Hubungan Gen TAP dan HLA-DM dengan Psoriasis pada Penduduk Korea

Abstrak

Untuk meneliti kemungkinan terlibatnya gen-gen pengolah antigen (antigen-processing genes) dalam patogenesis psoriasis, kami menganalisis polimorfisme gen TAP1, TAP2, LMP2, LMP7, DMA, dan DMB pada 98 pasien psoriasis berkebangsaan Korea dan membandingkannya dengan 184 kontrol yang sehat. Frekuensi TAP2*B/B [risiko relatif (RR) = 3,6, p < 0,0002] dan TAP2*B (RR = 1,7, p < 0,05) meningkat signifikan, tetapi TAP1*B (RR = 0,3, p < 0,002) dan TAP2*A (RR = 0,6, p<0,03) berkurang signifikan, pada pasien yang dibandingkan dengan kontrol. Kami melakukan analisis lebih lanjut terhadap polimorfisme nukleotida tunggal TAP1 dan TAP2 dan menemukan perbedaan signifikan antara pasien dan kontrol dalam hal polimorfisme nukleotida tunggal TAP1 di posisi 637 dan pada TAP2 di posisi 665. Pada gen HLA-DM, DMA*0102 (RR = 2,5, p<0,0003) meningkat signifikan, tetapi DMA*0101/0101 (RR=0,4, p<0,0004) dan DMB*0103/0103 (RR = 0,3, p<0,005) berkurang signifikan pada pasien dibanding pada kontrol. Alel-alel TAP dan HLA-DM juga dianalisis berdasarkan usia saat onset psoriasis pada pasien (tipe I dan II), ditemukan bahwa alel-alel HLA-DM menunjukkan hubungan yang lebih besar pada pasien tipe I dibanding tipe II. Sebuah analisis ketidakseimbangan rangkai gen (linkage disequilibrium) dan stratifikasi rangkai gen juga menunjukkan bahwa alel-alel TAP dan HLA-DM bisa terkait independen dengan HLA-Cw*0602 pada pasien psoriasis. Analisis stratifikasi antara DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 menunjukkan bahwa faktor tertentu, yang dikontrol oleh sebuah gen yang terletak diantara DMA dan DMB, bisa memberikan perlindungan kuat terhadap psoriasis, tanpa tergantung Cw*0602, dikalangan populasi Korea yang kami teliti. Sebagai kesimpulan, data kami menunjukkan bahwa alel TAP dan HLA-DM bisa mengarah pada kerentanan genetik terhadap psoriasis dikalangan penduduk Korea.

Lesi-lesi psoriasis ditandai dengan hiperplasia epidermal dan adanya sel inflamatory akut dan kronis. Limfosit teraktivasi, sel-sel aksesori imun lainnya, dan limfokin juga telah dideteksi pada plak-plak psoriasis (Elder dkk., 1994; Hensler, 1998). Telah diperkirakan bahwa pada kebanyakan negara sebanyak 1% sampai 3% populasi terkena psoriasis (Ikaheomo dkk., 1996). Psoriasis diyakini sebagai sebuah penyakit multigen, yang mana kenampakannya sebagian tergantung pada faktor-faktor eksternal (Traupe, 1995). HLA-Cw6 menunjukkan peningkatan yang paling menonjol tanpa tergantung ras atau etnis, sehingga mendukung bahwa keberadaan gen dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC) merupakan faktor genetika yang paling penting untuk menentukan kerentanan terhadap psoriasis (Tiilikainen dkk., 1980). Baru-baru ini, scan genome-wide telah memberikan bukti yang menunjukkan pertalian antara psoriasis dengan lokus HLA dan beberapa lokus non-HLA. Dari lokus-lokus ini, lokus yang terkait HLA (PSORS1) telah dianggap sebagai lokus utama untuk kerentanan terhadap psoriasis (Trembath dkk., 1997; Veal dkk., 2001). PSORS1 mengandung lima gen yang diketahui, tiga transkrip, dan beberapa tag sekuensi yang diekspresikan (Oka dkk., 1999). Gen-gen ini telah dianalisis, dan hubungan-hubungan signifikan telah ditemukan untuk polimorfisme pengkodean non-konservatif dalam korneodesmosin (CDSN) dan HCR. Beberapa penelitian telah melaporkan hubungan signifikan untuk sebuah polimorfisme nukleotida tunggal  pengkode (SNP) dalam gen CDSN (Allen dkk., 1999; Jenisch dkk., 1999; Tazi Ahnini dkk., 12999), tetapi hubungan ini tidak ditemukan pada kelompok etnis tertentu, termasuk penduduk Jepang dan Finlandia (Ishihara dkk., 1996; Enerback dkk., 2000). Asumalahti dkk., telah menunjukkan gen HCR diekspresikan di berbagai tempat tetapi meningkat jumlahnya pada epidermis psoriatik, dengan hubungan signifikan antara psoriasis dan alel HCR (Asumalahti dkk., 2000). Penelitian lain telah menunjukkan bahwa hubungan HCR ini dengan psoriasis semata-mata disebabkan oleh ketidakseimbangan rangkai gen dengan Cw*0602 dan tidak memiliki relevansi patologis (O'Brien dkk., 2001). Dengan demikian, masih belum jelas apakah gen-gen, atau daerah-daerah gen ini, terlibat langsung dalam predisposisi terhadap psoriasis. Atau apakah gen-gen atau daerah-daerah gen ini terkait erat dengan gen-gen terkait penyakit lainnya, yang membentuk bagian dari haplotipe terkait penyakit yang lebih luas.
   
Disamping gen-gen HLA, respons imun tergantung pada beberapa gen yang mengkodekan molekul-molekul yang menghasilkan dan mentranslokasi peptida-peptida antigenik. Gen-gen yang terlibat dalam jalur pemrosesan antigen kelas I dan II memiliki TAP, LMP, dan HLA-DM, dan bisa dianggap sebagai gen kandidat untuk kerentanan terhadap psoriasis. Gen-gen TAP terletak dalam daerah HLA kelas II, antara lokus DQB1 dan DPA1, dan menunjukkan polimorfisme genetik. Gen-gen TAP terdiri dari gen TAP1 dan TAP2, yang mengkodekan sebuah molekul heterodimer yang membentuk sebuah kompleks heterodimerik untuk menyalurkan peptida-peptida antigenik ke retikulum endopasmik sebelum perakitan molekul-molekul kelas I (Deverson dkk., 1990; Spies dkk., 1990; Trowsdale dkk., 1990). Dua tempat polimorfisme telah ditemukan dalam gen TAP1, dan empat dalam TAP2. Dengan TAP1 ada empat kombinasi alel polimorfsime yang mungkin dan delapan kombinasi untuk TAP2 pada tempat-tempat ini (Powis dkk., 1993). Gen-gen LMP2 dan LMP7 terletak dalam daerah kelas II, dan mengkodekan dua sub-unit kompleks proteasom yang terlibat dalam degradasi protein-protein sitosolik dan pembentukan peptida-peptida antigenik (Brown, dkk., 1991; Ortiz-Navarrete dkk., 1991). Walaupun enzim-enzim proteolitik LMP mungkin tidak esensial dalam pengolahan peptida-peptida yang diikat oleh molekul MHC kelas I (Arnold dkk., 1992), enzim-enzim ini bisa menguatkan aktivitas endopeptidase spesifik dari proteasom, dengan menghasilkan peptida-peptida yang sesuai untuk molekul-molekul MHC kelas I. Gen-gen HLA-DM mengkatalisis proses pemuatan peptida kedalam molekul-molekul HLA kelas II (Kelly dkk., 1991a), terletak dalam daerah HLA kelas II, diantara lokus DQB1 dan DPB1, dan menunjukkan polimorfisme genetik (Carrington dkk., 1993b; Carrington dan Harding, 1994). Polimorfisme gen HLA-DM bisa mempengaruhi pemuatan peptida pada molekul-molekul HLA kelas II. Sehingga, TAP, LMP, dan HLA-DM bisa memegang peranan restriktif dalam pengolahan dan presentasi antigen, dan sehingga merupakan kandidat potensial untuk faktor kerentanan terhadap psoriasis. Dalam penelitian ini, kami meneliti polimorfisme-polimorfisme gen TAP1, TAP2, LMP2, LMP7, HLA-DMA, dan HLA-DMB, dan hubungannya dengan psoriasis, pada sebuah populasi pasien Korea.

BAHAN DAN METODE

Subjek: Populasi penelitian terdiri dari 96 pasien psoriasis Korea, 44 perempuan dan 52 laki-laki, yang memiliki usia antara 12 sampai 83 tahun. Pasien dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan usia saat onset psoriasis; tipe I (n=73), dibawah 30 tahun dan tipe II (n = 23), diatas 30 tahun (Kim dkk., 2000). Usia rata-rata pada saat onset psoriasis adalah 23,4 tahun. Hasilnya dibandingkan dengan 184 kontrol yang tidak mengalami psoriasis. Semua subjek memberikan izin formal untuk kajian genomik dan persetujuan Etis didapatkan dari Komite Etis Penelitian Manusia Korea.

Polimorfisme gen TAP. Alel-alel TAP ditentukan dengan metode polimorfisme konformasi single-strand (SSCP) reaksi rantai polimerase (PCR) dan metode sistem modifikasi refractory amplifikasi (ARMS) seperti disebutkan dalam literatur (Powis dkk., 1993).

Analisis PCR-SSCP TAP1 pada kodon 333 dan 637, dan TAP2 pada kodon 379 dan 665. PCR dilakukan dengan primer-primer pada volume 10 µl dengan buffer 10x (500 mM Kcl, 100 mM Tris-HCl pH 8,3 dan 15 mM MgCl2); 1 pM dari masing-masing primer oligonukleotida; dNTP (200 µM masing-masing dari dATP, dGTP, dan dTTP, dan 100 µM dari dCTP; 5 µCi [α-32P]dCTP; 100 ng DNA genomik; dan 0,5 U Taq DNA polimerase (5 U per μl; Boehringer Mannheim, Mannheim, Germany). PCR dilakukan pada termosikler Perkin Elmer 9600 dengan kondisi berikut: 5 menit pada 95oC; 35 siklus masing-masing selama 30 detik pada 95oC (denaturasi), 30 detik pada 62oC (pendinginan), dan 40 detik pada 72oC (elongasi); dan terakhir 10 menit pada 72oC. Produk-produk PCR dicampur dengan sebuah larutan NaOH 10 mM, formamida 95%, bromofenol 0,05%, dan xylen 0,05% sianol dan didenaturasi pada 95oC selama 2-3 menit. Produk-produk ini dipisahkan pada gel akrilamida non-denaturasi 6% selama 4 jam pada 4oC dan 50 W. Untuk autoradiografi, gel-gel dipadatkan, dikeringkan, dan dipaparkan selama 2-18 jam dengan menggunakan sebuah film sinar-X pada -70oC dan sebuah layar pengintensifikasi.
   
Analisis PCR-ARMS untuk polimorfisme gen TAP2 pada kodon 565. Sampel-sampel DNA (100 μg per ml) diamplifikasi dalam campuran reaksi yang mengandung Taq DNA polimerase, buffer 10 x, primer, 200 μM dNTP, dan air suling. PCR dilakukan pada termosikler Perkin Elmer 9600 pada kondisi berikut: 5 menit pada 95oC; 35 siklus selama 1 menit pada 95oC (denaturasi), 1 menit pada 62oC (pendinginan), dan 1 menit pada 72oC (elongasi); dan terakhir 10 menit pada 72oC. Produk-produk PCR yang diamplifikasi dipisahkan pada sebuah gel agarosa 1,5% dan distaining dengan ethidium bromida.
   
Penetapan alel untuk TAP1 dan TAP2. Asam-asam amino pada posisi polimorfis 333 dan 637 pada gen TAP1, dan 379, 565, dan 665 pada gen TAP2, dianalisis. Setiap titik adalah sebuah SNP: TAP1333 (A -> G, Ile -> Val) dan TAP1637 (A -> G, Asp -> Gly); dan TAP2379 (G -> A, Val -> Ile), TAP2565 (G -> A, Ala -> Thr), dan TAP2665 (A -> G, Thr -> Ala). Masing-masing alel gen TAP1 dan TAP2 ditentukan oleh kombinasi polimorfisme-polimorfisme pada posisi-posisi berbeda, sebagai berikut: TAP1*A (Ile-333 dan Asp- 637), TAP1*B (Val-333 dan Gly- 637), dan TAP1*C (Val-333 dan Asp- 637); dan TAP2*A (Val-379, Ala-565, dan Thr-665), TAP2*B (Val-379, Ala-565, dan Ala- 665), TAP2*C (Ile-379, Ala-565, dan Thr- 665), TAP2*D (Ile-379, Thr-565, dan Thr- 665), TAP2*E (Val-379, Thr-565, dan Thr-665), dan TAP2*G (Ile-379, Ala-565, dan Ala- 665).

Polimorfisme gen LMP. Penentuan genotip LMP2 dan LMP7 dilakukan dengan polimorfisme panjang fragmen restriksi PCR seperti dijelaskan sebelumnya (Kelly dkk., 1991b). Posisi polimorfis pada nukleotida 3911, 3912, dan 4096 dalam gen LMP7, dan pada posisi asam amino 60 dalam gen LMP2, dianalisis [LMP73911 (T -> G), LMP73912 (C -> T), dan LMP74069 (C -> T); dan LMP260 (G -> A, Arg -> His)]. Alel LMP7 ditentukan berdasarkan kombinasi beberapa polimorfisme pada posisi-posisi berbeda, sebagai berikut: LMP7*A (T-3911, C-3912, dan C-4096), LMP7B* (G-3911, C-3912, dan C-4096), LMP7*C (C-3911, C-3912, dan T-4069), dan LMP7*D (G-3911, T-3912), dan T-4069). Alel-alel LMP2 ditentukan sebagai LMP2*R (Arg) dan LMP2*H (His). PCR dilakukan dengan primer-primer pada volume 20 μL dengan buffer 10x; 1 pM dari masing-masing primer oligonukleotida; 200 μM dNTPs; 100 ng DNA genomik; dan 0,5 U Taq DNA polimerase (Boehringer Mannheim). PCR dilakukan pada termosikler Perkin Elmer 9600 (PE Biosystems) pada kondisi berikut: (i) LMP2, 5 menit pada 95oC dan 35 siklus selama 15 detik pada 95oC (denaturasi), 40 detik pada 67oC (pendinginan), 30 detik pada 72oC (elongasi) dan terakhir 10 menit pada 72oC; dan (ii) LMP7, 5 menit pada 95oC dan 35 siklus selama 7 detik pada 95oC (denaturasi), 30 detik pada 62oC (pendinginan),  30 detik pada 72oC (elongasi), dan terakhir 10 menit pada 72oC. Produk-produk PCR teramplifikasi dilumatkan dengan endonuklease restriksi, Hha I, pada 37oC selama 1 jam. Setelah pelumatan, fragmen-fragmen LMP2 difraksionasi pada gel acrylamida 8% pada 300 V selama 2,5 jam, dan fragmen-fragmen LMP7 pada gel agarose 2% pada 200 V selama 30 menit, dan divisualisasikan dengan staining menggunakan ethidium bromida.

Polimorfisme gen HLA-DM. Penentuan genotip HLA-DMA dan HLA-DMB dilakukan dengan PCR-SSCP, seperti disebutkan sebelumnya (Carrington dkk., 1993b, Carrington dan Harding, 1994). Berdasarkan urutan-urutan dari ekson ketiga, empat alel dari DMA (DMA*0101, *0102, *0103, 0104) dan lima dari DMB (DMB0101, *0102, *0103, *0104, dan *0105) dianalisis. Posisi-posisi nukleotida ini melibatkan kodon 140, 155, dan 184 dalam DMA dan kodon 144 dan 179 dalam DMB, yang semuanya menghasilkan perubahan asam amino non-sinonim: : DMA140 (G-A, Val -> Ile), DMA155 (G -> C, Gly -> Ala), DMA184-1 (C -> T, Val -> Ile), and DMA184-2 (G -> A, Arg -> His); DMB144 (C -> A, Ala -> Glu; C -> T, Ala -> Val) and DMB179 (T -> C, Ile -> Thr). Masing-masing alel DMA dan DMB ditetapkan dengan kombinasi polimorfisme pada posisi-posisi berbeda sebagai berikut: DMA*0101 (Val-140, Gly-155, dan Arg-184), DMA*0102 (Ile-140, Gly-155, dan Arg-184), DMA*0103 (Val-140, Ala-155, dan His-184), dan DMA*0104 (Ile-140, Gly-155, dan Cys-184); DMB*0103 (Ala-144 dan Thr-179), DMB*0104 (Val-144 dan Thr-179), dan DMB*0105 (Val-144 dan Ile-179). PCR dilakukan dengan primer-primer pada 10 μl dengan buffer 10x; 1 pM dari masing-masing primer oligonukleotida; dNTP (200 μM masing-masing dari dATP, dGTP, dan dTTP, dan 100 μM dCTP); 5 μCi [α-32P]dCTP; 100 ng dari DNA genomik; dan 0,5 U Taq DNA polimerase (Boehringer Mannheim). PCR dilakukan pada termosikler Perkin Elmer 9600 pada kondisi-kondisi berikut: 5 menit pada 95oC; 30 siklus selama 30 detik pada 95oC (denaturasi), 60 detik pada 65oC (pendinginan), dan 90 detik pada 72oC. Produk-produk PCR dicampur dengan sebuah larutan yang mengandung 10 mM NaOH, 95% formamida, 0,05% bromofenol, dan 0,05% xylen sianol, dan didenaturasi pada 95oC selama 2-3 menit. Produk-produk dipisahkan pada sebuah gel acrylamida non-denaturasi 6%, dikeringkan, dan dipaparkan selama 2-18 jam dengan menggunakan filem sinar-X pada -70oC dan screen pengintensifikasi.

Penentuan genotip HLA-C. Penentuan HLA-C dilakukan dengan menggunakan PCR-ARMS dengan metode yang disebutkan di atas (Bunce dan Welsh, 1994). Masing-masing tabung mengandung campuran primer yang terdiri dari pasangan primer spesifik alel atau spesifik kelompok, dengan primer kontrol positif yang dicocokkan dengan urutan-urutan non-alelik. Penentuan tipe HLA-C mencakup 23 kelompok campuran primer. PCR dilakukan dalam 7 μl, dimodifikasi dari manual referensi TIHW untuk ARMS-PCR kelas I. Ukuran produk PCR ditentukan pada gel agarosa 1,5%, distaining awal dengan ethidium bromida.

Statistik. Rasio ganjil (OR) dihitung dengan menggunakan formula Woolf (Haldane, 1955) dan dengan konvensi, dan dinyatakan sebagai risiko relatif (RR). Modifikasi Haldane terhadap formula ini digunakan ketika salah satu elemen dari persamaan sama dengan nol. Setiap perbedaan yang signifikan  menurut statistik diuji dengan analisis x2 dengan 1 derajat kebebasan atau dengan uji pasti Fisher two-tailed ketika kriteria untuk analisis x2 tidak dipenuhi. Nilai p yang kurang dari 0,05 dianggap signifikan menurut statistik. Nilai-nilai Delta untuk LD dan frekuensi haplotipe (HF) dihitung dengan rumus Mattiuz dkk (1970). Uji pasti (Guo dan Thompson, 1992) digunakan untuk mengevaluasi penyimpangan dari proporsi genotip Hardy-Weinberg yang diharapkan, dengan menggunakan paket program komputer Arlequin (Schneider dkk., 1996).

HASIL
   
Frekuensi alel TAP1, TAP2, LMP2, LMP7, DMA, dan DMB. Kami menguji keseimbangan Hardy-Weinberg pada semua gen yang diteliti dalam kelompok kontrol dengan pengecualian TAP2, karena tidak semua heterozigot bisa dibedakan dengan menggunakan sistem typing (penentuan tipe gen) yang kami gunakan. Distribusi genotip konsisten dengan asumsi kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan pengecualian yang mungkin untuk LMP7, akibat kelebihan homozigot (frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diduga masing-masing adalah 50,5% dan 60,3%).

Frekuensi alel TAP1 dan TAP2 untuk pasien dan kontrol ditunjukkan pada Tabel I. Frekuensi TAP2*B/B (RR = 3,6, p<0,0002) dan TAP2*B (RR = 1,7, p<0,05) meningkat signifikan, tetapi frekuensi TAP1*A/B (RR = 0,4, p<0,02), TAP1*B (RR = 0,3, p<0,002), dan TAP2*A (RR = 0,6, p < 0,03), berkurang signifikan, pada pasien dibanding dengan kontrol. Untuk menghindari penetapan beberapa alel secara tidak jelas karena heterozigositas pada lebih dari satu residu, kami juga menganalisis SNP Tap individual. Ada perbedaan signifikan dalam hal frekuensi SNP TAP1 pada posisi 637 dan TAP2 pada posisi 665 antara pasien dan kontrol (Tabel I). Pada residu TAP1-637, frekuensi genotip Asp-637/Asp-637 homozigot (RR = 26, p<0,003) dan frekuensi gen Asp-637 (RR = 2,5, p<0,002) meningkat signifikan pada pasien dibanding dengan kontrol. Fenotip dan frekuensi gen dari posisi Gly-637 berkurang signifikan pada pasien dibanding dengan kontrol. Pada posisi TAP2-665, frekuensi Ala-665/Ala-665 (RR = 3,4, p<0,003), fenotip Ala-665 (RR = 2,0, p<0,02), dan gen Ala-665 (RR = 1,9, p<0,0004) meningkat signifikan, tetapi Thr-665/Thr-665 (RR = 0,5, p<0,02), fenotip Thr-665 (RR = 0,3, p < 0,0002), dan gen Thr-665 (RR = 0,5 p<0,0004) berkurang signifikan pada pasien dibanding dengan kontrol. Frekuensi DMA*0101/0102 (RR = 2,0, p<0,006) dan DMA*0102 (RR = 2,5, p<0,0003) meningkat signifikan, tetapi DMA*0101/0101 (RR = 0,4, p<0,0004) dan DMB*0103/0103 (RR = 0,3, p<0,005) berkurang signifikan, pada pasien dibanding dengan kontrol. Frekuensi LMP2 dan LMP7 pada pasien dan kontrol diteliti, tetapi tidak perbedaan signifikan yang ditemukan.

Distribusi alel TAP, LMP, dan HLA-DM berdasarkan usia onset penyakit. Kami sebelumnya menyebutkan bahwa psoriasis tipe I dan II dikelompokkan berdasarkan usia saat onset psoriasis, yakni, dibawah usia 30 tahun untuk tipe I dan diatas 30 tahun untuk tipe II, pada populasi Korea yang kami teliti (Kim dkk., 2000). Kami menganalisis frekuensi alel TAP dan HLA-DM untuk pasien psoriasis tipe I dan II (Tabel III). Frekuensi TAP2*B/B dan DMA*0102 meningkat signifikan pada pasien tipe I dibanding dengan kontrol, tetapi tidak ada perbedaan signifikan untuk kedua alel ini pada pasien tipe I dan tipe II, walaupun frekuensi DMA*0102 relatif meningkat pada pasien tipe I dibanding tipe II, walaupun ini tidak signifikan menurut statistik.

LD dan HF diantara alel TAP1, TAP2, DMA, dan DMB. Tabel IV menunjukkan halotipe dua-lokus dari TAP1, TAP22, DMA, dan DMB memiliki LD positif yang signifikan (p<0,05) dan frekuensi lebih dari 5% pada pasien psoriasis. Kami menemukan beberapa LD signifikan (positif dan negatif) diantara alel-alel ini, yang tampak berbeda tingkatannya pada pasien dibanding dengan kontrol, tetapi alel-alel yang berangkai ini hanya menunjukkan LD rendah jika dibandingkan dengan HF. Hasil-hasil ini menunjukkan kemungkinan bahwa daerah antara Tap dan HLA-DM bisa memiliki tingkat rekombinasi tinggi yang sebanding pada populasi kami, sebagaimana ditunjukkan pada populasi lain (van Endert dkk., 1992; Carrington dkk., 1993a).

Hubungan TAP1, TAP2, DMA, dan DMB dengan CW*0602. Sebelumnya kami melaporkan bahwa HLA-Cw*0602 sangat terkait dengan psoriasis pada populasi Korea (Kim dkk., 2000). Dalam penelitian ini, kami juga menemukan bahwa frekuensi Cw*0602 meningkat signifikan pada pasien-pasien psoriasis dibanding dengan kontrol (pasien psoriasis berbanding kontrol normal 75,0% berbanding 6,5%, RR = 43,0, p < 2 x 10-32). Untuk menentukan apakah hubungan yang diamati antara TAP1, TAP2, DMA, dan DMB dengan psoriasis terkait penyakit atau merupakan dampak dari LD dengan Cw*0602, kami menganalisis LD dan melakukan analisis stratifikasi antara alel-alel terkait dan Cw*0602 pada pasien dan kontrol. Tidak ada ketidakseimbangan positif dan negatif signifikan yang diamati antara alel-alel dan Cw*0602 baik pada pasien maupun pada kontrol (Tabel V). Hasil analisis stratifikasi ditunjukkan pada Tabel VI (Svejgaard dan Ryder, 1994). Cw*0602 dan alel-alel terkait dari TAP1, TAP2, DMA, dan DMB terkait signifikan dengan psoriasis pada uji hubungan individual. Stratifikasi Cw0602 menunjukkan bahwa TAP2*B/B meningkat signifikan pada kelompok yang negatif Cw*0602, dan TAP1*B dan DMB*0103/0103 berkurang signifikan pada kelompok yang positif Cw*0602. Cw*0602 secara signifikan meningkat pada pasien dibanding dengan kontrol, tanpa tergantung pada kepositifan atau kenegatifan untuk alel-alel terkait dari TAP1, TAP2, DMA, dan DMB. Ada perbedaan signifikan untuk hubungan antara alel-alel terkait dan Cw*0602 untuk pasien-pasien yang mengalami psoriasis pada sebuah penelitian tentang apakah hubungan antara Cw*0602 alel-alel terkait berbeda. Alel TAP2*B/B dan DMA*0102 secara signifikan meningkatkan nilai OR dari Cw*0602, tetapi alel TAP1*B, DMA*0101/0101, dan DMB*0103/0103 mengurangi Cw*0602 dalam uji hubungan yang dikombinasikan. Jika digabungkan dengan data LD dan analisis stratifikasi, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa alel TAP1, TAP2, DMA, dan DMB bisa terkait independen dengan Cw*0602 pada pasien-pasien psoriasis, walaupun Cw*0602 lebih kuat kaitannya dengan psoriasis dibanding alel-alel lain.

Analisis gabungan untuk DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103. Kami menyelidiki hubungan alel DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 pada psoriasis karena kedua alel ini menunjukkan hubungan signifikan dengan LD pada pasien (Tabel VII). DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 terkait negatif dengan psoriasis pada sebuah uji hubungan individual. DMA*0101/0101 hanya menunjukkan penurunan signifikan pada kelompok yang negatif DMB*0103/0103 tetapi DMB*0103/0103 secara signifikan berkurang baik pada kelompok yang positif DMA*0101/0101 maupun pada kelompok yang negatif DMA*0101/0101. Tidak ada perbedaan signifikan antara kedua hubungan dalam sebuah uji beda antara hubungan kedua alel. Hubungan signifikan antara kedua genotip ini telah dilaporkan, dan ada hubungan signifikan antara kedua genotip ini pada pasien dan kontrol. Hasil-hasil ini membuktikan bahwa DMA*10101/0101 dan DMB*0103/0103 bisa berinteraksi satu sama lain, sehingga menandakan faktor negatif tertentu yang lebih kuat. Kami melakukan analisis lebih lanjut tentang haplotipe DMA*0101/0101 – DMB*0103/0103 dan Cw*0602, yang semuanya menunjukkan penurunan signifikan pada pasien psoriasis. Haplotipe ini berkurang signifikan pada kelompok yang positif Cw*0602 tetapi tidak pada kelompok yang negatif Cw*0602. Apabila Cw*0602 distratifikasi untuk keberadaan atau tidak adanya haplotipe ini, dia secara signifikan meningkat pada kelompok yang positif haplotipe dan yang negatif haplotipe. Ada perbedaan signifikan hubungan kedua faktor ini. Haplotipe secara signifikan mengurangi nilai OR dari Cw*0602 dengan hubungan kombinasi. Tidak ada hubungan signifikan antara haplotipe tersebut dengan Cw*0602 baik pada pasien psoriasis maupun pada kontrol. Hasilnya dengan demikian menandakan bahwa beberapa faktor, yang dikontrol dengan sebuah gen yang terdapat antara DMA dan DMB, bisa terkait dengan perlindungan kuat terhadap psoriasis, tanpa tergantung pada hubungan Cw*0602.

PEMBAHASAN
   
Gen-gen TAP adalah polimorfis, dan karena keterlibatannya yang penting dalam presentasi antigen kelas I, kemungkinan merupakan gen kerentanan tambahan terhadap penyakit. Dampak fungsional dari polimorfisme TAP tidak diketahui. Molekul-molekul TAP diperlukan tidak hanya untuk transport peptida, akan tetapi, juga untuk perakitan dimer-dimer α2-mikroglobulin rantai berat kelas I dan tapasin protein terkait-TAP yang dirancang sebelumnya (Ortmann dkk., 1997). Interaksi ini bisa menjadi target untuk dipertimbangkan dalam mekanisme dimana polimorfisme TAP terlibat dalam patogenesis penyakit. Telah ada beberapa laporan mengenai analisis alel-alel TAP pada pasien-pasien yang mengalami psoriasis. Fakler dkk (1994) menganalisis polimorfisme gen TAP2 pada psoriasis, dan menunjukkan tidak ada hubungan penting antara alel ini dengan psoriasis. Saeki dkk. (1998) menunjukkan pengurangan alel TAP2*E pada sebuah populasi pasien psoriasis Jepang. Hohler dkk. (1996) melaporkan peningkatan alel TAP1*A pada pasien-pasien yang mengalami onset psoriasis dini. Kami menemukan bahwa frekuensi TAP2*B dan TAP2*B/B meningkat signifikan dan TAP1*B dan TAP2*A berkurang pada pasien psoriasis dibanding dengan kontrol (Tabel I). Kami melakukan analisis lebih lanjut tentang SNP TAP1 dan TAP2 dan menemukan perbedaan signifikan dalam hal frekuensi SNP TAP21 pada posisi 637 dan TAP2 pada posisi 665 antara pasien dan kontrol (Tabel I). Pada TAP1 di residu 637, frekuensi gen dari Asp-637 secara signifikan meningkat tetapi Gly-637 berkurang pada pasien dibanding dengan kontrol. Pada TAP2 di residu 665, Ala-665 meningkat signifikan tetapi Thr-665 berkurang pada pasien dibanding dengan kontrol. Juga ada LD signifikan antara TAP1*A dan TAP2*B (Tabel IV) dan antara Asp-637 TAP1 dan Ala-665 TAP2 (LD = 3,8, p < 0,0001) pada pasien dibanding dengan kontrol. Quadri dan Singal (1998) menunjukkan bahwa alel TAP1*A dan TAP1*C mungkin mendukung transport peptida yang efisien dengan C-temrinus dasar, sedangkan alel TAP1*B mungkin mentranslokasi peptida tanpa memperhitungkan perbedaan residu asam amino C-terminal. Ini karena sifat residu Asp yang asam, yang terdapat pada posisi 637 asam amino dari alel TAP1*A dan TAP1*C, berbeda dengan Gly pada alel TAP1*B (Powis dkk., 1993). Tempat kontrak utama dalam TAP1 bisa terletak dalam transmembran ekstrim dan domain-domain sitoplasmik, dekat dengan tempat pengikatan ATP (Nijenhuis dkk., 1996), yang merupakan daerah dimana TAP1 manusia menunjukkan polimorfisme (Powis dkk., 1992). Alel TAP1 (TAP1*A atau TAP1*C) yang mengandung residu Asp pada posisi 637, dekat dengan tempat pengikatan peptida, bisa mempengaruhi peptida – interaksi TAP1 dan transport akhirnya ke retikulum endoplasmik ER (Quadri dan Singal, 1998). Asahina dkk. melaporkan bahwa Asp pada residu 9 dan Ala pada residu 37, pada molekul-molekul HLA-C, sangat terkait pada pasien-pasien psoriasis Jepang (Asahina dkk., 1991; 1996). Residu-residu ini mungkin berkontribusi bagi pembentukan sebuah poket pengikat peptida pada molekul-molekul HLA-C, khususnya Cw*0602 (Kostyu dkk., 1997). Walaupun alel TAP2 telah terbukti tidak mempengaruhi transport peptida, sebuah produk splicing alternatif dari transkrip TAP manusia yang juga ikut diekspresikan, yang berbeda pada daerah C-terminal dari protein, menunjukkan selektivitas peptida yang berbeda (Yan dkk., 1999). Sebuah mutasi tunggal, yang dihasilkan oleh mutagenesis terarahkan-tempat pada TAP2 manusia, telah ditunjukkan cukup untuk mempengaruhi spesifitas transport peptida (Armandola dkk., 1996). Neisig dkk., (1998) telah menunjukkan beberapa molekul HLA-C lebih selektif pada pengikatan peptida dibanding molekul HLA-A dan HLA-B, yang menghasilkan hubungan lama dengan TAP, dan pembentukan kompleks peptida HLA-C intraseluler yang berkurang. Pengikatan HLA kelas I dan reseptor NK inhibitory menghasilkan sinyal-sinyal inhibitory dominan yang menetralisir setiap sinyal positif dalam sel-sel NK; sehingga kelas I melindungi sel-sel sehat dari lysis oleh NK. Jika ini tidak terjadi, sel-sel NK memicu sitotoksisitas. Telah diduga bahwa psoriasis bisa dipicu oleh aktivasi langsung sel-sel T NK dan/atau CD8 yang membawa reseptor untuk molekul MHC kelas I (Bos dan De Rie, 1999). Dengan demikian bisa dianggap bahwa interaksi molekul TAP spesifik dengan peptida bisa menyebabkan berubahnya aktivitas HLA-C spesifik, seperti ekspresi yang rendah pada permukaan sel, yang menghasilkan aktivasi sitotoksisitas sel NK terhadap sel-sel sendiri pada pasien-pasien psoriasis, dan alel-alel TAP terkait dalam penelitian ini bisa memegang peranan dalam terjadinya psoriasis.
   
Polimorfisme HLA-DM telah diteliti pada beberapa penyakit autoimun tetapi peranan polimorfisme HLA-DM pada penyakit autoimun belum dipahami. Pinet dkk., (1997) mengamati peningkatan fenotip DMB*0104 dan DMA*0103 pada arthritis rheumatoid. DMB*0101/0101 homozigot dilaporkan terkait positif dengan arthritis rheumatoid pada ras Kaukasoid (Perdigrer dkk., 19990), tetapi Yen dkk dan Takeuchi dkk menemukan tidak ada hubungan HLA-DM dengan arthritis rheumatoid pada populasi Taiwan dan Jepang)Takeuchi dkk., 1997; Yen dkk., 1997). West dan Reed (1999) melaporkan bahwa frekuensi DMA*0103 dan DMB*0102 meningkat pada pasien-pasien yang mengalami dermatomyositis remaja. Saeki dkk. (1999) melaporkan bahwa frekuensi DMA*0102 meningkat, dan frekuensi DMA*0101 menurun, pada pasien psoriasis Jepang, tetapi tidak ada hubungan signifikan antara alel DMB dan psoriasis. Untuk menentukan hubungan antara polimorfisme HLA-DM dan psoriasis pada populasi Korea, kami meneliti polimorfisme HLA-DM, dan menemukan frekuensi DMA*0102 meningkat signifikan dan DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 berkurang pada pasien psoriasis (Tabel II). Dalam analisis alel HLA-DM untuk pasien yang dibagi ke dalam tipe I dan II (Tabel III), alel-alel yang terkait dengan semua pasien psoriasis menunjukkan perbedaan signifikan antara pasien psoriasis tipe I dan kontrol. Walaupun tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara pasien tipe I dan tipe II, kemungkinan karena jumlah pasien yang kecil pada masing-masing sub-kelompok, namun DMA*0102 lebih meningkat dan DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 lebih berkurang pada pasien tipe I dibanding pasien tipe II. Kami juga menemukan bahwa hubungan alel-alel ini bisa tidak tergantung pada LD yang memiliki Cw*0602 (Tabel V). Kami melakukan analisis stratifikasi antara DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 (Tabel VII) untuk menyelidiki hubungan kedua alel dengan psoriasis. Perbandingan DMA*0101/0101 dan DMB*0103/0103 bisa memberikan hasil yang menandakan sebuah interaksi, walaupun beberapa nilai-p kritis tidak signifikan, yang kemungkinan disebabkan oleh jumlah yang kecil dalam tabel 2 x 2. Kami lebih lanjut menganalisis hubungan antara haplotipe  DMA*0101/0101 - DMB*0103/0103 dan Cw*0602, dan menemukan bahwa hubungan haplotipe bisa tidak tergantung pada Cw*0602. Dengan demikian data-data ini menunjukkan bahwa alel HLA-DM yang terkait bisa menjadi penanda genetika psoriasis yang tidak tergantung Cw*0602, khususnya pasien psoriasis tipe I, dan sebuah faktor yang dikontrol oleh gen tertentu, yang terdapat antara DMA dan DMB, bisa memberikan perlindungan kuat terhadap psoriasis pada populasi Korea, tanpa tergantung Cw*0602.
   
Sebagai kesimpulan, kami menemukan hubungan Tap dan alel HLA-DM dengan psoriasis pada populasi Korea, sehingga menunjukkan bahwa alel-alel ini bisa menjadi faktor genetik, atau penanda (marker) psoriasis. Akan tetapi, untuk mendukung hasil-hasil ini, penelitian tambahan akan diperlukan dengan menggunakan jumlah sampel dan sampel keluarga yang lebih besar, dan menyelidiki lokasi gen pengolah antigen, serta peranan fungsionalnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk