KEJADIAN DEMAM CHIKUNGUNYA YANG TERKAIT KEKERINGAN DI SEPANJANG TIMUR LAUT AFRIKA

ABSTRAK

Epidemik chikungunya, sebuah penyakit yang ditimbulkan spesies Aedes spp., mengenai ratusan ribu orang di pulau-pulau Samudera Hindia bagian barat dan di India selama tahun 2005-2006. Perjangkitan awal terjadi di Kenya bagian pantai (Lamu, kemudian Mombasa) di tahun 2004. Kami meneliti kondisi-kondisi eko-klimatik yang terkait dengan munculnya demam chikungunya di sepanjang Kenya pantai dengan menggunakan pengamatan-pengamatan epidemiologi dan data satelit. Kondisi kekeringan dan panas yang tidak lazim mendahului perjangkitan penyakit, termasuk masa paling kering sejak 1998 untuk beberapa daerah pantai. Pengisian ulang simpanan air domestik yang tidak sering dan suhu yang meningkat mungkin telah mempermudah penyebaran virus demam chikungunya. Hasil ini menunjukkan bahwa populasi yang tertimpa kekeringan bisa memiliki risiko yang meningkat untuk demam chikungunya, dan menunjukkan pentingnya simpanan air yang aman selama operasi pertolongan kekeringan.


Dengan disebarkan oleh nyamuk Aedes spp., virus Chikungunya (CHIKV) menyebabkan penyakit demam dengan nyeri sendi. Penyakit ini cukup jarang terjadi tetapi bisa parah dan berkepanjangan, dan menimbulkan komplikasi-komplikasi lain. Siklus penyebaran lewat pepohonan melibatkan Aedes spp. yang menempati hutan dan primata asing mempertahankan keendemikan di sepanjang Afrika tropis. Di Asia tropis, siklus Aedes aegypti perkotaan dan Aedes albopictus dianggap mempertahankan CHIKV diantara epidemik-epidemik.

Selama tahun 2005-2006, epidemik demam Chikungunya skala-besar mengenai pulau-pulau Samudera Hindia bagian barat dan India (Gbr. 1A). Perjangkitan yang terjadi dari pulau-pulau Samudera Hindia terkait dengan yang sebelumnya di daerah Afrika Timur, Afrika Tengah dan Afrika Selatan, dan diikuti perjangkitan di sepanjang Pantai Kenya di tahun 2004, di Lamu kemudian Mombasa. Total jumlah kasus lintas perjangkitan selama 2004-2006 tidak diketahui, tetapi sejauh ini merupakan epidemik demam chikungunya terbesar dalam catatan. Di La Reunion sendiri, WHO memperkirakan bahwa lebih dari 200.000 orang telah terinfeksi. Infeksi yang diperkirakan di Comoro dan Lamu adalah 215.000 (63% dari populasi) dan 13.500 (75% dari populasi), masing-masing, berdasarkan survei serologis.

Untuk menelusuri kontribusi eko-klimatik terhadap kejadian demam chikungunya epidemik di Kenya, kami mengambil data satelit melalui sebuah sistem peringatan dini yang dikembangkan untuk demam Rift Valley. Ini adalah bagian dari Sistem Respon dan Surveilans Infeksi Amerika Serikat (DoD-GEIS), yang berpartisipasi dalam pengamatan lapangan di Lamu dengan Menteri Kesehatan Kenya dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan penyakit Amerika Serikat.

Indeks Vegetasi Beda Normal (NDVI), sebuah ukuran kepadatan tanaman hijau, didapatkan dari pengukuran yang dilakukan dengan instrumen optik VEGETATION pada sebuah satelit pengamatan SPOT-4. data diproses menjadi kumpulan data bulanan, dan dinyatakan sebagai kelainan-kelainan, atau pergeseran persen dari nilai bulan referensi selama 1998-2005. Data curah hujan didasarkan pada algoritma estimasi curah-hujan satelit menggunakan daerah seluas 10 x 10 km yang berpusat di lokasi perjangkitan. Perkiraan curah hujan harian dijumlah untuk menghitung total bulanan. Data dinyatakan sebagai kelainan-kelainan bulanan dengan memperhatikan nilai mean bulan referensi selama 1995-2005. Data OLR (outgoing longwave radiation) diperoleh dari pengukuran dengan satelit NOAA, dan dinyatakan sebagai kelainan bulanan dengan memperhatikan nilai mean referensi selama 1979-2005. Kelainan-kelainan OLR negatif di daerah tropis mewakili daerah-daerah yang memiliki awan, dimana kelainan OLR positif terkait dengan kondisi kekeringan.

Kasus penyakit demam non-malaria di Rumah Sakit Distrik Lamu meningkat tajam pada Juni 2004; dari 88 pasien yang memiliki gejala yang konsisten dengan demam chikungunya pada Agustus, 56 (63%) posotif infeksi CHIKV berdasarkan uji PCR dan uji ELISA. Pengukuran NDVI longitudinal untuk Lamu menunjukkan bahwa kondisi-kondisi kekeringan yang mendahului perjangkitan demam chikungunya adalah yang paling parah sejak 1998 (Gambar 1B). Perkiraan-perkiraan curah hujan adalah diantara yang paling rendah untuk tahun ini, biasanya musim hujan utama (Gambar 1B).

Pengukuran OLR menunjukkan kondisi panas dan kering yang tidak lazim di seluruh Afrika Timur, tetapi khususnya di sepanjang Kenya pantai, pada Mei 2004 (Gambar 2A-2C). Pengukuran NDVI juga menunjukkan kondisi-kondisi kekeringan parah di sepanjang pantai Kenya utara selama April-Juni 2004 (Gambar 2D-2F). Seperti di Lamu, NDVI longitudinal dan pengukuran curah-hujan berada di bawah tingkat yang diharapkan sebelum perjangkitan demam chikungunya di Mombasa, yang terjadi pada November 2004 (Gambar 2G).

Sejauh pengetahuan kami, ini adalah perjangkitan demam chikungunya pertama yang dikonfirmasikan di daerah Kenya pantai. Kejadian demam chikungunya epidemik disana setelah kondisi panas kering yang tidak lazim berbeda dengan epidemik di Asia dan Afrika sebelumnya, yang justru terjadi setelah curah hujan tinggi. Walaupun sumber asli dan vektor CHIKV dalam perjangkitan Lamu tidak diketahui, namun simpanan air domestik yang banyak bisa mempermudah perkembangbiakan vektor dan kontak manusia. Pengisian ulang simpanan air yang tidak sering (diduga karena kekeringan) telah terbukti meningkatkan populasi Aedes aegypti di Kenya pantai. Efek-efek klimatik, khususnya suhu meningkat, terhadap perkembangan virus dalam nyamuk vektor juga bisa meningkatkan efisiensi penyebaran. Menariknya, kejadian dengue-3 epidemik di Afrika Timur juga bertepatan dengan musim kering yang parah.

Seperti diduga sebelumnya, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa populasi yang tertimpa kekeringan bisa mengalami peningkatan risiko untuk demam chikungunya, dan menunjukkan kebutuhan akan simpanan air yang aman (khususnya memastikan penutup yang rapat pada penampung untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk dan jalan keluar) selama operasi pertolongan kekeringan. Tindakan pencegahan vektor dan tindakan pengendalian harus dipertahankan setelah perjangkitan demam chikungunya karena seperti di Asia, epidemik-epidemik besar bisa terjadi kembali ketika imunitas populasi menurun. Pemantauan kekeringan berbasis satelit terpadu dan surveilans epidemiologi bisa mengidentifikasi daerah-daerah yang berisiko untuk epidemik demam chikungunya, dan memungkinkan negara-negara untuk membuat program pencegahan dan pengendalian yang tepat waktu.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital