Pemfigus Vulgaris

PATOGENESIS

Autoantibodi Patogenik pada Pemfigus

Tanda pemfigus adalah ditemukannya autoantibodi IgG terhadap permukaan sel dari keratinosit (Gbr. 31.1). Autoantibodi pemfigus yang ditemukan dalam sera pasien memegang peranan patogenik utama dalam menyebabkan hilangnya perlekatan sel diantara keratinosit-keratinosit, yang selanjutnya menjadi pembentukan pelepuhan. Neonatus dari ibu penderita pemfigus vulgaris bisa memiliki penyakit sementara yang disebabkan oleh IgG maternal yang melintasi plasenta. Pada saat antibodi maternal dikatabolisme, penyakit ini mereda. Fraksi-fraksi IgG dari pasien bisa menginduksi pembentukan pelepuhan tanpa adanya sel pelengkap atau sel inflamatory pada sebuah sistem kultur organ kulit. Lebih lanjut, transfer IgG pasien secara pasif ke mencit neonatal menghasilkan pelepuhan pada mencit dengan temuan histologis yang tipikal.
Bahkan fragmen-fragmen IgG Fab' monovalen dari pasien pemfigus foliaceus endemik sudah cukup utuk menyebabkan pelepuhan pada mencit neonatal, sehingga menunjukkan aktivasi komplemen dan pengikatan silang permukaan yang mungkin tidak relevan dalam pelepasan keratinosit. Walaupun telah ditunjukkan bahwa IgG pemfigus menyebabkan pelepasan aktivator plasminogen yang menghasilkan acantholysis pada sebuah sistem kultur-organ kulit, IgG pemfigus juga menyebabkan pelepuhan yang sama parahnya pada mencit knockout aktivator plasminogen dan mencit kontrol, sehingga menunjukkan bahwa aktivator plasminogen tidak mutlak diperlukan untuk pelepuhan yang diinduksi antibodi.

Pola staining immunofluoresensi langsung dan tidak langsung dari pemfigus paraneoplastis berbeda dari bentuk-bentuk klasik pemfigus. Pada kulit perilesional, immunofluoresensi langsung menunjukkan deposisi IgG dan komponen ketiga dari komplemen (C3) pada permukaan sel epidermal serta di sepanjang zona membran dasar. Berbeda dengan bentuk pemfigus klasik, dimana autoantibodi hanya terikat ke epithelia squamous berlapis, sebagaimana dideteksi dengan immunofluoresensi langsung, autoantibodi-autoantibodi pada pemfigus paraneoplastis juga bereaksi dengan epithelia sederhana atau transisional seperti epithelium kandung kemih. Ini bisa digunakan untuk membedakan pemfigus paraneoplastis dari pemfigus klasik.

Desmoglein sebagai Antigen Pemfigus

Mikroskopi immunoelektron menemukan antigen pemfigus vulgaris dan antigen pemfigus foliaceous pada desmosom, pertemuan dua sel yang paling dominan pada epithelial squamous berlapis. Karakterisasi antigen pemfigus secara immunohistokimia melalui immunopresipitasi atau immunoblotting dengan ekstrak-ekstrak yang diambil dari keratinosit atau epidermis yang dikulturkan menunjukkan bahwa antigen pemfigus vulgaris dan antigen foliaceus masing-masing merupakan glikoprotein transmembran dengan berat molekul 130 kDa dan 160 kDa (Tabel 31.2). Dengan kajian immunohistokimia komparatif menggunakan antibodi monoklonal dan poliklonal 1 anti-desmoglein, protein 160 kDa yang dikenali oleh sera pemfigus foliceus selanjutnya ditunjukkan identik dengan desmoglein 1. Sebuah protein plak 85 kDa, plakoglobin, yang diimmunopresipitasi bersama dengan antigen pemfigus 130 kDa dan 160 kDa, menunjukkan bahwa plakoglobin membentuk sebuah kompleks molekuler dengan antigen pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus.

Kloning molekuler cDNA yang mengkodekan desmogelin 1 dan antigen pemfigus vulgaris menunjukkan bahwa kedua molekul ini adalah anggota dari family supergen cadherin. Sehingga, pemfigus ditemukan sebagai penyakit autoimun anti-cadherin. Antigen-antigen pemfigus vulgaris disebut desmoglein 3. Patofisiologi mendasar dari pemfigus adalah bahwa autoantibodinya menghambat fungsi perlekatan dari desmoglein dan mengarah pada perlekatan sel dengan sel dari keratinosit, menghasilkan pembentukan pelepuhan.

Cadherin adalah family dari molekul adhesi sel-sel yang tergantung kalsium dan memegang peranan penting dalam pembentukan dan penjagaan integritas jaringan kompleks. Berdasarkan kemiripan urutannya, cadherin dibagi menjadi dua sub-kelompok utama, yaitu cadherin klasik (seperti cadherin-E, -P, -N) dan cadherin desmosomal (desmoglein dan democollins). Semua anggota family cadherin mengandung urutan asam amino berulang (pengulangan cadherin) dengan motif pengikatan kalsium pada domain ekstraselularnya (Gbr. 31.2). Apabila cadherin klasik ditimbulkan oleh transfeksi gen ke dalam sel L fibroblast mencit yang non-adhesif, sel-sel ini mendapatkan aktivitas adhesi/perlekatan sel yang kuat. Lebih lanjut, apabila sel-sel ditransfeksi dengan cadherin berbeda, sel-sel yang mengekspresikan tipe cadherin identik terikat satu sama lain, sehingga menunjukkan bahwa cadherin klasik memediasi tipe interaksi homofilik.

Cadherin memerlukan domain sitoplasmik yang terkonservasi untuk bisa berhubungan dengan protein-protein plak, α-katenin, βkatenin, dan plakoglobin, yang memediasi dan meregulasi pengikatan ke jaringan sitoskeleton. Sebagai akibat dari interaksi-interaksi ini, cadherin menghasilkan perlekatan seluler yang kuat dan perubahan morfologi dalam sel. Sebaliknya, molekul adhesi/perlekatan yang tidak tergantung kalsium, seperti anggota dari superfamily immunoglobulin, memediasi sebuah interaksi molekuler sederhana dan tidak menghasilkan perubahan morfologi pada sel. Model “pengancing perlekatan sel” adalah basis struktural yang diusulkan untuk perlekatan sel yang diperantarai oleh cadherin klasik. Molekul-molekul cadherin membentuk dimer sebagai unit fungsionalnya, dengan domain ekstraseluler distal (EC1) cadherin dari salah satu sel yang terikat ke daerah sama dari cadherin kedua yang berasal dari sel yang berhadapan (Gbr. 31.3).

Berdasarkan kriteria morfologi dan biokimia, dua tipe utama dari pertemuan sel epithelial umumnya dibedakan: pertemuan perekat dan desmosom (Gbr. 31.3). Pertemuan perekat menarik kumpulan-kumpulan mikrofilamen aktin dan mengandung cadherin klasik sebagai komponen transmembrannya dan α-katenin, β-katenin, dan plakoglobin sebagai komponen sitoplasmik nya. Sebaliknya, desmosom menarik filamen-filamen intermediat seperti keratin dan mengandung cadherin desmosomal sebagai komponen transmembrannya, dan plakoglobin, plakophilin, dan desmoplakin sebagai komponen sitoplasmiknya. Secara umum, pertemuan perekat memediasi perlekatan seluler yang cepat tetapi lemah, sedangkan desmosom memediasi perlekatan seluler yang lambat tapi kuat. Pembentukan pertemuan perlekatan adalah sebuah prasyarat untuk perakitan oleh desmosom dalam keratinosit.

Desmoglein memiliki lima pengulangan cadherin dalam domain ekstraselularnya, sebagaimana cadherin klasik, dan memiliki pengulangan unit yang terdiri dari 29±1 residu asam amino dan domain intrasitoplasmiknya (Gbr. 31.2). Desmoglein memiliki tiga isoform (Dsg1 – 3). Ekspresi desmoglein 1 dan 3 pada dasarnya terbatas pada epithelia squamous yang berlapis, dimana pelepuhan yang terjadi terbentuk pada pemfigus, sedangkan desmoglobin 2 diekspresikan pada semua jaringan yang memiliki desmosom, termasuk epithelia sederhana dan myokardium.

Desmocollin adalah kelompok lain dari glikoprotein transmembran dalam desmosom dan memiliki tiga isofom (Dsc1 – 3). Masing-masing isofom memiliki dua produk yang didapatkan dari mRNA gen tunggal yang diturunkan dari mRNA gen tunggal. Desmosom selalu memiliki desmoglein dan desmocollin sebagai sebuah pasangan, tetapi bentuk interaksi molekulernya masih perlu ditentukan.

Plakoglobin dan plakophilin, bersama dengan β-katenin, adalah anggota dari family protein nuklear dan junctional hewan pemakan serangga, yang tidak hanya menarik molekul tetapi juga sebagai regulator dinamis untuk perlekatan dan proliferasi seluler. Desmoplakin adalah sebuah molekul berbentuk tali-jerat yang tersusun atas tiga domain, yaitu: batang coil-bergelung α-heliks  sentral, diapit oleh karboksil globular dan domain amino-terminal yang masing-masing berinteraksi dengan filamen-filamen intermediat dan anggota-anggota family armadillo (Gbr. 31.3). Desmoplakin, anggota family plakin, memegang peranan penting dalam penarikan sitoskeleton ke tempat perlekatan filamen pada desmosom. Family plakin yang terkait filamen intermediat mencakup antigen pemfigoid bullous  1 (230 kDa), plektin (500 kDa), envoplakin (210 kDa), dan periplakin (190 kDa).

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa autoantibodi IgG terhadap desmoglein 1 dan 3 bersifat patogenik dan memegang peranan utama dalam menginduksi pembentukan pelepuhan pada pemfigus. IgG yang telah dimurnikan dari sera pemfigus vulgaris dan yang mengenali domain ekstraselular dari desmoglein 3 bisa menyebabkan acantholysis suprabasilar, yang merupakan temuan histologis sederhana dar pemfigus vulgaris, ketika diinjeksikan mencit neonatal. Lebih lanjut, apabila IgG anti-desmoglein 3 dari sera pemfigus vulgaris diadsorpsi dengan domain ekstraseluler desmoglein 3, maka sera tersebut tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyebabkan pelepuhan pada mencit neonatal. Demikian juga, immunoadsorpsi sera pemfigus foliaceus dengan domain ekstraseluler desmoglein 1 menghilangkan aktivitas patogenik dari sera tersebut.

Teori Kompensasi Desmoglein sebagai Penjelasan bagi Lokalisasi Pelepuhan

Walaupun gangguan perlekatan sel tergantung-desmoglein oleh antibodi adalah patofisiologi mendasar dari pembentukan pelepuhan pada pemfigus, namun spektrum klinisnya lebih kompleks. Sebagai contoh, acantholysis pada pemfigus foliaceus terjadi pada lapisan atas epidermis, sedangkan pada pemfigus vulgaris terjadi jauh di dalam epidermis. Erosi-erosi oral terjadi pada pasien yang mengalami pemfigus vulgaris, tetapi tidak pada pasien yang mengalami pemfigus foliaceus. Beberapa pasien yang memiliki pemfigus vulgaris hanya memiliki keterlibatan oral, sedangkan yang lainnya memiliki lesi kutaneous dan mukosal yang ekstensif.

Pemfigus vulgaris bisa dibagi lagi menjadi dua sub-kelompok, yaitu:
- tipe dominan mukosal, dengan lesi-lesi mukosal tetapi keterlibatan kulit yang sedikit.
- tipe mukokutaneous, dengan pelepuhan kulit ekstensif dan erosi disamping keterlibatan mukosal.

Masing-masing sub-tipe pemfigus juga memiliki profil antibodi anti-desmoglein sendiri (Tabel 31.2). Sebagai contoh, pasien-pasien yang mengalami pemfigus foliaceus hanya memiliki autoantibodi IgG anti-demosglein 1. Individu-individu yang mengalami pemfigus vulgaris tipe dominan mukosal hanya memiliki autoantibodi IgG anti-desmoglein 3, sedangkan yang mengalami pemfigus vulgaris tipe mukokutaneous memliki autoantibodi IgG anti-desmoglein 3 dan anti-desmoglein 1.

Disamping itu, pola ekspresi intraepitelial dari desmoglein 1 dan desmoglein 3 berbeda antara membran kulit dan mukus. Pada kulit, demosglein 1 diekspresikan dalam seluruh epidermis, tetapi lebih intensif pada lapisan-lapisan permukaan (Gbr. 31.1C), sedangkan desmoglen 3 diekspresikan pada bagian bawah epidermis, utamanya pada lapisan basal dan parabasal (Gbr. 31.1A). Sebaliknya, desmoglein 1 dan desmoglein 3 diekspresikan dalam seluruh lapisan squamous dari mukosa, tetapi desmoglein 1 diekspresikan dengan jumlah yang jauh lebih rendah dibanding desmoglein 3 (Gbr. 31.4).

Dengan menggabungkan temuan-temuan profil autoantibodi anti-desmoglein ini dengan distribusi desmoglein pada kulit dan membran mukus, gambaran klinis yang kompleks dari pemfigus dijelaskan secara logis dengan teori kompensasi desmoglein: desmoglein 1 dan desmoglein 3 saling mengimbangi satu sama lain pada saat ditampakkan bersama dalam sel yang sama (Gbr. 31.4).

Apabila sera hanya mengandung IgG anti-desmoglein 1 (yang mengganggu fungsi desmoglein 1), pelepuhan hanya tampak pada epidermis permukaan dari kulit karena ini merupakan satu-satunya area dimana desmoglein 1 terdapat tanpa ekspresi desmoglein 3 yang menyertainya. Pada epidermis dalam yang tidak terinfeksi, keberadaan desmoglein 3 mengkompensasi kehilangan fungsi desmoglein 1. Walaupun IgG anti-desmoglein 1 terikat ke mukosa, tidak ada pelepuhan yang terbentuk karena ekspresi desmoglein 3 yang menyertainya. Sehingga, sera yang hanya mengandung IgG anti-desmoglein 1 meyebabkan pelepuhan permukaan pada kulit tanpa keterlibatan mukosa seperti ditemukan pada pasien yang mengalami pemfigus foliaceus.

Apabila sera hanya mengandung IgG anti-desmoglein 3, ini tidak efisien dalam menghasilkan pelepuhan kutaneous karena desmoglein 1 yang ditampakkan bersamanya mengimbangi fungsi desmoglein 3 yang terganggu, sehingga tidak menghaslkan lesi kulit, atau jika ada sangat sedikit. Akan tetapi, dalam membran mukus, desmoglein 1 tidak bisa mengkompensasi fungsi desmoglein 3 yang terganggu karena ekspresinya yang rendah. Dengan demikian, sera yang hanya mengandung IgG anti-desmoglein 2 menyebabkan erosi-erosi oral tanpa keterlibatan kulit yang jelas, seperti yang ditemukan pada pasien yang mengalami pemfigus vulgaris tipe dominan mukosal.

Ketika sera mengandung IgG anti-desmoglein 1 dan anti-desmoglein 3, maka mereka mengganggu fungsi desmoglein 1 dan desmoglein 3, sehingga menghasilkan pelepuhan ekstensif dan erosi-erosi pada kulit serta membran mukosa, seperti yang ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami pemfigus vulgaris tipe mukokutaneous. Masih belum jelas mengapa lesi-lesi tampak tepat di atas lapisan basal dan bukan pada keseluruhan epithelium. Akan tetapi, diduga bahwa perlekatan sel-sel dalam lapisan basal dan parabasal bisa lebih lemah dibanding pada bagian lain dari epithelium karena ada lebih sedikit desmosom. Disamping itu, autoantibodi-autoantibodi, yang menembus dari dermis, bisa memiliki akses yang lebih baik ke bagian bawah epithelia.

Pada wanita hamil yang mengalami pemfigus, autoantibodi-autoantibodi melintasi plasenta dan terikat ke epidermis janin. Akan tetapi, neonatus mengalami pelepuhan jika ibunya memiliki pemfigus vulgaris, tetapi sangat jarang jika jika si ibu mengalami pemfigus foliaceus. Pengamatan yang membingungkan ini juga dijelaskan dengan teori kompensasi desmoglein. Distribusi desmoglein 3 dalam epidermis neonatal tidak sama pada epidermis dewasa; desmoglein 3 ditemukan pada permukaan keratinosit di seluruh epidermis, yang cukup mirip dengan distribusinya pada membran-membran mukus (ingat kulit neonatal terendam dalam cairan amniotik). Dengan demikian, sera pemfigus foliaceus yang hanya mengandung IgG anti-desmoglein 1 tidak bisa menimbulkan pelepuhan pada kulit neonatal.

Sebagai perluasan dari teori kompensasi ini, toksin eksfoliatif A, yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus dan mengarah pada impetigo bullos serta sindrom kulit terbakar staphylococcal, secara khusus membelah desmoglein 1. Penonaktifan desmoglein 1 oleh toksin ini menginduksi pelepuhan permukaan dalam epidermis yang secara klinis dan histologis mirip dengan yang ditemukan pada pemfigus foliaceus.

Seperti yang disebutkan di atas, peranan patogenik dari autoantibodi anti-demosglein 1 dan 3 dalam pembentukan pelepuhan pada pemfigus foliaceus dan pemfigus vulgaris bisa dipercaya. Akan tetapi, urutan kejadian pasti yang terjadi setelah pengikatan antibodi belum dipahami seluruhnya. Salah satu kemungkinan adalah bahwa antibodi-antibodi ini mengganggu secara langsung fungsi perlekatan dari desmoglein dengan hambatan sterik, yakni pengikatan autoantibodi ke desmoglein secara spasial menghambat interaksi adhesif desmoglein antar sel. Kemungkinan ini didukung oleh pengamatan bahwa epitop-epitop dominan terlokalisasi pada permukaan daerah perlekatan N-terminal dari desmoglein pada pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus, dan ini membantu dalam menjelaskan teori kompensasi desmoglein. Fenotip dari tikus hampa Dsg3 (yang gen Dsg3 nya terhapus secara genetik) sangat mirip dengan fenotip pasien pemfigus vulgaris dan juga mendukung penjelasan teori ini.

Kemungkinan lain adalah bahwa gangguan perlekatan sel-sel diperantarai oleh transduksi sinyal. Ketika IgG dari sera pemfigus vulgaris ditambahkan ke media kultur, dia menyebabkan peningkatan sementara kasium seluler dan inositol 1,4,5-triposfat, yang diikuti dengan aktivasi protein kinase C pada sel DJM-1 (sebuah jenis karsinoma sel squamous). Lebih lanjut, pada keratinosit yang dikulturkan, pemfigus vulgaris IgG menginduksi posforilasi desmoglein 3 dan pelepasannya dari plakoglobin. Pada keratinosit tikus, penarikan keratin dari tempat pertemuan sel – sel yang diinduksi oleh IgG pemfigus vulgaris memerlukan pensinyalan yang diperantarai plakoglobin. Penelitian-penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengklarifikasi isu ini.

Mekanisme Imunologi dari Produksi Autoantibodi Patogenik pada Pemfigus

Berbeda dengan kemajuan signifikan dalam memahami mekanisme fisiologis dari pembentukan pelepuhan pada pemfigus sejaka akhir 1980an, masih belum jelas mengapa pasien yang mengalami pemfigus mulai menghasilkan autoantibodi-autoantibodi patogenik.

Autoantibodi pemfigus tersusun atas isotipe-isotipe IgG, yang bisa dihasilkan setelah pergeseran isotipe, dan mereka memiliki afinitas yang tinggi terhadap antigen, yang mana bisa disebabkan oleh kematangan afinitas dari antibodi-antibodi. Disamping itu, sera pemfigus mengenali beberapa epitop berbeda pada desmoglein, dan keberadana autoantibodi terkait dengan alel HLA kelas II tertentu, termasuk DRB*0402, DRB1* 1401 dan DQB0302 pada ras Kaukasoid dan DRB1*14 dan DQB1*0503 pada ras Jepang. Semua sifat ini menunjukkan bahwa produksi autoantibodi pada pemfigus tergantung pada sel T. Baru-baru ini, sel -sel T yang reaktif terhadap desmoglein 3 ditunjukkan terdapat dalam daerah perifer dari pasien yang menderita pemfigus vulgaris serta individu yang sehat. Peptida tertentu dari desmoglein 3, yang diprediksikan cocok dengan poket DRB1*0402, mampu menstimulasi sel-sel T dari pasien pemfigus. Sebuah tahap yang penting disini adalah mengkarakterisasi sel-sel T yang terlibat dalam produksi autoantibodi untuk mengklarifikasi mekanisme imunologi dari produksi autoantibodi.

Perkembangan lain yang akan memungkinkan penelitian sel T dan sel B adalah ditemukannya model tikus penyakti aktif untuk pemfigus vulgaris dengan menggunakan tikus knockout autoantigen, dimana toleransi terhadap produk gen yang tidak ditemukan tidak diperlukan. Apabila limfosit-limfosit dari desmoglein 3 mencit knockout ditransfer ke dalam mencit yang mengekspresikan desmoglein 3, IgG anti-desmoglein 3 dihasilkan dengan stabil pada mencit penerima dan mereka mengalami fenotip pemfigus vulgaris. Model ini bermanfaat bukan hanya untuk diseksi mekanisme seluler dan molekuler yang terlibat dalam produksi antibodi tetapi juga untuk membuat strategi-strategi terapeutik yang terbaru.

PATOLOGI

Pemfigus Vulgaris

Temuan histologis khas pada bentuk pemfigus ini adalah pembentukan pelepuhan intraepidermal sebagai akibat dari hilangnya perlekatan sel – sel dari keratinosit (acantholysis) tanpa nekrosis keratinosit (Gbr. 31.11A). Sedangkan acantholysis biasanya terjadi tepat di atas lapisan sel basal (acantholysis suprabasilar), pemisahan intraepithelial terkadang bisa lebih tinggi dalam stratum spinosum (Gbr. 31.11B). Beberapa keratinosit acantholysis serta kelompok sel-sel epidermal sering ditemukan pada rongga pelepuhan. Walaupun sel-sel basal kehilangan kontak desmosomal lateral dengan tetangganya, mereka mempertahnakan perlekatannya ke membran dasar melalui hemidesmosom, sehingga memberikan kenampakan seperti “baris batu-nisan”.

Proses acantholysis bisa melibatkan folikel-folikel rambut. Garis batas dermal papillary biasanya terjaga, dan seringkali, papillae menonjol ke dalam rongga pelepuhan. Rongga pelepuhan bisa mengandung beberapa sel inflammatory, utamanya eosinofil, dan dalam dermis terdapat infiltrat sel mononuklear perivaskular sedang dengan eosinofil yang jelas. Pada sedikit kasus, temuan histologis pertama terdiri dari spongiosis eosinofilik (Tabel 31.3), dimana eosinofil-eosinofil menginvasi epidermis spongiotik dengan sedikit atau tapa bukti acantholysis.    

Penting untuk mengambil biopsy dari lesi awal untuk memastikan diagnosis yang tepat karena pelepuhan pemfigus meletus dengan mudah. Pada pasien yang hanya memiliki lesi oral, sebuah biopsy harus diambil dari batas aktif sebuah area gundul (tanpa rambut) karena pelepuhan utuh mudah ditemukan (Gbr. 31.11B). Pemeriksaan sitologi (hapusan Tzank) bermanfaat untuk penunjukan sel-sel epidermal acantholytic secara cepat dalam rongga pelepuhan. Akan tetapi, uji ini semata-mata merupakan sebuah alat diagnostik pendahuluan, dan tidak boleh menggantikan pemeriksaan histologis karena keratinosit acantholytic terkadang ditemukan pada berbagai vesilobullous acantholytic atau penyakit pustular sebagai akibat dari acantholysis sekunder.

Pada pemfigus vegetan, acantholysis suprabasilar terlihat, disamping papillomatosis dan acanthosis. Secara khas, ada infiltrat sel inflamatory yang intensif mengandung berbagai eosinofil, dan mikroabscess intraepidermal sering terlihat.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital