Faktor-Faktor yang Terkait dengan Kematian Akibat Gempa dalam Bencana Gempa Bumi Hanshin-Awaji, 1995

Abstrak

Dalam penelitian ini dilakukan studi kasus-kontrol deskriptif untuk mencari faktor-faktor yang terkait dengan kematian gempa akibat gempa bumi Hansin-Awaji pada tanggal 17 Januari 1995 di Nishinomiya, Jepang. Dalam studi kasus-kontrol ini, kasus mencakup 1.104 kematian. Kontrol dipilih secara acak dari mereka yang selamat. Angka kematian akibat gempa meningkat untuk orang yang berusia di atas 50 tahun. Angka kematian untuk orang yang tinggal dalam bangunan yang roboh jauh lebih tinggi. Salah satu faktor risiko adalah kecacatan fisik (rasio ganjil = 1,9, 95% interval kepercayaan (CI): 1,0, 3,4). Ketika analisis dibatasi pada orang-orang yang tinggal dalam bangunan yang masih utuh atau rusak sebagian, rasio ganjil meningkat menjadi 5,6 (95% CI: 1,6, 19,8).

Pada tanggal 17 Januari 1995, gempa bumi Hanshin-Awaji dengan kekuatan 7,2 skala Ritcher, menghantam bagian selatan Kawasan Hyogo, Jepang. Korban seketika mencakup 5.502 kematian dan 41.527 luka-luka. Pada bulan Desember 1995, kematian terkait gempa dan korban mencapai 6.308 kematian dan 43.117 luka-luka.

Untuk mencari faktor yang terkait dengan kematian akibat gempa, kami melakukan dua penelitian epidemiologi. Analisis epidemiologi deskriptif digunakan untuk mengevaluasi dampak usia dan besarnya kerusakan bangunan. Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang terkait dengan kematian gempa selain usia dan besarnya kerusakan tempat tinggal. Kami memilih kota Nishinomiya, dimana jumlah korban kedua terbesar ditemukan, karena pemerintah kotanya memiliki database tentang kesejahteraan sosial yang mencakup semua penduduk kota. Kota ini, dengan populasi sekitar 400.000, berbatasan di sebeleh timur dengan Kobe. Satu tahun setelah gempa ini, ada 1.104 kematian terkait gempa dan 6.386 luka-luka di kota ini.


BAHAN DAN METODE

Kajian epidemiologi deksriptif

Angka kematian spesifik usia yang terkait dengan gempa dikategorikan menurut jenis kelamin dan besarnya kerusakan tempat tinggal, yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: rusak total, rusak sebagian, dan utuh. Data populasi dari Maret 1994 digunakan sebagai populasi standar untuk perhitungan angka kematian spesifik usia.
Studi kasus-kontrol

Kasus mencakup semua kematian akibat cedera gempa dalam kota Nishinomiya selama 1 tahun setelah gempa bumi. Semua kasus pertama-tama dipastikan dengan mendatangi dokter kemudian direview dan disetujui oleh komite peradilan lokal untuk kematian akibat gempa. Hampir semua kematian di kota ini disebabkan oleh mati lemas (kehabisan napas) dan/atau cedera akibat reruntuhan bangunan. Hampir semua (95 persen dari 1.104) kematian terjadi selama pekan pertama setelah gempa bumi. Kontrol dipilih secara acak dari mereka yang selamat hidup di daerah yang sama dengan setiap kasus. Selanjutnya kami mencocokkan jenis kelamin, usia, dan besarnya kerusakan tempat tinggal. Sehingga, jumlah kontrol juga 1.104 (tabel 1).

Kami membuat lima variabel dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari database kota: 1) lansia berusia 80 tahun ke atas yang hidup sendiri; 2) lansia yang berusia 65 tahun atau lebih dan memerlukan perawatan; 3) individu yang cacat fisik; 4) individu yang menderita penyakit parah; dan 5) individu yang sedang mendapatkan bantuan publik. Data diperoleh dari pemerintah Nishinomiya melalui formalitas yang diperlukan. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan data per 16 Januari 1995 (yakni 1 hari setelah gempa bumi terjadi).

Variabel-variabel di atas didefinisikan sebagai berikut: “orang lansia yang sudah tidak mampu” berarti mereka yang berusia 65 tahun ke atas dan memerlukan perawatan yang mana telah terbaring di tempat tidur selama 6 bulan atau lebih. Kecacatan fisik mencakup hanya kecacatan tingkat pertama atau kedua (kasus parah). Pasien yang memiliki penyakit parah adalah mereka yang menderita penyakit tertentu ditentukan oleh pemerintah nasional yang telah mendapatkan bantuan publik untuk pengeluaran medis. Ada 36 penyakit ini, mencakup lupus erythematous sistemik, collitis ulceratif, penyakit Parkinson, thrombocytopenia purpura idiopatik, sclerosis ganda, degenerasi spinocerebellar, sarcoidosis, dan dermatomyositis.

Metode Statistik

Sebuah analisis regresi logistik digunakan untuk mengakses rasio ganjil variabel-variabel yang digunakan dalam studi kasus-kontrol. Semua variabel dibagi dua tanpa data yang hilang. Proses analisis ini dilakukan menggunakan program  SAS.

HASIL

Kajian deskriptif

Angka kematian spesifik usia meningkat setelah usia 50 tahun. Perbedaan angka kematian berdasarkan jenis kelamin tidak diamati. Ketika jumlah kematian yang disebabkan oleh gempa dibandingkan dengan jumlah kematian pada tahun 1994 (tahun sebelum gempa terjadi), jumlah kematian yang sangat tinggi diamati pada generasi yang lebih muda (Gambar 1). Ketika angka kematian diantara orang yang tinggal dalam rumah yang roboh total dibandingkan dengan angka kematian dari total gabungan kelompok lain, yakni kelompok yang tinggal dalam rumah yang rusak sebagian dan yang utuh, maka angka kematian diantara kelompok yang tinggal dalam rumah yang rusak total jauh lebih tinggi (Gambar 2). Bahkan diantara orang yang tinggal pada rumah yang rusak total, angka kematian meningkat seiring dengan usia (Gambar 2).

Studi kasus-kontrol

Rasio jender dari subjek (laki-laki:perempuan) adalah 0,67. Tidak ada pasangan variabel dengan korelasi tinggi yang diamati, sehingga semua variabel berlaku bagi analisis. Ketika analisis regresi logistik dilakukan, faktor risiko yang mungkin adalah kecacatan fisik (rasio ganjil = 1,9). Akan tetapi, kecocokan model yang digunakan tidak terlalu tinggi (Tabel 2). Lansia yang tinggal sendiri lebih kecil kemungkinannya menjadi korban, tetapi pola ini tidak mencapai tingkat yang signifikan secara statistik.

Kami membuat sebuah variabel baru yang disebut “cacat fisik” yang menggabungkan tiga variabel, yaitu lansia tidak mampu, kecacatan fisik, dan penyakit parah, karena kecilnya jumlah subjek yang mengalami kondisi-kondisi ini. Ketika analisis dilakukan dengan menggunakan variabel hidup sendiri, memiliki cacat fisik, dan mendapatkan bantuan publik sebagai tiga variabel independen, maka faktor risiko signifikan adalah cacat fisik (rasio ganjil = 1,7), dengan kadar chi-square model yang tinggi (Tabel 2).

Ketika analisis dibatasi pada orang yang tinggal dalam rumah yang rusak total, tidak ada faktor terkait yang diamati. Ketika analisis dibatasi pada orang yang tinggal dalam rumah yang utuh atau rusak sebagian, orang yang memiliki cacat fisik 5,6 kali lebih mungkin menjadi korban gempa bumi ini (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Jumlah orang yang cedera oleh gempa bumi ini paling tinggi diantara gempa-gempa yang pernah terjadi antara September 1993 sampai Februari 1996. Kematian karena gempa juga berbeda pada masing-masing kasus karena faktor-faktor berikut: besarnya gempa bumi, karakteristik bangunan yang didalamnya terdapat korban, dan ketersediaan perawatan medis. Walaupun laporan-laporan sebelumnya telah menunjukkan bahwa angka kematian akibat gempa meningkat seiring dengan usia, namun penelitian kami menganalisis angka kematian spesifik usia berdasarkan tingkat kerusakan bangunan. Analisis kami secara jelas menunjukkan bahwa usia dan tingkat kerusakan bangunan adalah faktor risiko yang paling penting.

Distribusi usia dalam kematian akibat gempa berbeda untuk masing-masing kasus. Gempa Guatemala mencatat angka kematian tertinggi untuk lansia dan anak-anak. Di gempa India, angka kematian tinggi diamati untuk lansia dan anak-anak laki-laki. Juga dalam gempa India, angka kematian yang lebih tinggi diamati diantara perempuan, sedangkan perbedaan menurut jender ini tidak diamati dalam penelitian kami. Angka kematian spesifik-usia cenderung lebih tinggi pada generasi yang lebih muda pada gempa yang terjadi di negara-negara berkembang. Temuan ini bisa terkait dengan status gizinya dan kesehatan fungsionalnya.

Angka kematian spesifik usia dari gempa ini cenderung lebih tinggi untuk generasi yang lebih muda dibanding dengan kematian untuk generasi yang lebih muda di tahun sebelumnya, meski cenderung lebih rendah diantara lansia. Kami mengamati tingginya kematian pada kelompok usia yang lebih muda, yang sejalan dengan laporan terdahulu tentang korban diantara mahasiswa Universitas Kobe. Angka kematian lansia yang relatif rendah bisa mengindikasikan bahwa gempa bumi memiliki pengaruh yang relatif sama terhadap nyawa manusia berbeda dengan penyebab kematian yang lazim.

Ada satu penelitian sebelumnya yang menganalisis angka kematian gempa menurut tingkat kerusakan bangunan. Pada penelitian tersebut, rasio kematian orang yang tinggal dalam bangunan yang rusak total dibandingkan dengan kematian orang yang tinggal dalam bangunan lain lebih rendah dibanding rasio dalam penelitian kami ini. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh beberapa karakteristik gempa, struktur dari dan/atau material yang digunakan dalam membuat bangunan, dan/atau kepadatan populasi di daerah yang terkena gempa. Laporan-laporan sebelumnya tentang kematian dan cedera akibat gempa merujuk pada beberapa informasi yang dikumpulkan setelah gempa bumi.

Sebuah penelitian cross-sectioal dari gempa bumi di Italia menemukan beberapa faktor risiko dan preventif untuk injury kematian: Tinggal dalam rumah merupakan sebuah faktor preventif, sedangkan tinggal di lantai yang lebih tinggi merupakan sebuah faktor risiko. Tinggal sendirian juga merupakan faktor risiko signifikan untuk kematian atau injury.

Studi kasus-kontrol terhadap cedera melaporkan beberapa faktor risiko, seperti tetap berada di lantai yang lebih tinggi, penundaan pertolongan dan/atau kesulitan akses terhadap pelayanan medis, tinggal sendiri, tinggal dalam rumah batu, atau tinggal di lantai tingkat menengah. Penelitian-penelitian ini juga melaporkan faktor-faktor preventif, seperti berada di jalan ketika gempa menyerang dan berlari keluar bangunan tepat setelah goncangan pertama. Sebuah studi kohort terbaru tentang gempa bumi di Armenia menemukan temuan tentang kematian dan injury setelah gempa bumi dan menemukan bahwa tinggi bangunan merupakan sebuah faktor penting dalam memprediksikan kematian akibat gempa.

Penelitian kami mengamati sebuah faktor risiko yang baru – yaitu kecacatan fisik. Faktor risiko ini signifikan untuk orang-orang yang tinggal dalam bangunan yang utuh atau rusak parsial. Ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan bangunan merupakan sebuah faktor risiko yang penting, karena faktor risiko lain bisa dikurangi untuk orang-orang yang tinggal dalam rumah yang rusak total. Ini menunjukkan bahwa orang yang rentan secara fisik ketika gempa menyerang juga sering merupakan orang yang tidak aktif dari segi politik dan sosial. Hasil kami menunjukkan pentingnya investasi berlanjut dan penjagaan lingkungan hidup selama masa-masa normal.

Kami menemukan sebuah faktor preventif yang mungkin, yaitu, lansia yang tinggal sendiri. Kesehatan fungsional lansia yang hidup sendiri tidak berbeda dari mereka yang tidak hidup sendirian. Sulit untuk dibayangkan bahwa lansia yang hidup sendiri menempati bangunan-bangunan yang lebih kuat. Alasan bahwa ini adalah sebuah faktor preventif bisa jadi karena orang-orang tersebut tinggal pada lantai bawah dan/atau ketepatan waktu tim pertolongan untuk orang lansia seperti ini.

Baru-baru ini, sebuah penelitian dengan follow-up 4 tahun dilakukan di Armenia. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama masa yang lebih lama, morbiditas yang meningkat akibat penyakit jantung dan penyakit kronis setelah gempa terkait dengan intensitas keterpaparan terhadap kerusakan dan kerugian yang terkait penyakit. Di masa mendatang, diperlukan menggunakan statistik vital untuk meneliti angka kematian yang meningkat akibat penyakit kronis setelah terjadinya gempa besar.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital