Herpes Genital

Infeksi virus herpes simpleks (HSV) genital merupakan sebuah penyakit yang memiliki imbas kesehatan masyarakat utama, dengan prevalensi yang meningkat signifikan di seluruh dunia selama empat dekade terakhir. Tingkat morbiditas penyakit, tingkat rekurensinya yang tinggi, komplikasinya seperti meningiotis aseptik dan penularan neonatal, telah menjadikan penyakit ini mendapatkan perhatian besar bagi pasien dan penyedia perawatan kesehatan. Berbagai interaksi antara HSV dan HIV, keduainya pada tingkat epidemiologis dan klinis, lebih jauh menunjukkan pentingnya infeksi ini.

SEJARAH
   
Kata herpes (dari bahasa Yunani yang berarti “mengerikan”) telah digunakan dalam ekdokteran selama sekurang-kurangnya 25 abad. Cold sores (herpes febrilis, lepuh demam) disebutkan oleh dokter Romawi Herodotus pada tahun 100 SM. Herpes genital pertama kali ditemukan oleh Dokter Perancis John Astruc pada tahun 1736, dan terjemahan bahasa Inggris yang pertama muncul dalam risalahnya tentang penyakit veneral pada tahun 1754. Penyakit ini juga tampak dikenali dengan baik oleh para venereologis di abad ke-19. Pada tahun 1893 Unna mendiagnosa herps genital pada 9,1% dari 846 wanita tuna susila yang mengunjungi tempat praktiknya. Pada tahun 1886 Diday dan Doyon mempublikasikan monograf Les Herpes genitauz dimana mereka mengamati bahwa herpes genital sering muncul setelah infeksi venereal seperti syphilis, chancroid, atau gonorrhea. Mereka juga melaporkan kasus herpes genital rekuren.
   
Cairan dari infeksi oral-labial ditunjukkan berinfeksi bagi manusia lain di akhir abad ke-19. Penyakit ini dapat ditransfer ke kelinci pada awal abad ke-20, dan HSV dibiakkan secara in vitro pada tahun 1925. pada tahun 1921, Lipshultz menginokulasi material dari lesi-lesi herpetik genital ke dalam kulit mausia, yang menimbulkan infeksi klinis dalam waktu 48-72 jam pada enam orang dan dalam 24 hari pada satu kasus. Pada eksperimen-eksperimen lain, dia mengamati bahwa kelinci mengalami infeksi korneal lebih mudah dengan turunan bakteri yang berasal dari tempat-tempat genital dibanding tempat-tempat oral-labial. Meskipun dia menduga bahwa ada perbedaan epidemiologi dan perbedaan klinis antara herpes genital dan herpes oral, kebanyakan peneliti merasa bahwa virus-virus herpes genital dan herpes labial cukup identik. Pada awal tahun 1960an, Schneeweiss di Jerman dan Dowdle dan Nahmias di Amerika Serikat melaporkan bahwa HSV bisa dibagi menjadi dua tipe antigen berdasarkan uji netralisasi sehingga ada hubungan antara tipe antigenik dan tempat recovery viral.

EPIDEMIOLOGI

SEROEPIDEMIOLOGI INFEKSI HSV
   
Perkembangan uji serologis akurat untuk Hsv-1 dan HSV-2 telah meningkatkan pemahaman kita tentang epidemiologi HSV-1 dan Hsv-2. Pada kedua infeksi ini, kebanyakan orang mengalami penyakit sub-klinis (asimptomatik) dan bisa hanya bisa diidentifikasi berdasarkan status antibodi. Uji serologi spesifik tipe memungkinkan pendeteksian HSV-2 dengan adanya antibodi HSV-1 dan sebaliknya. Kebanyakan dari uji ini memanfaatkan protein-protein spesifik-tipe murni seperti glikoprotein gG1, dan glikoprotein gG2, yang secara antigenik berbeda antara kedua sub-tipe. Uji gG1 dan gG2 secara akurat mengevaluasi orang-orang yang mengalami infeksi HSV lama, tanpa memperhitungkan gejala-gejala klinis. Dalam 5 tahun terakhir, beberapa dari uji ini, baik dalam format ELISA atau imunoblot, telah tersedia di pasaran, sehingga memungkinkan studi seroepidemiologis skala besar pada berbagai populasi. Pendekatan lain untuk menentukan antibodi-antibodi spesifik tipe terhadap HSV-1 dan HSV-2 adalah penggunaan uji Western blot untuk menentukan proto-tipe antigen yang telah mengalami evaluasi ekstensif dalam menentukank pola-pola antibodi spesifik sub-tipe. Uji Western blot tetap menjadi uji yang paling akurat untuk diagnosis serologis infeksi HSV-1 dan HSV-2, dengan kesensitifan >98% dan spesifitas >98% untuk membedakan antibodi-antibodi spesifik HSV-1 dan HSV-2. Uji antibodi HSV yang tersedia di pasaran memiliki spesifitas dan sensitifan (>90%) yang cukup untuk penggunaan klinis, walaupun banyak diantaranya  yang memiliki sensitifitas lebih rendah untuk pendeteksian infeksi HSV-1 yang prevalen dan yang tidak. Uji ELISA dan IFA yang memanfaatkan antigen viral proto-tipe tidak akurat dan tidak boleh digunakan untuk diagnosis klinis atau kajian seroepidemiologi klinis.
   
Prevalensi antibodi terhadap HSV meningkat seiring dengan usia dan berkorelasi terbalik dengan status sosial-ekonomi. Serosurvei populasi barat pada era pasca perang dunia II menemukan bahwa 80-100% orang dewasa paruh baya dari golongan sosial ekonomi rendah memiliki antibodi terhadap HSV, dibanding dengan 30-50% dari orang dewasa dari kelompok sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Di Amerika Serikat pada tahun 1970an, antibodi HSV-1 dideteksi pada sekitar 50% kelompok berstatus sosial ekonomi tinggi dan 80% yang berstatus sosial-ekonomi rendah ada usia 30 tahun. Pada data yang lebih baru dari NHANES, prevalensi HSV-1 tampaknya telah sedikit menurun dari 62% pada tahun 1988-1994 menjadi 57,7% pada tahun 1999-2004 pada populasi umum. Di Eropa Barat, prevalensi infeksi HSV-1 pada orang dewasa muda tetap 10-20% lebih tinggi dibanding di Amerika Serikat. Pada klinik-klinik penyakit tertularkan seksual di Amerika Serikat, sektiar 60% pengunjung memiliki antibodi HSV-1. Di Asia dan Afrika, infeksi HSV-1 tetapi hampir menyeluruh dengan i8nfeksi yang didapatkan pada masa awal kanak-akanak awal, walaupun prevalensi HSV-1 di Jepang jauh lebih rendah.
   
Antibodi-antibodi terhadap HSV-2 tidak dideteksi secara rutin dalam serum sampai pada masa pubertas, dan prevalensi antibodi dengan angka yang berkorelasi dengan indkes aktivitas seksual. Ketersediaan uji serologis yang lebih luas untuk HSV-2 telah memungkinkan karakterisasi ekstensif infeksi HSV-2 di seluruh dunia (Gbr. 24-1). secara konsisten, seroprevalensi HSV-2 lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Di Amerika Serikat, angka HSV-2 telah dinilai dalam survei orang-orang dewasa di seluruh dunia. Penelitian-penelitian ini menunjukkan seroprevalensi HSV-2 telah meningkat dari 16,4% menjadi 21,7% pada orang dewasa di Amerika Serikat antara 1979 sampai 1991. Akan tetapi, data yang lebih terbaru antara 1999-2004 menunjukkan bahwa prevalensi keseluruhan telah berkurang sampai 17%, sehingga mencemrinkan tingkat infeksi yang lebih rendah diantara para anak-anak dan dewasa muda. Kejadian kumulatif HSV-2 mencapai 25% pada wanita kulit putih. 20% pada pria kulit putih, 80% pada wanita Amerika Afrika dan 60% pada pria Amerika Afrika (Gbr. 24-2). Angka HSV-2 yang lebih tinggi diantara orang-orang Amerika Afrika telah ditemukan, yang mencerminkan angka infeksi yang lebih tinggi pada komunitas Amerika Afrika serta pasangan-pasangan jejaring seksual dan bukan pada perilaku seksual individu yang lebih tinggi.
   
Di seluruh dunia, seroprevalensi HSV-2 tampaknya lebih rendah di Eropa, termasuk Inggris (9,7%) dan Eropa Timur (6-25%), dan Australia (165 pada wanita, 8% pada pria). Di Afrika, penelitian-penelitian berbasis populasi menandakan tingkat infeksi yang sangat tinggi, dimana para remaja terinfeksi pada onset aktivitas seksual. Sebagai contoh, di Afrika Selatan, angka infeksi HSV-2 mencapai 80% pada wanita dan 40% pada laki-laki di usia 24. Di Amerika Latin, angka infeksi HSV-2 berkisar antara 20% pada wanita di Peru sampai 43% pada donor darah wanita di brazil hingga lebih 60% diaklanangan pria di klinis STD. Masih sedikit penelitian berbasis populasi yang dilakukan di negara-negara Asia; diantara wanita hamil prevalensinya adalah 27% di Saudi Arabia, 8% di India, dan 30% di Southh Pacific Island Nation of Vanuatu.
   
Tidak mengherankan, frekuensi antibodi HSV-2 lebih tinggi diaklangan orang-orang yang direkrut dari klinik-klinik STD dan dikalangan pria yang melakukan hubungan seks sesama pria. Pada populasi umum dan kelompok yang berisiko tinggi, antibodi HSV-2 sangat terkait dengan jumlah pasangan seksual selama ini, usia saat memulai hubungan seksual pertama, dan riwayat STD yang lain. Ini bisa berfungsi sebagai sebuah penanda serologis untuk perilaku seksual pada populasi-populasi berbeda. Angka infeksi HSV-2 juga lebih tinggi di kalangan orang-orang yang mengalami infeksi HIV; interaksi kompleks antara HSV-2 dan HIV dirangkum berikut ini.
   
Angka kejadian untuk infeksi cukup sulit diperkirakan karena kebanyakan infeksi didapatkan secara sub-klinis. Sebuah penelitian 15-tahun terhadap 839 wanita remaja di Swedia menunjukkan bahwa 50% dari kohort telah mendapatkan Hsv-1 dan 22% mendapatkan HSV-2 pada akhir penelitian. Penelitian vaksin kandidat telah menunjukkan bahwa risiko HSV-2 bervariasi sesuai jender, orientasi seksual, dan perilaku yang berisiko. Diantara wanita seronegatif HSV-2 dengan pasangan yang telah pernah mengalami infeksi HSV-2 genital, angka infeksi adalah 8,6% per 100 pasien tahun. Sebaliknya, angka akuisisi HSV-2 diantara pria yang berpasangan dengan wanita terinfeksi HSV-2 adalah 1,5%. Akan tetapi, angka akuisisi HSV-2 lebih tinggi dikalangan pria yang direkrut dari klinik-klinik STD. Dalam Proyek RESPECT, sebuah studi intervensi perilaku terhadap generasi muda perkotaan yang berisiko tinggi, kejadian HSV-2 adalah 9,9 per 100 orang tahun untuk pria dan 14,8 untuk wanita. Dalam penelitian-penelitian prospektif pria homoseks seronegatif HIV, angka kuisis HSV-2 adalah 1,9 per 100 pasien tahun dan 1,0 per 100 pasien dalam dua penelitian pencegahan HIV. Akuisisi HSV-2 juga umum diantara orang-orang yang mengalami HIV. Dalam sebuah penelitian dari Zimbabwe, risiko akuisis HSV-2 adalah 4,7 kali lipat lebih tinggi dikalangan yang positif Hiv berbanding orang yang negatif HIV; pada sebuah penelitian terhadap orang-orang Uganda, risiko yang ditemukan adaldah 2,7 kali lipat lebih tinggi. Pada sebuah penelitian terhadap wanita-wanita dengan pasangan seroposotif HSV-2, angka akuisis HSV-2 adalah 25% per 100 orang tahun dan pada pekerja bar di Tanzania, 14,2 kasus per 100 orang tahun. Angka akuisis HSV-2 yang tinggi ini pada orang-orang yang sero-positif HIV bisa mencerminkan perilaku berisiko tinggi, kerentanan yang meningkat, dan/atau keterpaparan orang-orang yang terinfeksi HIV/HSV-2 yang kemungkinan lebih berinfeksi untuk HSV-2 dibanding yang tidak mengalami HIV (lihat berikut).

PREVALENSI INFEKSI HSV GENITAL
   
Prevalensi herpes genital yang dilaporkan tergantung pada karakteristik demografi dan karakteristik klinis populasi pasien yang diteliti dan apakah teknik klinis dan/atau teknik laboraotorium digunakan untuk mendiagnosa. Kajian-kajian seroepidemiologis telah menunjukkan berbagai disparitas antara prevalensi antibodi dan infeksi klinis, sehingga menandakan bahwa banyak orang mendapatkan infeksi sub-klinis (asimptomatik). Alasan untuk kurangnya pengidentifikasian infeksi mencakup penyakit yang berlangsung ringan pada kebanyakan orang, pengecilan gejala pada mereka yang sebelumnya mengalami infeksi HSV-1, lokasi lesi pada area yang sulit diperiksa, misal: daerah perianal, dan akses yang berbeda terhadap perawatan kesehatan dan ketersediaan diagnostik pada berbagai populasi. Disamping itu, ada perbedaan besar antara prevalensi infeksi Hsv-1 dan HSV-2 berbanding frekuensi herpes genital dan herpes oral-labial yang ditemukan oleh para praktis medis. HSV telah berhasil diisolasi dari 0,35 sampai 5,4% pria dan 1,6% sampai 10 wanita yang mendatangi klinik STD. Pada populasi pasien klinik non-STD, HSV telah diisolasi dari saluran genital dan dari 0,25% sampai 5,0% pasien. Kebanyakan dari pasien ini asimptomatik. HSV-2 telah dibuktikan sebagai penyebab dominan penyakit ulser genital baik pada negara maju maupun negara berkembang. Di Afrika, Timur Jauh dan Amerika Serikat, herpes genital berkisar antara 2 sampai 10 kali lebih umum dibanding infeksi lainnya dalam ulser-ulser genital. Pergeseran dari syfilis dan chancroid menjadi herpes genital sebagai penyebab etiologik penyakit ulser genital bisa dikaitkan utamanya dengan penggunaan PCR DNA HSV untuk pendeteksian genom iral, dikombinasikan dengan pengurangan relatif syfilis dan chancroid yang disebabkan oleh metode-metode kontrol yang membaik dan penggunaan antibiotik yang lebih luas. Etiologi penyakit ulser genital sebagaimana ditentukan dengan diagnostik molekuler dari lokasi-lokasi berbeda ditunjukkan pada Tabel 24-1.
   
Di Amerika Serikat, HSV mendominasi sebagai penyabab ulser genital paling umum pada semua lokasi, dan tetap stabil, berbeda dengan jumlah deteksi T. Pallidum dan chancoid yang memiliki variasi temporal dan geografis yang signfikan. Kurangnya pendeteksian HSV pada penelitian-penelitian di negara berkembang berdasarkan diagnosis klinis atau kultur viral menandakan ketidaksensitifan kedua metode ini. penyebab dominan ulser-ulser venital di seluruh dunia adalah HSV-2, yang mewakili 40-80% etiologi ulser genital yang didiagnosa. Yang perlu diperhatikan, ~25% dari ulser genital terus tidak terdiagnosa. Ini bisa mencerminkan kesensitifitasn yang tidak sempurna dari berbagai uji yang sering digunakan. Penelitian-penelitian rinci yang menggunakan teknik-teknik molekuler yang sensitif dan uji-uji serologik menandai riwayat alami ulser-ulser seperti ini masih jarang dilakukan. Disamping itu, durasi lama ulser sebelum mencari peawatan kesehatan di negara-negara berkembang telah menggeser presentasi yang diamati pada klinik STD menuju ke etiologi yang lebih kronis. Sejalan dengan ini, epidemik HIV telah menghasilkan lebih banyaknya jumlah orang yang memiliki presentasi herpes genital ketika ulser terus berlanjut dan lebih ekstensif.
   
Prevalensi herpes genital telah meningkat tajam antara awal 1960an dan 1990an. Di Inggris, laporan-laporan pasien dengan herpes genital pada klinik-klinik STD telah meningkat enam kali lipat antara 1972 dan 1994. Kunjungan-kunjungan awal ke Dokter di Amerika Serikat selama HSV genital episode pertama meningkat 15 kali lipat, dari 16.986 pada tahun 1970 menjadi lebih dari 240.000 di tahun 2004, dan terus meningkat.
   
Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan infeksi HSV-1 genital telah dilaporkan dari Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Beberapa penelitian berbasis laboratorium melaporkan pergeseran proporsi relatif HSV-1 dan HSV-2 yang diisolasi dari lesi-lesi genital, sering dengan dominasi isolat-isolat HSV-1 dari orang yang masih muda, wanita, dan lelaki homoseks. Proporsi relatif HSV-1 mendekati 50% pada beberapa penelitian mahasiswa. Meskipun pelaporan berdasarkan laboratorium mungkin bukan merupakan indikator yang baik untuk kejadian keseluruhan dari herpes genital, pergeseran tipe HSV yang ditemukan adalah konsisten. Alasannhya tidak jelas; penurunan akuisis oral HSV-1 selama masa anak-anak dan kontak oral-genital yang sering, khususnya diantara para remaja, telah diduga sebagai salah satu penyebab. Yang menguatkan temuan ini adalah perubahan proporsi infeksi HSV-1 neonatal berbanding HSV-2, dengan HSV-1 yang menyebabkan kebanyakan infeksi pada beberapa seri kasus.

PENULARAN SEKSUAL HSV
   
Frekuensi penularan HSV-2 dipengaruhi oleh jender, infeksi HSV-1 di masa lalu, dan frekuensi aktivitas seksual dengan orang yang diketahui mengalami infeksi. Penularan HSV diantara pasangan seksual telah ditemukan paling sering dalam penelitian-penelitian prospektif pasangan yang tidak serasi secara serologis, yakni, pada pasangan dimana salah satu pasangan memiliki HSV-2 dan yang lainnya tidak. Penelitian-penelitian longitudinal terhadap pasangan-pasangan seperti ini telah menunjukkan bahwa angka penularan bervariasi dari 3% menjadi 12% per tahun. Beberapa penelitian telah menemukan pasangan-pasangan dimana Hsc-2 belum ditularkan meskipun sering melakukan aktivitas seksusal. Apakah ini disebabkan oleh resistensi genetik atau resistensi yang didapat masih belum jelas. Berbeda dengan STD lainnya, orang-orang biasanya mendapatkan infeksi HSV-1 genital dan HSV-2 genital dalam konteks hubungan yang tetap dan bukan hubungan sebab akibat. Wanita memiliki angka akuisisi yang lebih tinggi dari pria; pada salah satu penelitian tingkat infeksi diantara wanita yang seronegatif mendekati 30% per tahun. Risiko yang meningkat untuk akuisisi dikalangan wanita ini yang dibandingkan dengan pria terbukti pada 5-20% seroprevalensi antibodi HSV-2 yang lebih tinggi diakalangan wanita dibanding pria. Alasannya kemungkinan mencakup perbedaan anatomik yang mengarah pada area permukaan mukosal yang ebih besar yang terpapar dalam area genital wanita dibanding dengan pria dan kemungkinan persepsi ketidaknyamanan yang lebih rendah pada pria dengan lesi aktif dibanding pada wanita. Ciri yang terkahir ini bisa mengarah pada aktivitas seksual yang menignkat ketika lesi terjadi dan dengan demikian memiliki angka penularan yang lebih tinggi. Pola-pola perilaku seksual kemungkinan juga memegang peranan, dengan pria tua yang berfungsi sebagai sumber infeksi untuk wanita yang muda.
   
Kontak seksual dengan orang-orang yang memiliki herpes genital tidak terdiagnosa bisa mengarah pada tingkat akuisisi yang lebih tinggi. Pada sebuah penelitian terhadap 66 sumber pasangan yang diwawancarai dan diperiksa, sepertiga memiliki riwayat herpes genital rekuren, sepertiga memiliki riwayat klinis lesi-lesi genital rekuren yang konsisten dengan herpes, dan sepertiga menyangkal riwayat lesi-lesi semacam ini. Waktu rata-rata dari hubungan sebelum penularan terjadi adalah 3 bulan dan jumlah median pertemuan seksual adalah 24, sehingga menandakan bahwa HSV ditularkan lebih mudah. Data-data ini telah dikuatkan dalam sebuah penelitian yang menunjukkan kesadaran pasangan sumber potensial tentang herpes genital yang dideritanya dan mengungkapkannya kepada pasangan seksual terkait dengan penurunan risiko penularan HSV-2 sebesar 50%. Sehingga, diagnosis herpes genital pada pasangan sumber potensial dan kesadaran pasangan tentang eksistensi infeksi yang tertularkan seksual bisa membantu mengurangi risiko penularan. Kebanyakan kejadian penularan terjadi selama episode peluruhan sub-klinis. Pada penelitian-penelitian prospektif akuisis HSV, hanya 40% kasus baru HSV-2 genital yang mengalami keluhan-keluhan genitouriner di sekitar masa akuisis; sebelum infeksi HSV-1 melindungi terhadap akuisis asimptomatik HSV-02. Pola penyakit ini pada orang yang mendapatkan penyakit tidak mencerminkan pola penyakit pasangan sumber, sehingga menandakan bahwa faktor-faktor host ketimbang faktor-faktor viral menentukan keparahan penyakit. Sebanyak 58 persen pasien dengan herpes genital yang baru didapat tampak dalam 5 hari kontak seksual terakhir dan 95% dalam 14 hari hubungan seksual, yang menguatkan masa inkubasi singkat yang ditemukan pada penelitian manusia dan hewan. Ada ketidaksesuaian data tentang apakah infeksi HSV-1 di masa lalu melindungi terhadap akuisisi HSV-2, dengan perlindungan yang standar pada kebanyakan penelitian.

PATOGENESIS INFEKSI
   
Penularan infeksi HSV paling sering terjadi melalui kontak dekat dengan seseorang yang meluruhkan virus (pengekskresi) pada tempat-tempat perifer, permukaan mukosa, dan pada sekresi genital atau oral. Karena HSV mudah dinon-aktifkan pada suhu kamar dan dengan pengeringan, aerosol dan penyebaran fomitic merupakan metode penularan yang tidak lazim. Ineksi terjadi melalui inokulasi virus ke atas permukaan mukosa yang rentan (seperti orofaring, serviks, konjungtiva) atau melalui abrasi-abrasi pada kulit. Infeksi HSV terkait dengan nekrosis focal dan degenerasi sel, produksi sel raksasa berinti tunggal, dan inklusi intranuklear eosinofilik (badan-badan Cowdry tipe-A). Respons seluler awal ini sebagian besar polimorfonuklear, diikuti dengan respons limfositik. Apabila replikasi virus dibatasi, lesi-lesi berepitelisasi ulang.
   
Bersamaan dengan infeksi lalin, HSV menaiki saraf-saraf sensoris perifer dan memasuki saraf sensoris atau otonomik ganglia akar ketika periode laten terbentuk. Dengan menggunakan teknik-teknik ko0kultivasi HSV-2, dan jarang, HSV-1 telah berhasil diisolasi dari ganglia akar sacral. Mekanisme biologis yang digunakan oleh terbentuknya periode laten dan sifat interaksi sel dengan virus yang menghasilkan periode laten belum dipahami dengan baik. Periode laten bisa ditentukan setelah infeksi awal simptomatik dan asimptomatik. Bukti yang ada menunjukkan bahwa semua orang yang ser-positif HSV memiliki virus laten pada ganglia saraf dan kemungkinan semua orang yang sero-positif HSV-2 sesekali mereaktivasi infeksi dengan peluruhan HSV yang terjadi sekurang-kurangnya sesaat pada permukaan mukosa.; reaktivasi penyakit bisa simpatomatik secara klinis atau asimptomatik. Reinfeksi dengan turunan-turunan virus berbeda juga telah ditunjukkan; akan tetapi, ini tampak merupakan kejadian yang tidak sering dan rekurensi biasnaya disebabkan oleh reaktivasi turunan aal virus dari ganglia yang diinfeksi secara laten.
   
Mekanisme molekuler untuk terbentuknya periode laten HSV dan sesekali mengalami reaktivasi belum diketahui. Disamping itu, masih sedikit yang diketahui tentang mekanisme-mekanisme molekuler reaktivasi; sebagian besar karena masih sedikit sistem eksperimental akurat untuk meneliti isu-isu ini secara in vitro. Pada model hewan, banyak gen HSV yang mempengaurhi neuroinvasi dan penyebarannya. Pada saat daerah yang mengandung transkrip terkait kelatenan HSV-2 tersisip ke dalam sebuah virus HSV-1, reaktivasi yang meningkat pada ganglia akar saraf sacral telah terjadi, sehingga menandakan bahwa faktor-faktor viral mempengaruhi reaktivasi.
   
Faktor-faktor host juga tampak memegang peranan dalam mempengaruhi reaktivasi. Pasien yang terganggu sistem kekebalannya memiliki reaktivasi yang lebih sering dan lebih parah. HSV-1 dan HSV-2 melakukan pengkodean (encode) untuk protein-protein yang diarahkan untuk mengurangi respons sel T host. Protein HSV, ICP-47 (protein sel terinfeksi no. 47), berinteraksi dengan protein aktivitas transporter untuk mencegah interaksi antara peptida-peptida yang spesifik HSV terhadap molekul HLA kelas I. Ini mengurangi peptida HSV-1 tertentu dengan antigen HLA kelas I pada pada permukaan sel dan menghilangkan respons CTL CD8+ teradap HSV. Demikian juga, infeksi HSV bisa memicu limfosit T sitotoksik dan mengganggu pensinyalan serta sekresi sitokin. Inaktivasi CTL ini tampak unik bagi HSV-1 dan HSV-2 dan terkait dengan masuknya sel virus.
   
Biopsi-biopsi lesi herpetik telah menunjukkan bahwa pada awalnya sel-sel yang dominan menginfiltrasi adalah limfosit CD4+. Staining lesi seperti ini menunjukkan keberadaan penanda aktivasi pada sel-sel pembawa CD4 ini. ini mencakup reseptor IL-2, DR+, dan ICAM-1+ dalam 2-4 hari. Sel-sel T penginfiltrasi CD4+ awal ini menghasilkan γIFN dan sitokin lain sebagai respons terhadap antigen HSV. Γ-IFN khususnya meningkatkan ekspresi HLA kelas I seluler, yang kemudian bisa mengatasi kemampuan virus untuk mengurangi respons ini. Infiltrasi sel-sel T CD8+ kemudian terbentuk dan membantu membersihkan virus. Pembersihan HSV-2 dari lesi-lesi genital terkait dengan pendeteksian pembunuhan HSV-2 sitosolik dalam sel-sel T lesional. Kebanyakan dari aktivitas CTL ini tampak terjadi dalam limfost T CD8+. Sel-sel T CD8+ yang spesifik HSV-2 tampak terus berlanjut setelah penyembuhan dalam junction dermal-epidermal dan sejajar dengan ujung-ujung neural yang menginvervasi daerah tersebut (Gbr. 24.3). Data-data ini menunjukkan bahwa sel-sel seperti ini berpartisipasi dalam surveilans imun.
   
Ada bukti bahwa sel-sel T CD8+ bisa ditemukan pada ganglia akar saraf dorsal dan sel-sel T seperti ini tampak mensekresikan IFN-γ, dan penghilangan sel-sel seperti ini terkait dengan reaktivasi viral. Respons-respons host ini bisa memiliki peranan penting dalam mengendalikan HSV pada tingkat ganglion.

MANIFESTASI KLINIS HERPES GENITAL
   
Keparahan manifestasi klinis dan tingkat rekurensi herpes genital dipengaruhi oleh faktor viral dan faktor host seperti tipe virus, imunitas sebelumnya terhadap virus autolog atau heterolog, jender, dan status imun host. Pengaruh faktor-faktor host lain seperti usia, ras, dan tempat inokulasi pada saat akuisis infeksi atau ekspresi penyakit masih belum dipahami dengan baik. Latar belekang genetik host kemungkinan mempengaruhi riwayat alami infeksi HSV, tetapi terkecuali beberapa mutasi genetik yang telah diketahui yang terkait dengan hasil akhir yang parah, penentu genetika dari keparahan infeksi HSV mukosal belum diketahui. Banyak infeksi HSV (HSV-1 dan HSV-2) yang terjadi secara asimp-tomatik dan perbedaan pada orang-orang yang mengalami penyakit simptomatik dengan yang asimptomatik belum ditentukan. Disamping itu, turunan virus yang identik bisa memiliki pola-pola reaktivasi yang berbeda diantara setiap orang.

EPISODE PERTAMA HERPES GENITAL
   
Manifestasi klinis herpes genital sangat berbeda antara episode HSV primer dengan episode rekuren. Episode herpes genital primer sering terkait dengan gejala-gejala sistemik, durasi lesi yang lama, dan peluruhan viral, dan melibatkan banyak tempat genital dan ekstragenital. Pasien-pasien yang mengalami infeksi primer sejati (yakni infeksi pertama baik dengan HSV-1 atau HSV-2) memiliki penyakit yang lebih parah dibanding pasien yang memiliki bukti klinis atau serologis sebelum infeksi HSV-1. Pada kebanyakan survei, sekitar 50% orang yang mengalami episode pertama herpes genital simptomatik memiliki infeksi primer baik dengan HSV-1 atau HSV-2. Kebanyakan orang dengan episode pertama infeksi HSV genital non-primer memiliki bukti serologis dari infeksi HSV-1 masa lalu; akuisisi infeksi HSV-1 pada orang-orang yang sebelumnya mengalami infeksi HSV-2 jarang ditemukan. Sekitar 25% orang yang mengalami episode klinis pertama dari herpes genital simptomatik sebelumnya memiliki antibodi terhadap HSV-2 pada saat presentasi, yang menandakan akuisisi asimptomatik masa lalu dari HSV-2. Sehingga, episode klinis awal adalah episode pertama yang diketahui dari infeksi masa lalu dan tidak menandakan akuisisi terbaru. Isolat-isolat yang diambil dari rekurensi sekuensial hampir tanpa kecuali memiliki pola enzim restriksi yang identik. Kebanyakan infeksi JHSV-1 genital adalah infeksi primer, karena akuisis HSV-1 genital cukup jarang setelah infeksi HSV-2.
   
Sebelum infeksi HSV-1 oral-labial tampak melindungi terhadap akuisis penyakit HSV-1 genital, walaupun ini belum banyak diteliti dan tingkat perlindungan ini belum dihitung secara cermat. Penyakit HSV-1 genital tidak melindungi sempurna terhadap akuisis infeksi HSV-2, karena infeksi genital sekuensial telah ditemukan. Orang-orang dengan infeksi HSV-2 genital non-primer episode pertama (yakni, infeksi HSV-1 sebelumnya) lebih kecil kemungkinannya memiliki gejala-gejala sistemik dan memiliki durasi gejala dan tanda-tanda yang lebih singkatorang-orang yang mengalami herpes genital primer karena HSV-1 atau HSV-2. Akan tetapi, infeksi HSV-1 sebelumnya tampak tidak merubah tingkat rekurensi selanjutnya dari penyakit HSV-2 genital.

Herpes genital primer
   
Infeksi HSV-2 genital primer dan HSV-1 genital primer ditandai dengan gejala-gejala lokal dan gejala sistemis yang lama (Gbr. 24-4). Demam, sakit kepala, malaise, dan myalgia dilaporkan pada hampir 40% pria dan 70% wanita yang mengalami penyakit HSV-2 primer (P < 0,05). Gejala-gejala sistemik muncul secara dini dalam perjalanan penyakit, biasanya mencapai puncak dalam 3-4 hari pertama setelah onset lesi, dan perlahan-lahan berbalik selama 3-4 hari selanjutnya.
   
Nyeri, gatal-gatal, disuria, keluar cairan vaginal atau uretral, dan adenopati inguinal adalah gejala-gejala lokal utama dari penyakit ini. keparahan gejala-gejala lokal, durasi infeksi, lesi dan peluruhan viral tampaknya mirip pada pasien-pasien yang mengalami penyakit HSV-1 primer dan HSV-2 primer. Lesi-lesi nyeri dilaporkan pada 95% pria (durasi rata-rata 10,9 hari) dan 99% wanita (durasi rata-rata 12,2 hari) dengan infeksi HSV primer. Disuria, eksternal dan internal, tampak lebih sering pada wanita (83%) dibanding pada pria (44%). Pengisolasian HSV dari uretra dan urin laki-laki dan perempuan yang mengalami herpes genital primer menunjukkan bahwa, disamping disuria eksternal yang dihasilkan oleh urin yang menyentuh lesi HSV genital aktif, uretritis HSV dan/atau cystitis bisa menyebabkan lebih tingginya frekuensi dan lebih lamanya durasi disuria pada wanita.
   
Luahan (discharge) uretral dan disuria ditemukan pada sekitar sepertiga pria yang mengalami infeksi HSV-2 primer. HSV bisa diisolasi dari sebuah hapusan uretral atau dari urin yang pertama dikeluarkan dari pria-pria ini. luahan uretral biasanya jernih dan mukoid, dan keparahan disuria sering tidak sebanding dengan jumlah luahan uretral yang dikeluarkan pada pemeriksaan genital. Uji Gram stain pada luahan uretral menunjukkan antara 5 sampai 15 leukosit polimorfus per bidang imersi minyak. Terkadang, ditemukan respons sel mononuklear.
   
Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan ketidaknyamanan akibat lesi perlahan-olahan meningkat dalam hari 6-7 pertama penyakit, mencapai intensitas maksimum antara hari 7 dan 11 penyakit, dan perlahan-lahan pulih selama pekan kedua penyakit. Adenopati inguinal lunak biasanya tampak selama pekan ke-dua atau ke-tiga penyakit dan sering merupakan gejala terakhir yang pulih. Kelenjar getah bening inguinal dan femoral pada umumnya jelas, non-fluktuan, dan sangat lunak saat dipalpasi. Limfadenopati suppuratif merupakan manifestasi yang sangat tidak umum dari herpes genital.

Tanda-tanda klinis dan durasi peluruhan viral pada herpes genital primer. Pada pria dan wanita yang mengalami infeksi HSV genital primer, lesi vesikopustular atau lesi ulseratif bilateral yang beruang lebar pada genital eksternal merupakan tanda yang paling serung muncul (Gbr. 24-5 dan 24-6). Lesi-lesi secara khas mulai terjadi sebagai papula-papula atau vesikel-vesikel yang dengan cepat menyebar pada area genital. Pada saat kunjungan klinis pertama, lesi-lesi vesikular kecil ganda yang bergabung menjadi area-area ulserasi yang besar biasanya ditemukan, khususnya pada wanita. Jumlah, ukuran, dan bentuk lesi-lesi ulseratif sangat bervariasi diantara para pasien. Edema labia atau penis cukup umum. Lesi-lesi ulseratif ini berlangsung terus menerus meulai dari 4 sampai 15 hari sampai pengerakan dan/atau re-epitelisasi terjadi. Secara umum, lesi pada area penil dan mons mengerak sebelum re-repitelisasi sempurna terjadi. Pengerakan tidak terjadi pada permukaan-permukaan mukosal. Scarring residual dari lesi-lesi tidak umum. Pembentukan lesi baru (perkembangan area baru vesikulasi atau ulserasi selama perjalanan infeksi) terjadi pada lebih 75% pasien yang mengalami herpes genital primer. Lesi-lesi baru biasanya terbentuk antara hari 4 sampai 10 penyakit dan salah satu dari efek klinis yang paling jelas dari terapi antiviral herpes genital primer adalah berkurangnya pembentukan lesi baru. Durasi rata-rata peluruhan viral, sebagaimana ditentukan dari onset lesi sampai kultur positif terakhir, adalah 12 hari. Waktu rata-rata mulai dari onoset lesi sampai re-repitelisasi sempurna dari semua lesi tampak sedikit lebih lama pada wanita (19,5 hari) dibanding pada pria (16,5 hari).

Comments

  1. Hiv disease for the last 3 years and had pain hard to eat and cough are nightmares,especially the first year At this stage, the immune system is severely weakened, and the risk of contracting opportunistic infections is much greater. However, not everyone with HIV will go on to develop AIDS. The earlier you receive treatment, the better your outcome will be.I started taking ARV to avoid early death but I had faith in God that i would be healed someday.As a Hiv patent we are advise to be taking antiretroviral treatments to reduce our chance of transmitting the virus to others , few weeks ago i came on search on the internet if i could get any information on Hiv treatment with herbal medicine, on my search i saw a testimony of someone who has been healed from Hiv her name was Achima Abelard and other Herpes Virus patent Tasha Moore also giving testimony about this same man,Called Dr Itua Herbal Center.I was moved by the testimony and i contacted him by his Email.drituaherbalcenter@gmail.com We chatted and he send me a bottle of herbal medicine I drank it as he instructed me to.After drinking it he ask me to go for a test that how i ended my suffering life of Hiv patent,I'm cured and free of Arv Pills.I'm forever grateful to him Drituaherbalcenter.Here his contact Number +2348149277967...He assure me he can cure the following disease..Hiv,Cancer,Herpes Virus,Lyme Disease,Epilepsy, fibromyalgia ,ALS,Hepatitis,Copd,Parkinson disease.Genetic disease,Fibrodysplasia Ossificans Progressiva,Factor V Leiden Mutation ,Fatal Familial Insomnia ,Dupuytren's disease,Fibrodysplasia Ossificans Progressiva,Fluoroquinolone Toxicity Syndrome,Inflammatory bowel disease ,Huntington's disease ,Diabetes,Fibroid...

    ReplyDelete
  2. Meu nome é hoover, minha filha de 18 anos, Tricia foi diagnosticada com herpes há 3 anos. Desde então, passamos de um hospital para o outro. Tentamos todos os tipos de pílulas, mas todos os esforços para se livrar do vírus foram inúteis. As bolhas continuaram a reaparecer após alguns meses. Minha filha estava usando comprimidos de aciclovir 200mg. 2 comprimidos a cada 6 horas e 15g de creme de fusitina. e H5 POT. Permanganato com água a ser aplicado 2x ao dia, mas todos ainda não mostram resultado. Então, eu estava na internet há alguns meses, para procurar outros meios de salvar meu único filho. Só então, me deparei com um comentário sobre o tratamento com ervas dr imoloa e decidi experimentá-lo. entrei em contato com ele e ele preparou algumas ervas e as enviou, juntamente com orientações sobre como usá-las através do serviço de correio da DHL. minha filha usou-o como indicado pelo dr imoloa e em menos de 14 dias, minha filha recuperou a saúde. Você deve entrar em contato com o dr imoloa hoje diretamente no endereço de e-mail dele para qualquer tipo de desafio à saúde; doença lúpica, úlcera na boca, câncer na boca, dor no corpo, febre, hepatite ABC, sífilis, diarréia, HIV / AIDS, doença de Huntington, acne nas costas, insuficiência renal crônica, doença de addison, dor crônica, dor de Crohn, fibrose cística, fibromialgia, inflamatória Doença do intestino, doença fúngica das unhas, Doença de Lyme, Doença de Celia, Linfoma, Depressão Maior, Melanoma Maligno, Mania, Melorreostose, Doença de Meniere, Mucopolissacaridose, Esclerose Múltipla, Distrofia Muscular, Artrite Reumatóide, Doença de Alzheimer, doença de parkinson, câncer vaginal, epilepsia Transtornos de Ansiedade, Doença Auto-Imune, Dor nas Costas, Entorse nas Costas, Transtorno Bipolar, Tumor Cerebral, Maligno, Bruxismo, Bulimia, Doença do Disco Cervical, doença cardiovascular, Neoplasias, doença respiratória crônica, distúrbio mental e comportamental, Fibrose Cística, Hipertensão, Diabetes, Asma , Media inflamatório auto-imune artrite ed. doença renal crônica, doença inflamatória articular, impotência, espectro do álcool feta, Transtorno Distímico, Eczema, tuberculose, Síndrome da Fadiga Crônica, constipação, doença inflamatória intestinal. e muitos mais; entre em contato com ele no e-mail drimolaherbalmademedicine@gmail.com./ também no whatssap- + 2347081986098.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen