Pengendalian Darurat Malaria dan Demam Berdarah: Pelajaran dari Tsunami di Aceh

Malaria dan demam berdarah dengan cepat menjadi ancaman utama yang dihadapi oleh mereka yang selamat dari tsunami di Aceh, Indonesia. Musim hujan langsung terjadi setelah tsunami, dan banjir besar-besaran dengan cepat mengubah banyak daerah menjadi tempat-tempat yang sangat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk. Di saat yang sama, banyak sistem kesehatan setempat yang hilang, dan sumber daya yang tersedia sangat berkurang untuk mencegah atau merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Tidak mempannya pengobatan dengan obat utama (chloroquine) lebih jauh mempersulit krisis ini. Mendorong respon yang tepat waktu adalah sebuah tugas yang penting.

Strategi dan Respon

Pada tanggal 7 Januari, setelah 48 jam koordinasi intensif dengan beberapa LSM penting, organisasi donor dan PBB dan partner-partner komersial, Inisiatif MENTOR menyalurkan salah satu operasi pengendalian darurat malaria dan demam berdarah terbesar yang pernah dilakukan. Tim darurat mencakup para ahli pengendalian vektor internasional, spesialis kedokteran tropis senior dari Kaiser Permanente, spesialis dari Kantor Kesehatan Propinsi, lebih dari 40 insinyur sipil setempat dan sekitar 150 pekerja komunitas pengendalian vektor. Semangat kerjasama antara semua perwakilan sangat luar biasa. Lebih dari 60 LSM dan tim kesehatan militer asing memberikan perawatan kesehatan darurat, WHO melakukan surveilans penyakit dan pengamatan perjangkitan dan Inisiatif MENTOR mengambil tanggungjawab untuk mendukung PHO, LSM dan jaringan kesehatan distrik untuk mengendalikan malaria dan demam berdarah dan mencegah epidemik. Dukungan awal berfokus pada 10 distrik yang terkena tsunami di Aceh. Akan tetapi, ini dengan cepat meluas menjadi 21 distrik.

Kapasitas bantuan

Akses terhadap suplai-suplai standar dalam keadaan darurat sangat penting, tetapi begitu juga dengan kebutuhan untuk memastikan bahwa semua penyalur perawatan kesehatan bisa menggunakan protokol-protokol dan secara efektif memberikan alat-alat baru untuk penangananan kasus malaria. Untuk mencapai ini, Inisiatif MENTOR, bekerja sama dengan PHO, merancang dan melakukan pelatihan intensif untuk staff propinsi dan nasional distrik dan LSM internasional. Sesi-sesi pelatihan untuk staff kesehatan distrik senior dilakukan dua kali sepekan di Banda Aceh dari pekan kedua operasi, dan selanjutnya berekspansi ke Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Deya, Pidie dan Aceh Utara.
Pemastian material-material standar

Kebutuhan cepat akan obat-obatan, uji diagnostik cepat (RDT) dan material pencegahan dipenuhi melalui koordinasi cermat antara perwakilan PBB, LSM, donor dan partner-partner swasta. Pengiriman obat dan material pencegahan sangat cepat sampai di Aceh.

Material penyakit standar disediakan untuk semua partner terlatih melalui sistem penyimpanan dan distribusi yang cermat. Stok-stok ini juga memastikan suplai cepat material-material penting untuk perwakilan-perwakilan yang merespon terhadap gempa besar di pulau Nias pada bulan Maret 2005. Pada bulan Juni, tim kesehatan distrik dan propinsi dan Inisiatif MENTOR memusnahkan 24.500 terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) dan 18.710 IM artemether ampoules yang sudah mendekati masa kadaluarsa. Stok-stok ini diganti dengan bahan baru yang memiliki masa aktif lebih lama.
Pengendalian vektor dan tempat tinggal darurat

Sebanyak 40 pengawas semprotan residual indoor (IRS) dari Inisiatif MENTOR mentraining, dan mengawasi relawan-relawan komunitas lintas 10 distrik untuk mengimplementasikan kampanye-kampanye IRS pada daerah-daerah yang menampung orang-orang yang mengungsi. Tim ini bekerja sejauh 500 km di sepanjang pantai dari Banda Aceh, dan yang lainnya menggunakan perahu untuk mencapai orang-orang yang menyelematkan diri ke daerah-daerah hutan. Pendekatan komunitas yang digunakan menghasilkan  penerimaan yang luas dan dukungan untuk IRS.

Tenda yang telah diperlakukan dengan insektisida (ITPS) memastikan bahwa tempat tinggal bersama dan kebutuhan pengendalian vektor dari banyak keluarga yang tidak memiliki rumah dapat dipenuhi dengan cepat. Larvisida digunakan untuk mengontrol tempat-tempat perkembangbiakan vektor malaria dan demam berdarah. Dari 581 barak yang dibuat untuk menampung pengungsi, 48 berada di dekat atau pada daerah-daerah yang terdapat air tergenang; tempat-tempat ini, yang merupakan tempat perkembangbiakan ideal bagi malaria dan vektor demam berdarah, diperlakukan dengan larvisida yang direkomendasikan aman oleh WHO.

Suplai 874 kelambu yang sudah diperlakukan dengan insektisida diberikan ke Komite Internasional Palang Merah (ICRC), LSM dan tim-tim kesehatan militer untuk melindungi wanita hamil dan anak-anak kecil dari infeksi malaria selama tinggal di fasilitas darurat di Banda Aceh, dan di lokasi-lokasi pantai barat lainnya.
Pemantauan malaria

Pemantauan malaria biasanya didasarkan hampir hanya pada gejala-gejala klinis. Sayangnya, gejala-gejala klinis dari malaria sama dengan penyakit-penyakit umum lainnya, sehingga metode ini tidak dapat begitu diandalkan. Secara umum, sekitar 95% dari malaria falciparum dilaporkan di Afrika, dan Asia diyakini memiliki bentuk vivax non-fatal dari penyakit ini. Akan tetapi, pada banyak daerah di Asia, termasuk Aceh, epidemiologi malaria yang tepat belum diketahui karena kurangnya data surveilans yang terpercaya.

Ada dua isu kunci yang kelihatannya penting di Aceh. Pertama, pelaporan buruk, dengan hanya sedikit LSM yang secara reguler mencatat semua kasus. Kedua, pemanfaatan fasilitas kesehatan cukup rendah diantara pasien-pasien demam. Banyak pasien malaria tidak menganggap diri mereka sakit. Banyak kasus malaria yang tidak datang ke fasilitas kesehatan, sehingga tidak dilaporkan. Pada tahun 2004, 900 kasus suspek malaria dilaporkan di Aceh. Proporsi falciparum terhadap malaria vivax dilaporkan sebesar 50:50. Pada enam bulan pertama setelah tsunami, lebih dari 3.000 kasus malaria dilaporkan, meski cakupan surveilans hanya sebagian.

Untuk mengembangkan data malaria yang lebih akurat bagi Aceh, Inisiatif MENTOR melakukan serangkaian survei prevalensi komunitas standar dan survei demam berbasis klinis dengan otoritas kesehatan di sepanjang pantai barat pada bulan Juni dan Juli 2005 (masa-masa dimana kejadian malaria rendah). Hasil dari survei menunjukkan epidemiologi malaria yang lebih kompleks dibanding yang dilaporkan sebelumnya.

1.Meskipun saat itu menjadi musim rendah bagi malaria, penyebaran malaria yang terus menerus cukup siginifikan pada beberapa daerah yang parah terkena tsunami di pantai barat.
2.Distribusi falciparum terhadap vivax bukanlah 50:50, seperti yang sebutkan sebelumnya oleh laporan resmi. Survei kami secara jelas menunjukkan bahwa malaria falciparum mendominasi di setengah dari delapan sub-distrik yang disurvei. Pada tiga sub-distrik lainnya, malaria vivax bertanggungjawab terhadap tiga perempat dari semua kasus pada salah satu sub-distrik (Lahewa) dan untuk seperempat dari kasus di daerah lainnya (Hiliduho).
3.Laki-laki lebih berisiko untuk mengalami infeksi dibanding wanita dan anak-anak. Ini kemungkinan karena aktivitas sosial atau ekonomi yang dilakukan oleh laki-laki.
4.Survei menunjukkan varians prevalensi malaria yang sangat besar diantara kampung-kampung yang tergabung dalam sub-distrik yang sama. Pada 31 perkampungan yang dicakup dalam sub-distrik utama di Aceh Barat (Woyla Induk dan Woyla Timur), prevalensi berkisar antara nol sampai 31% (ekivalen dengan banyak negara di Afrika).

Survei kami menunjukkan bahwa risiko malaria di Aceh tampaknya jauh lebih besar dibanding yang dilaporkan sebelumnya; dengan kejadian epidemik, mortalitas sangat tinggi bisa terjadi di beberapa daerah. MENTOR berencana untuk mengulangi surveinya agar dapat menemukan pola-pola penyebaran dan mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang risiko malaria, sehingga kami terus memperbaiki upaya-upaya pengendalian lintas Aceh.
Respon yang berhasil dan tantangan ke depan

Terima kasih atas respon antar-perwakilan, lebih dari 700.000 orang yang berisiko malaria dan demam berdaerah didukung dan diberikan akses terhadap pencegahan efektif dan pelayanan penanganan kasus lintas Aceh. Risiko epidemik berhasil dikontrol, dan tidak diragukan banyak nyawa yang dapat diselamatkan. Akan tetapi, data surveilans malaria yang terbatas sebelum dan selama krisis menjadikan sulit untuk mentargetkan sumber-sumber daya secara efektif dan menentukan imbas kesehatan penuh secara akurat. Sistem surveilans dengan kuisioner biasa tidak memadai pada keadaan darurat, tidak juga bisa mencakup daerah yang jauh dan terpencil, dimana epidemik sering mulai terjadi dan beban penyakit berat sering diremehkan. Peningkatan sistem-sistem surveilans melalui penggunaan teknologi dan pendekatan inovatif merupakan sebuah tugas penting.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk