Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Abstrak

Pemfigus, sebuah kelompok penyakit melepuh yang mengenai mukosa mulut dan kulit, disebabkan oleh reaksi autoimun yang diperantarai oleh antibodi terhadap desmoglein (Dsg), glikoprotein transmembran desmosomal, menghasilkan acantholysis. Pemfigus dikelompokkan menjadi dua, yaitu pemfigus vulgaris (PV), denga acantholysis suprabasal, dan pemfigus foliaceus (PF), dengan acantholysis pada epidermis yang lebih dangkal. Pemfigus vulgaris ditandai dengan autoantibodi IgG terhadap desmoglein 3 (Dsg 3), sedangkan target PF adalah Dsg1, walaupun sekitar 50% dari pasien PV juga memiliki autoantibodi Dsg1. Fenotip klinis tampaknya ditentukan oleh distribusi Dsg1 dan Dsg3. Pasien PV dengan lesi mukosa oral memiliki autoantibodi Dsg3 yang dominan. Distribusi lesi terkait dengan lokasi antigen (Dsg3 dan/atau Dsg1) dalam epitelium dan produksi autoantibodi spesifik. Ekspresi Dsg1 dan Dsg3 secara bersamaan dalam keratinosit melindungi dari pembentukan pelepuhan karena autoantibodi yang ada hanya untuk salah satu dari dua desmoglein ini. Penelitian-penelitian molekuler terbaru telah menunjukkan bahwa acantholysis bisa juga terjadi dengan adanya antibodi terhadap AchR (reseptor asetilcholin) noktinik 9α. Agonis cholinergis bisa melindungi lapisan-lapisan keratinosit dari acantholysis yang ditimbulkan antibodi anti-Dsg dan membalikkan acantholysis yang ditimbulkan oleh IgG PV.


Gambaran Umum

Istilah “pemfigus”, yang berasal dari bahasa Yunani pemphix (pelepuhan), menunjuk pada sebuah kelompok penyakit melepuh kronis pada kuit dan mukosa yang sama-sama disebabkan oleh autoantibodi terhadap keratinosit pada permukaan sel, dengan kehilangan perlekatan sel dengan sel di lapisan epitel melalui proses acantholysis.

Pemfigus dibagi menjadi dua jenis yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan acantholysis suprabasal yang menyebabkan pemisahan sel-sel basal dari keratinosit stratum spinosum, dan jenis yang kedua adalah pemfigus foliaceus (PF), dengan acantholysis pada lapisan granular epidermis.

Pemfigus memiliki prevalensi di seluruh dunia dan kejadian tahunan mencapai sekitar 0,1-0,5 per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus pada pasien dari keuturnan Yahudi lebih tinggi, dengan sekitar 1,6-3,2 kasus per 100.000 penduduk Yahudi setiap tahun. Penyakit ini memiliki kejadian tertinggi antara usia 40 – 60 tahun.

Predisposisi genetik untuk PV telah diketahui. Penelitian serologik HLA telah menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan haplotipe HLA-DR4 (Dw10) dan HLA-DR6 (Dqw1) dengan PV.

Sebelum ditemukannya kortikosteroid, PV memiliki prognosis yang buruk karena ketidakseimbangan cairan dan infeksi sistemik sekunder; akan tetapi, saat ini, PV merupakan tipe pemfigus paling umum (sekitar 80% pasien). Pada lebih dari 50% kasus, penyakit ini dimulai dengan lesi-lesi oral, yang bisa mendahului lesi-lesi kulit kutaneous beberapa bulan atau lesi oral ini bisa menjadi satu-satunya manifestasi pada beberapa pasien.

Walaupun 10-15% pasien hanya menunjukkan lesi kutaneous, membran-membran mukus pada akhirnya terkena pada hampir semua kasus. Lesi-lesi epitelial oral pada PV biasanya berupa erosi-erosi nyeri tetapi jarang melepuh karena mudah pecah akibat trauma fisikologis dalam mulut.

Mukosa pipi dan langit-langit mulut sering terlibat; permukaan-permukaan mukosa lainnya mencakup vulva, konjungtiva, faring, laring, esofagus, uretra, vagina, serviks, penis, dan anus.

Penemuan produksi aautoantibodi IgG dalam patogenesis pemfigus oleh Ahalt dkk. didasarkan pada penelitian terhadap autoantibodi-autoantibodi yang bersirkulasi dimana fraksi-fraksi antibodi dari pasien pemfigus diisolasi dan ditransfer secara pasif ke dalam mencit percobaan. Mencit ini mengalami pelepuhan kutaneous dan erosi-erosi disertai gambaran histologi, ultrasturktur dan immunofluoresensi yang mirip dengan pemfigus. Lebih daripada itu, perubahan-perubahan patologik tergantung pada titer antibodi, yang menunjukkan bahwa titer antibodi yang bersirkulasi terkait dengan keparahan penyakit.

Acantholysis

Antibodi-antibodi pemfigus (yang disebut sebagai IgGp) bisa memediasi acantholysis melalui aktivasi dan pelepasan enzim proteolitik non-lisosomal dari sel-sel epidermal.

Data terbaru menunjukkan bahwa enzim proteolitik ini adalah aktivator plasminogen tipe urokinase yang termasuk ke dalam kelompok proteinase yang mengkatalisis proses konversi plasminogen menjadi plasmin.

Ini dibuktikan dengan menambahkan sebuah inhibitor plasma seperti aprotinin, yang bisa mencegah perkembangan acantholysis ketika IgG PV atau PF ditambahkan ke kulit pada kultur-kultur organ; plasminogen dan IgG PF diperlukan untuk menimbulkan acantholysis.

Saat ini, pemfigus didefinisikan sebagai penyakit autoimun yang dimanifestasikan oleh kerusakan pada desmosom sel-sel epitelial yang dipicu oleh aktivitas antibodi-antibodi terhadap glikoprotein desmosomal transmembran yang termasuk family supergen cadherin dari desmoglein (dsg), menghasilkan deposit immuno intraepithelial dan pemutusan jembatan antar-sel.

Varian-varian klinis dari pemfigus terkait dengan antigen-antigen berbeda yang terlibat. Dsg 3 (130 kDa) adalah antigen yang terlibat dalam PV, sedangkan yang terlibat dalam PF adalah Dsg 1 (160 kDa). Akan tetapi, 50% pasien PV juga memiliki autoantibodi Dsg 1, dan proporsi anti-Dsg1 dengan anti-Dsg3 yang terkait dengan keparahan klinis penyakit (Tabel 1).

Sebuah antigen yang umum bagi kedua tipe pemfigus ini adalah plakoglobin (85 kDa), sebuah molekul adhesi.

Distribusi klinis pelepuhan dan distribusi antigen-antigen pemfigus

Spektrum klinis yang luas dan gambaran histologis dari pemfigus bisa dijelaskan berdasarkan perbedaan distribusi antibodi Dsg1 dan Dsg3.

Pada setengah sampai dua pertiga pasien PV, serum mengandung antibodi anti-Dsg3 dan anti-Dsg1.

Distribusi dan ekspresi Dsg1 dan Dsg3 bisa bertanggungjawab untuk distribusi lesi yang khas. Dsg3 diekspresikan dalam mukosa mulut, tetapi hanya pada lapisan basal dan suprabasal dekat dari epidermis. Sebaliknya, Dsg1 diekspresikan dalam epidermis, lebih intensif pada mukosa mulut superfisial tetapi ekspresinya pada lapisan-lapisan yanglebih dalam.

Dengan berdasarkan pengamatan-pengamatan ini, Shirakata dkk. Membuat hipotesis bahwa pada bagian-bagian dimana Dsg3 dan Dsg1 diekspresikan bersama, antibodi-antibodi terhadap salah satu atau desmoglein ini tidak mampu menginduksi pelepuhan spontan (seperti anti-Dsg3  dalam membran mukosa mulut dimana Dsg3 sangat banyak diekspresikan). Disisi lain, pada bagian-bagian dimana Dsg1 diekspresikan tanpa ekspresi bersama dari Dsg3, anti-Dsg1 saja sudah cukup untuk menimbulkan pelepuhan spontan (seperti pada epidermis superfisial pasien PF).

Berbeda dengan itu, pada daerah-daerah dimana terdapat Dsg1 dan sekaligus Dsg3, Antibodi Dsg1 dan Dsg1 terhadap salah satu dari desmoglein ini tidak cukup untuk menimbulkan pelepuhan spontan.

Banyak pasien mengalami PV dini dan hanya lesi mukosa yang memiliki antibodi anti-Dsg3, sedangkan pada pasien yang mengalami PV di usia lanjut terdapat antibodi anti-Dsg3 sekaligus anti-Dsg1.

Dengan menggunakan transfer pasif gG pemfigus ke pasien normal atau neonatus hampa Dsg3, daerah mukosa dan epidermal dimana Ddsg1 dan Dsg3 diekspresikan bersama, antibodi-antibodi terhadap salah satu tidak cukup untuk menimbulkan pelepuhan spontan, berbeda dengan antibodi terhadap kedua antigen Dsg ini. Pada daerah-daerah seperti epidermis superfisial dimana Dsg 1 diekspresikan tanpa Dsg 3, antibodi anti-Dsg 1 bisa menyebabkan pelepuhan.

Untuk alasan inilah, proful autoantibodi anti-Dsg pada pasien PV dan distribusi normal Dsg1 dan Dsg3 bertanggungjawab untuk pola distribusi pelepuhan. Ini menunjukkan bahwa autoantibodi-autoantibodi memblokir fungsi perlekatan dari protein-protein Dsg dan sehingga Dsg1 atau Dsg3 saja sudah cukup untuk mempertahankan perlekatan keratinosit (Gambar 1).

Pada PV, kerusakan yang disebabkan oleh antibodi-antibodi anti-Dsg3 menghasilkan lesi-lesi pada mukosa mulut pada awal perjalanan penyakit, sedangkan integritas kulit dipertahankan oleh ekspresi Dsg1. Jika antibodi anti-Dsg1 terbentuk, lesi-lesi kutaneous bisa tampak dan prognosisnya lebih parah.

Mekanisme acantholysis yang tepat pada pemfigus setelah pengikatan IgG ke Dsg3 pada permukaan sel masih belum jelas. Diperkirakan bahwa pengikatan ini menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler dan inositol 1,4,5-triposfat secara sementara, yang diikuti dengan aktivasi protein kinase pada turunan-turunan sel. Jalur fosfatidilcholin (spesifik fosfolipase) memegang peranan utama dalam transmisi pensinyalan transmembran untuk aktivator proteinase. Pada derma subepitelial, ditemukan perembesan limfosit T autoreaktif ke dalam Dsg3. Limfosit-limfosit T CD4+ ini mengenali epitop-epitop Dsg3 dan memindahkan epitop-epitop ini ke limfosit B untuk produksi antibodi.

Pada pasien PV, tidak adanya lesi kutaneous yang disebabkan oleh antibodi anti-Dsg3 menunjukkan adanya inhibisi perlepasan desmosomal secara langsung oleh IgGp. Pada kenyataannya, jika pengkatan autoantibodi memicu kejadian-kejadian intraseluler dengan sekresi protease, maka akan sulit untuk memahami mengapa mekanisme sama, yang menyebabkan protelisis Dsg dalam mukosa umulut melalui sebuah mekanisme non-spesifik, tidak menyebabkan acantholysis pada epidermis dimana Dsg3 diekspresikan, meskipun ekspresinya lemah.

Berdasarkan data-data yang dipublikasikan dan teori kompensasi fungsi adhesif oleh Dsg1 dan Dsg3 apabila diekspresikan bersama di dalam sel yang sama, maka lokasi acantholysis pada pemfigus bisa dijelaskan.

Sera yang hanya mengandung IgG anti-Dsg3 mengganggu fungsi Dsg3. Tetapi dalam kulit, Dsg1 mengimbangi kehilangan fungsi Dsg3 dan mempertahankan kohesi keratinosit pada lapisan epidermis yang lebih dalam, sehingga menghasilkan sedikit atau tidak ada pelepuhan.

Disisi lain, dalam mukosa, Dsg1 tidak mampu mengimbangi kehilangan fungsi Dsg3 karena ekspresinya lemah, khususnya pada lapisan yagn lebih dalam. Alasan ini menjelaskan mengapa IgG anti-Dsg3 saja bisa menyebabkan pembentukan pelepuhan dalam mukosa.

Teori kompensasi desmoglein tidak sesuai teori plasmin yang menghubungkan pembentukan pelepuhan dengan aksi sebuah protease seperti plasmin. Jika protase adalah penyebab mendasar dari acantholysis, pengikatan autoantibodi ke Dsg1 atau Dsg3, maka protease semestinya menyebabkan elepasan proteasis dan pembentukan pelepuhan, sehingga saling mengimbangi antara desmoglein tidak bermanfaat.

Peranan autoantibodi non anti-Dsg dalam induksi lesi-lesi melepuh seperti yang ditemukan pada pemfigus, telah dilaporkan.

Mekanisme acantholysis pada PV tidak terkait dengan produksi autoantibodi Dsg1 dan/atau Dsg3 saja. Penelitian-penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa antibodi anti AchR (reseptor asetilcholin 9α) pada permukaan keratinosit bisa bertanggungjawab untuk lesi-lesi pemfigus.

AChR 9α digabungkan dengan regulasi fluks Ca2+ transmembran (efek seperti nikotinat) dan metabolisme intraseluler (efek seperti muskarinat); dari aktivasi fosfalipase C, produksi inositol 1,4,5-trisfosfat, peningkatan cepat Ca2+ intraseluler secara sementara, perubahan rasio cAMP/cGMP, dan aktivasi dan translokasi protein kinase C dari sitosol ke fraksi partikulat/sitoskeletal) berpengaruh dalam memediasi regulasi fisologis perlekatan dan motilitas keratinosit.

Pemblokiran AchR 9α secara farmakologi baik dengan antagonis muskarinat atau nikotinat, atropin dan mecamylamin, masing-masing pada kedua kasus menghasilkan acantholysis mirip pemfigus dalam lapisan-laisan keratinosit epidermal dan mulut manusia.

Fenomena ini dijelaskan oleh interupsi atangonis aktivasi AChR 9α keratinosit secara konstan dengan asetilcholin (ACh) yagn disuplai secara endogen, yang disintesis dan dilepaskan oleh keratinosit-keratinosit dengan cara autokrin dan parakrin.

Efek stimulatory dari ACh terhadap fungsi adhesif keratinosit bisa ditiru oleh agonist muskarinat dan nikotinat. Kedua golongan agonis cholinergik ini juga bisa melindungi lapisan keratinosit dari efek acantholytis antibodi PV, dan membalikkan acantholysis yang dihasilkan oleh IgG PV, dengan proteinase trypsin serin dan dengan pembentuk senyawa chelat kalsium, asam etilendiamintetraasetat.

Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa IgG PV bertindak sebagai antagonis pada AChR 9α dari keratinosit, yang mengganggu stimulasi reseptor-reseptor in idengan ACh, sehingga merubah regulasi normal dari perlekatan keratinosit melalui jalur pensinyalan cholinergis, yang bisa mengarah pada acantholysis.

Autoantibodi-autoantibodi yang terdapat dalam PV bisa menginduksi fosforilasi Dsg3 dan disosiasinya dari plakoglobin, menghasilkan pemisahan cadherin desmosomal dari protein sitoskeleton (katenin), yang bisa memicu acantholysis bukan karena aksi enzim proteolitik.

Menariknya, stimulasi AChR 9α juga menginduksi fosforilasi protein-protein membran sel yang belum teridentifikasi dengan berat molekul 120 dan 220 kd. Ini bisa berupa molekul adhesi epithelial, seperti E-cadherin 120-kd dan desmoplakin II 220-kd.

Lebih lanjut, agonis cholinergis bisa membalikkan acantholysis yang diinduksi oleh autoantibodi PV dan mengaktivasi adhesi sel melalui stimulasi dan fungsi E-cadherin.

Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa acantholysis pada pemfigus sebagian disebabkan oleh antagonisme yang ditimbulkan oleh antibodi IgG anti-reseptor dan agonisme yang diperantarai oleh ACh sitotransmitter pada AchR9α keratinosit. Regulasi cholinergik dari adhesi sel yagn diperantarai melalui aksi pada Ach9α bisa direstorasi melalui sebuah agonis farmakoloi yagn melindungi reseptor dari pengikatan dengan antibodi-antibodi yang bertindak sebagia ligan berafinitas tinggi.

Kesimpulan

Pada PV, pengikatan antibodi anti-Dsg3 pada Dsg3 bertanggungjawab untuk fosforilasi Dsg3, dengan pemisahan dari plakoglobin, ini kemungkinan merupakan sinyal untuk delokasi inti keratinosit dan pembentukan desmosom yang kekurangan Dsg3 dan kehilangan adhesi, serta induksi ekspresi kinase, khususnya urokinase, dengan peningkatan mekanisme yang mendasari acantholysis.

Penelitian-penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa pelepuhan-pelepuhan seperti pemfigus bisa terbentuk tanpa adanya autoantibodi anti-Dsg3 tetapi pembentukannya merupakan reaksi antibodi yang sangat terkait dengan reseptor keratinosit untuk ACh, dengan disertai kehilangan regulasi perlekatan sel dan penonstabilan ikatan desmoglein-desmoplakin.

Comments

Popular posts from this blog

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk