FOTOIMUNOLOGI

Kanker kulit sebagian besar disebabkan oleh kerusakan langsung pada DNA, yang mengarah pada mutasi gen tertentu. Akan tetapi, untuk terjadinya kanker kulit yang nampak secara klinis, mekanisme terinduksi-UVB kedua diperlukan, yakni penekanan sistem kekebalan (imunosupresi) yang ditimbulkan UVB. Hubungan antara keterpaparan sinar matahari dan kanker kulit pertama kali diketahui di awal abad yang lalu ketika para dokter mengamati tumor-tumor kulit yang tumbuh cenderung pada tepat-tempat yang telah terpapar sinar matahari secara ekstensif. Ini selanjutnya ditindaklanjuti pada 1970an dengan sebuah penelitian oleh Kripke, yang menemukan hubungan antara imunosupresi dan fotokarsinogenesis. Pada serangkaian eksperimen, dia menunjukkan bahwa tumor-tumor yang ditimbulkan UV, yang telah ditransplantasi di atas mencit penerima syngeneik, tertolak jika mencit penerima tidak terpapar terhadap UVB. Hasil ini menunjukkan bahwa tumor yang ditimbulkan UV memiliki fenotip antigenik yang tinggi dan bisa ditolak oleh sistem imun yang berfungsi. Pengobatan dengan obat-obat imunosupresif yang telah diketahui atau dengan dosis UVB rendah, menyebabkan kegagalan penolakan tumor. Kedua aspek (yakni antigenisitas tinggi dari tumor imbas UV dan imunosupresi oleh UVB) telah memicu banyak penelitian di bidang ini yang sekarang ini disebut sebagai bidang fotoimunologi. Berbagai penelitian mencoba mengklarifikasi mekanisme seluler dan molekuler yang terlibat. Mekanisme-mekanisme ini ditemukan sangat kompleks (lihat Gbr. 88-9). Hasil yang didapatkan terkadang terlihat kontradiktif, kemungkinan karena pendekatan eksperimen dan sistem model yang berbeda.

Sistem Model untuk Imunosupresi Imbas Ultraviolet B
   
Model standar untuk mengkaji imunosupresi imbas UVB adalah hipersensitifitas tipe tertunda (DTH) terhadap antigen-antigen dan reaksi hipersensitifitas kontak (CHS). Kemampuan radiasi UVB untuk menghambat induksi atau pembangkitan kepekaan alergik selanjutnya bisa dihitung; biasanya sebuah hapten seperti dinitrofluorobenzen atau oksazolon diaplikasikan ke kulit sebagai stimulus dan intensitas respon imun selanjutnya diukur sebagai pembengkakan jaringan. Respons DTH telah menjadi model yang dipilih untuk meneliti efek-efek imunosupresif dari radiasi UVB, karena antigen-antigen terkait-tumor dari tumor-tumor imbas UVB hanya terbukti mempengaruhi respons imun yang terlibat dalam patogenesis infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, jamur, dan bakteri. Imunosupresi yang berperantara UVB terdiri dari dua jenis yaitu: (1) imunosupresi lokal dimana respons imun terhadap antigen-antigen yang diaplikasikan pada tempat yang disinari menjadi hilang, dan (2) imunosupresi sistemik dimana respons imun terhadap antigen-antigen yang diaplikasikan ke tempat yang tidak terpapar mengalami gangguan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa beberapa mencit lebih rentan terhadap imunosupresi imbas UVB dibanding yang lainnya, dengan lokus genetik untuk lipopolisakarida, Lps, dan faktor nekrosis tumor, Tnf, yang sangat mempengaruhi respons ini.

Target-Target Molekuler pada Fotoimunosupresi
   
DNA merupakan sebuah kromofor untuk radiasi UVB dan bisa menjadi target langsung. Radiasi UVB menghasilkan berbagai fotoproduk, yang paling umum adalah CPD dan (6-4) fotoproduk. Pembentukan dimer pyrimidin merupakan penyebab langsung imunosupresi imbas UV. Sel-sel opossum Monodephis domestica mengandung enzim-enzim fotoreaktif endogen, yang mampu mereparasi CPD, dan UVB tidak menimbulkan imunosupresi pada hewan-hewan ini saat terpapar terhadap sinar fotoreaktif setelah radiasi. Juga pada mencit, sebuah korelasi antara CPD dan imunosupresi sistemik imbas UVB ditemukan. Radiasi UVB mengarah pada CPD dalam sel penampil antigen (APC) dan gangguan kapasitas penampilan antigennya. Kerusakan berlangsung selama beberapa hari, dan sel-sel yang rusak bermigrasi dari kulit ke kelenjar getah bening. Pengobatan pada tempat radiasi UVB dengan liposim yang mengandung enzim reparasi DNA, T4 endonuklease V, mencegah gangguan pada penampakan antigen. Peranan kerusakan DNA dalam imnosupresi imbas UVB juga ditemukan pada kulit manusia, dimana pengaplikasian liposom yang mengandung fotolyase secara topikal pada tempat-temat yang terpapar UVB mencegah terjadinya imunosupresi imbas UVB.
   
Disamping kerusakan langsung pada DNA, pembentukan ROS (spesies oksigen reaktif) kemungkinan terlibat dalam fotoimunosupresi. Demikian juga, pengaplikasian topikal fraksi polifenol yang diisolasi dari teh hijau sebelum dan setelah radiasi UVB terhadap kulit mencit melindungi terhadap imunosupresi imbas UV, sebuah efek yang kemungkinan besar diperantarai oleh antioksidan epigallokatechin-3-galat, komponen ekstrak yang memiliki kemampuan untuk mengurangi tekanan oksidatif, respons inflammatory, dan kanker kulit. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa metabolit-metabolit tanaman sekunder seperti ini mempengaruhi pensinyalan sel sehingga perlindungan terhadap kejadian-kejadian imbas UVB mungkin tidak semata-mata disebabkan oleh efek antioksidan.
   
Membran sel dari sel-sel kulit yang imunokompeten merupakan target lain untuk radiasi UV. Sebuah fungsi penting dari membran sel adalah mentransfer sinyal-sinyal dari luar ke dalam sel melalui reseptor membran. Keterpaparan UVB mengarah pada pengelompokan dan internalisasi reseptor-reseptor permukaan sel untuk faktor pertumbuhan epidermal, TNF, dan IL-1 tanpa adanya ligan-ligan masing-masing. Pengelompokan menghasilkan aktivasi c-Jun NH2-terminal kinase imbas tekanan, yang merupakan anggota dari famili protein kinase teraktivasi mitogen. Ada kemungkinan pengelompokan reseptor yang menyimpang ini mengganggu jalur-jalur pensinyalan yang umumnya digunakan oleh faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin, yang pada akhirnya berkontribusi bagi respons imunologi.
   
Radiasi UVB bisa mengarah pada peroksidasi lipid, yang mencakup lipid membran sel. Fosfatidilcholin, sebuah lipid membran yang penting, bisa dioksidasi menjadi lipid mirip PAF (faktor pengaktivasi trombosit) yang terikat ke reseptor-reseptor PAF dan mengaktivasi sintesis sitokin. Sebuah peranan pembentukan PAF imbas UVB dalam fotoimunosupresi ditunjukkan oleh pengamatan bahwa imunosupresi yang sebanding bisa ditimbulkan pada mencit ketika mereka disinari dengan UVB, diinjeksi dengan carbamyl-PAE, atau diinjeksi dengan fosfatidylcholin yang telah diapaparkan terhadap UVB dibawah oksigen atmosferik. Sifat-sifat imunosupresif dari ketiga pengobatan diblokir oleh antagonis reseptor PAF spesifik dengan besaran yang sama, sehingga menandakan bahwa lipid yang mirip PAF imbas UVB bisa memicu reseptor PAF dengan cara yang mirip dengan PAF. Selanjutnya, aktivasi reseptor PAF menstimulasi berbagai efek akhir, termasuk aktivasi jalur protein kinase dan sintesis sitokin-sitokin imunosupresif.
   
Sebuah kromofor ekstraseluler yang memperantarai imunosupresi imbas UVB adalah UVA. Radiasi UV mengisomerisasi trans-UCA menjadi sis-UCA sampai sebuah keadaan fotostasioner yang seimbang dicapai. Beberapa penelitian independen menguatkan pentingnya cis-UCA pada imunosupresi imbas UVB, walaupun mekanisme aksi yang pasti masih belum jelas.

Kejadian-Kejadian Seluler yang Terlibat dalam Fotoimunosupresi
   
Radiasi UVB terhadap keratinosit merubah ekspresi keratinosit tersebut pada molekul-molekul permukaan dan menginduksi sintesis dan sekresi semua faktor terlarutkan imunomodulatory termasuk IL-1, IL-6, IL-8, TNF-alfa, dan PGE2. Bukti untuk faktor-faktor terlarutkan dari keratinosit dengan fungsi imunosupresif yang diketahui dari eksperimen yang menunjukkan bahwa baik faktor serum dari mencit yang terpapar UVB maupun lapisan teratas dari sel epidermal murin tersinari UVB menekan  reaksi hipersensitifitas pada mencit. Selanjutnya, ditemukan bahwa TNF-alfa dan IL-10, dua sitokin imunosupresif potensial, dihasilkan oleh keratosit terpapar UVB juga. IL-10 juga dilepaskan oleh makrofage CD11b+ dalam kulit manusia. Injeksi TNF-alfa menyerupai perubahan-perubahan imbas UVB pada sel-sel Langerhans (LC). Pemberian antibodi penetral terhadap TNF-alfa sebelum penyinaran menghilangkan sebagian akumulasi sel-sel dendritus DC)  imbas UVB pada kelenjar getah bening (DLN) dan penekanan hipersensitifitas kontak. Pelepasan TNF-alfa khususnya penting untuk imunosupresi lokal, dan, seperti disebutkan di atas, lokus gen Tnfa berkontribusi terhadap kerentanan UVB.
   
IL-10 merupakan sebuah sitokin sel T-helper tipe 2 (Th2) dan menghilangkan produksi sitokin Th1, khususnya interferon-gamma (IFN-gamma). Produksi IL-10 imbas UVB oleh keratinosit-keratinosit pada murin atau makrofage pada kulit manusia menggeser respons imun dari tipe Th1 menjadi Th2. Ini dapat menjelaskan mengapa reaksi-reaksi imun seluler berperantara Th2 terganggu oleh radiasi UV.
   
Interaksi antara sitokin-sitokin berbeda belum dipahami seluruhnya, tetapi IL-10 pasti merupakan sebuah pemain utama. Sebagai contoh, antibodi-antibodi anti-IL-10 menetralisir efek supresif supernatan dari keratinosit-keratinosit tersinari UVB pada DTH mencit. Mekanisme utama IL-10 ini kemungkinan dengan menghambat kapasitas penampilan antigen dari LC. Demikian juga, keratinosit-keratinosit terpapar UV melepaskan PAF dan lipid mirip PAF yang memicu reseptor PAF, sebagaimana dijelaskan dalam bagian Target Molekuler Fotoimunosupresi. Kemungkinan, PAF dan reseptornya meningkatkan produksi siklooksigenase-2, PEG2, IL-4, dan IL-10. Produksi IL-10 bisa dibalikkan dengan IL-12. Secara kebetulan, IL-12 bisa merestorasi CHS yang terganggu UV. Injeksi mencit dengan IL-12 setelah keterpaparan UVB mencegah imunosupresi imbas UVB dan menekan sebagian toleransi imbas UVB yang didapatkan dengan pemekaan (sensitisasi) 14 hari setelah radiasi UV. Efek IL-12 ini kemungkinan besar terkait dengan kapasitas sitokin ini untuk meningkatkan reparasi fotoproduk DNA imbas radiasi UVB, yang membentuk basis molekuler untuk produksi IL-10 melalui keratinosit teradiasi.
Mediator-Mediator Seluler dari Fotoimunosupresi: Sel Langerhans, Makrofage, dan Sel T
   
LC, 2 persen hingga 5 persen dari sel epidermal, adalah sub-kelompok DC yang berasal dari prekursor sumsum tulang dan menempati epidermis. Mereka adalah sel-sel penampil antigen spesifik-kulit yang professional dan mencerna antigen secara lokal dalam kulit, tetapi kekurangan kapasitas ko-stimulasi. Setelah penangkapan antigen, LC bermigrasi ke DLN, dimana mereka menjadi matang untuk mempotensiasi stimulator bagi sel-sel T spesifik antigen, yang mengekspresikan kadar molekul kompleks histokompatibilitas utama yang tinggi dan molekul ko-stimulasinya B7.1 dan B7.1 serta molekul adhesi intraseluler 1 pada permukaan sel nya.
   
Pada tahun 1980an, ditunjukkan bahwa LC epidermal memegang peranan penting dalam induksi dan regulasi reaksi-reaksi CHS. Kepadatan LC merupakan sebuah faktor penting untuk induksi respons CHS, dan radiasi UV mengarah pada hilangnya LC dari tempat-tempat yang teradiasi. Pada penelitian-penelitian ini, mencit dipekakan dengan hapten dinitrofluorobenzen baik pada kulit yang memiliki jumlah LC tipikal atau pada kulit yang kekurangan LC. Respons CHS yang sangat terganggu diamati ketika mencit dipekakan pada kulit yang kekurangan LC. Kapasitas untuk mengurangi LC secara sementara dari kulit tampaknya merupakan sifat penting dari radiasi UVB. Lebih daripada itu, keterpaparan UV menghasilkan berkurangnya ekspresi molekul ko-stimulasi Ia, B7.1, B7.2, dan molekul adhesi antar-seluler 1 pada permukaan (lihat Gbr. 88-9). Pengurangan molekul-molekul ini bisa bertanggung jawab untuk atau berkontribusi bagi imunosupresi. Kehilangan LC dalam kulit dicapai dengan peningkatan DC dalam DLN. Fluorescein isotiosianat+Ia+CPD+sel dalam DLN ditemukan setelah memolesi kulit dengan isotiosianat fluorescein dan meradiasi selanjutnya dengan UV, Ini menunjukkan bahwa LC sebenarnya meninggalkan kulit setelah keterpaparan UV. UVB kemungkinan menginduksi migrasi LC tanpa adanya antigen eksogen, walaupun efek migratory ditingkatkan oleh sensitisasi dengan antigen. Keadaan akhir dari LC yang teradiasi kronis tetap masih harus diteliti. Migrasi LC imbas UVB juga diamati pada kulit manusia (in vivo).
   
Disamping mengurangi jumlah LC pada kulit, radiasi UVB mempengaruhi fungsi LC dengan mengganggu kapasitas penampil antigen pada DTH dan CHS. LC teradiasi UVB lebih mengaktivasi sel-sel Th2 CD4+. Berbeda dengan itu, mereka tidak mengaktivasi sel-sel T CD4+ dari sub-kelompok Th1, tetapi menginduksi energi klonal. Pemeran seluler lainnya dalam imunosupresi imbas UV adalah makrofage CD11b+, yang menginfiltrasi kulit manusia teradiasi UVB (lihat Gbr. 88-9). Sel-sel ini menghasilkan IL-10, dan penghapusannya oleh antibodi-antibodi membuat mencit teradiasi UV toleran kembali untuk CHS.
   
Disamping ketidakresponan imunologi terhadap hapten yang berlaku setelah radiasi, toleransi spesifik-hapten imbas keterpaparan UVB (yakni, resensitisasi dengan hapten sama pada titik-titik waktu selanjutnya) juga gagal. Pada eksperimen transfer adoptif, terlihat bahwa UVB menginduksi sel-sel penekan T. Elmets dkk., membuat suspensi sel tunggal dari limpa dan kelenjar getah bening dari mencit yang terpapar UVB dan yang diperlakukan dengan hapten, dengan menginjeksikan suspensi sel ke dalam mencit naif. Ketika mencit penerima dipekakan dan ditantang dengan hapten sama yang digunakan untuk mencit donor, mereka menunjukkan respons CHS yang terganggu signifikan.
   
Fenotip sel-sel T regulatory dan mekanisme aksinya belum dipahami dengan baik (Gbr. 88-10). Hasil-hasil yang diperoleh sejauh ini sulit untuk dibandingkan. Prosedur eksperimen yang berbeda menghasilkan sebagian hasil yang kontroversi. Ada bukti menunjukkan bahwa sel-sel T CD8+ merupakan mediator penting dari imunosupresi imbas UVB dalam imunosupresi lokal. Disamping itu, sel-sel T (yang tidak ditentukan oleh CD4 atau CD8) yang mengekspresikan antigen limfosit T sitotoksik (CTLA)-4 pada  permukaannya mentransfer toleransi imbas UV. CTLA-4 tampaknya memiliki relevansi fungsional, karena injeksi antibodi anti-CTLA-4 memblokir transfer supresi. Fungsi fisiologis CTLA-4adalah untuk mengakhiri respons imun dengan menghentikan sel-sel T teraktivasi, sehingga CTLA-4 merupakan sebuah molekul penting dalam regulasi imun. Pada stimulasi dengan DC pembawa antigen, sel-sel T CTLA-4+ mengsekresikan kadar IL-10 yang tinggi, mentransformasi faktor pertumbuhan-beta, dan IFN-gamma, tetapi kadar IL-2 yang rendah dan tidak ada IL-4. Penelitian lain menunjukkan bahwa sel-sel T CD4+ dari mencit yang terpapar UV mampu menekan CHS ketika diinjeksikan ke dalam mencit penerima yang tidak diperlakukan. Sel-sel T CD+ ini menghasilkan IL-10, tetapi tidak IL-4 dan IFN-gamma pada ko-kultur APC dan menghambat produksi IL-12 oleh APC.
   
Terlepas dari sel-sel regulatory CD4+, sel-sel T NK (Natural Killer) dengan kapasitas regulatory ditemukan dalam imunosupresi sistemik imbas UVB (lihat Gbr. 88-10). Khususnya, sel-sel T natural killer yang terbatas CD1 CD3+, CD4+, dan DX5+ telah ditemukan, yang mengsekresikan IL-4 dan bisa secara adoptif mentransfer penekanan rejeksi tumor serta respons DTH.

Fotoimunologi: Kesimpulan
   
Radiasi UV merupakan sebuah ancaman lingkungan permanen, dan respons adaptif terhadap efek-efek merusaknya telah terbentuk pada semua makhluk hidup. Dari sudut pandang teoritis, cukup menarik untuk berspekulasi bahwa fotoimunosupresi memiliki peranan fisiologis sebagai sebuah respons adaptif kulit terhadap modifikasi protein imbas UV dan respons imunologi terhadap apa yang disebut neo-antigens dan, sebagai konsekuensinya, juga inflamasi kronis. Pada kondisi-kondisi ini, risiko kanker kulit lebih tinggi yang tampak menyertai imunosupresi imbas UV kelihatannya memiliki sedikit signifikansi dalam hal evolusioner, karena kanker kulit terjadi sebagian besar pada usia tua, setelah masa reproduksi. Akan tetapi, dari sudut pandang praktek, fotokarsinogenesis memiliki sebuah masalah kesehatan yang serius. Demikian juga, pendekatan-pendekatan moderen untuk mencegah imunosupresi imbas UV mencakup filter UV spektrum luas, enzim reparasi DNA termuat liposomal, antioksidan, dan osmolit.

Judul Asli: Fundamentals of Cutaneous Photobiology and  Photoimmunology
Penulis: Anonymous
Tahun:
Sumber:
Kata kunci: Fotoimunologi,fotoimunosupresi,imunosupresi,kanker kulit,UVA,UVB,UV

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital