar 100 mmHg hanya meningkatkan luka PO2 sebesar 3 mmHg menurut salah satu penelitian. Akan tetapi, penelitian lain menunjukkan pertumbuhan optimal kultur keratinosit in vitro dengan tekanan oksigen ambien yang rendah, dimulai pada 2% O2 (13 mmHg). Jadi jelas, penentuan peranan pasti yang dimiliki oksigen dalam penyembuhan luka cukup kompleks dan belum dipahami sepenuhnya.

Kesimpulan
   
Oksigen suplemental sebagai sebuah perawatan untuk penyembuhan luka terlihat menjanjikan, tetapi banyak pertanyaan yang masih perlu dijawab. Walaupun penelitian-penelitian tentang penyembuhan luka dan oksigen suplemental masih kurang, ada beberapa laporan lain yang mendukung hasil dari penggunaan terapi oksigen topikal dan hiperbarik. Jika diselidiki, banyak penelitian yang kurang dapat dipercaya atau mengandung jenis luka campuran dan hasilnya agak tidak konsisten. Disamping itu, penelitian-penelitian ini sebagian besar dilakukan pada pasien yang mengalami penyembuhan luka abnormal. Tanpa trial-trial terkontrol kasus, dan trial acak skala besar, manfaat terapi oksigen untuk penyembuhan luka yang cepat masih tetap belum bisa dipastikan. Pemahaman yang kita miliki sekarang ini adalah bahwa keberadaan atau tidak adanya oksigen memegang peranan dalam penyembuhan luka. Ketika pemahaman kita semakin meningkat tentang bagaimana kondisi-kondisi oksigenasi (hipoksia, normoksia, dan hiperoksia) mempengaruhi luka pada tahapan-tahapan penyembuhan luka, mudah-mudahan peranan oksigen suplemen sebagai sebuah terapi dalam penyembuhan luka dapat diklarifikasi. Disamping itu, hubungan antara oksigen dan kelembaban dalam penyembuhan luka dan penggunaan material pembalut luka perlu diselidiki lebih lanjut. Dengan demikian, karena oksigen memegang peranan penting dalam penyembuhan luka, maka penelitian lebih lanjut tetap diperlukan.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk