Obat-Obat Antiviral pada Host Imunkompeten

Bagian I. Pengobatan Hepatitis, Sitomegalobirus, dan Infeksi Herpes

Sejak ditemukannya amantadin pada tahun 1966, agen-agen lain yang dirancang untuk melawan berbagai infeksi virus telah diproduksi. Bagian I dari dua artikel ini berfokus pada agen-agen yang digunakan untuk menangani hepatitis, sitomegalovirus, dan infeksi-infeksi herpes. Pada pasien dengan hepatitis B kronis, inferferon-alfa-2b atau lamivudin merupakan pengobatan yang dipilih. Interferon pegylated alfa-2a atau -2b, bersama dengan ribavirin, merupakan pengobatan standar untuk pasien-pasien dengan hepatitis C kronis. Walaupun pengobatan infeksi-infeksi sitomegalovirus pada umumnya bersifat suportif, namun telah ada beberapa laporan tentang pasien-pasien sakit parah yang membaik setelah mendapatkan gansiklovir atau foscarnet. Agen-agen antiviral oral untuk infeksi virus herpes simpleks primer dan rekuren telah terbukti mengurangi durasi leis. Pengobatan infeksi herpes zoster dengan obat-obat antiviral mengurangi perjalanan infeksi dan meredakan gejala. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan antiviral bisa mencegah neuralgia pasca-herpetik yang lama, walaupun penggunaan ini masih kontroversial.

Infeksi-infeksi viral merupakan kondisi yang paling berat dalam setting perawatan primer, yang menyebabkan berbagai penyakit yang sulit untuk diobati. Pembuatan obat-obat antiviral dirasakan sulit karena kebanyakan obat yang membunuh virus juga merusak sel host. Akan tetapi, sejak ditemukannya obat antiviral pertama, amantadin (Symmetrel) pada tahun 1966. kemajuan telah dicapai di bidang ini. Bagian I dari dua partikel ini berfokus pada agen-agen antiviral yang digunakan untuk mengobati infeksi hepatitis, sitomegalovirus (CMV), dan infeksi herpes pada pasien-pasien yang tidak terganggu sistem kekebalannya. Isu-isu penting dalam penanganan infeksi viral pada pasien yang mengalami infeksi HIV dan pada pasien transplan sumsum tulang atau organ padat tidak direview disini.

Virus-Virus Hepatitis

Hepatitis B
   
Infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) mengenai 5 persen populasi di seluruh dunia dna bisa mengarah pada sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Infeksi HBV dianggap kronis ketika antigen permukaan terus ada selama lebih dari enam bulan. Tiga kriteria untuk mengobati HBV kronis mencakup kadar aminotransferase alanin (ALT) yang lebih besar dari dua kali normal dan tes positif untuk DNA HBV dan antigen hepatitis B e (HbeAg) (Tabel 1). Ketiga kriteria ini harus ada sebelum pasien dipertimbangkan untuk terapi anti-HBV. Pengobatan yang dipilih pada pasien-pasien ini adalah interferon alfa-2b (Intron A) atau lamivudin (Epivir-HBV). Baru-baru ini, adefonir dipivoxil (Hepsera0 disetujui untuk digunakan pada infeksi HBV kronis.
   
Interferon Alfa-2b. Respons terhadap interferon alfa-2b (yang didefinisikan sebagia kehilangan HbeAg dan DNA HBV) terjadi pada 30 sampai 40 persen pasien. Sayangnya, interferon  terkait dengan efek-efek samping signifikan, termasuk gejala-gejala mirip flu (seperti sakit kepala, demam, myalgia, kelelahan), trombositopenia, leukopenia, depresi, penurunan berat badan, ruam, batuk, hipotiroidisme atau hipertiroidisme, tinnitus, pembentukan autoantibodi, dan retinopati.
   
Lamivudin. Lamivudin adalah sebuah inhibitor transkriptase terbalik nukleosida yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan HBV. Tingkat respons terhadap lamivudin cukup mirip dengan respon yang diperoleh dengan interferon alfa-2b, dan lamivudin jauh lebih dapat ditolerir. Akan tetapi, resistensi obat merupakan kesulitan utama yang terkait dengan lamivudin. Resistensi terjadi setelah satu tahun pengobatan pada 15 hingga 30 persen pasien. Berbeda dengan interferon alfa-2b, lamivudin disetujui untuk digunakan pada pasien-pasien yang mengalami sirosis parah akibat infeksi HBV.
   
Adefovir Dipivoxil. Adefovir dipivoxil merupakan sebuah inhibitor transkriptase terbalik nukleotida dengan sebuah mekanisme aksi yang mirip dengan lamivudin. Pada penelitian-penelitian terdahulu, resistensi terhadap adefovir dipivoxil kelihatannya tidak umum. Adefovir dipivoxil juga bisa digunakan secara efektif pada pasien-pasien yang resisten terhadap lamivudin. Ada kemungkinan bahwa protokol-protokol pengobatan di masa mendatang untuk infeksi HBV akan menggunakan banyak resimen kombinasi, walaupun resimen seperti ini masih sedang dalam tahap penelitian.

HEPATITIS C
   
Virus hepatitis C (HVC) merupakan penyebab penyakit hati tahap-akhir yang paling sering di Amerika Serikat dan mengarah pada indikasi untuk transplant hati. Dengan demikian, seperti HBV kronis, penting agar dokter mempertimbangkan opsi-opsi pengobatan pada pasien yang terinfeksi HCV.
   
Terapi untuk infeksi HCV kronis diindikasikan pada pasien-pasien yang memiliki muatan viral RNA HCV dan kadar ALT yang meningkat persisten. Temuan sirosis, fibrosis, atau bahkan inflamasi sedang pada biopsi hati mendukung pilihan intervensi terapeutik, tetapi biopsi tidak dianjurkan sebelum melakukan terapi.
   
Pegylated Interferon Alfa dan Ribavirin. Resimen pengobatan standar untuk infeksi HCV kronis disebutkan pada Tabel I. Pegylated interferon alfa-2a (Pegasys) dan pegulated interferon alfa-2b (PEG-Intron) merupakan bentuk-bentuk termodifikasi dari interferon alfa dengan waktu-paruh yang jauh lebih panjang, yang memungkinkan obat-obat ini dikonsumsi sekali sepekan. Disamping itu, obat-obat ini secara signifikan lebih efektif terhadap HCV, baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan ribavirin (Rebetol), dibanding dengan alfa interferon yang tidak termodifikasi, dan memiliki profil-profil efek samping yang mirip dengan interferon alfa yang tidak termodifikasi.
   
Muatan viral HCV harus dinilai setelah 24 pekan terapi. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien yang terinfeksi dengan genotip HCV 2 atau 3 harus mendapatkan 24 pekan terapi, sedangkan pasien dengan genotip 1 atau 4 memiliki tingkat respons virologi yang lebih lama jika diobati selama 48 pekan. Pada pasien dengan infeksi genotip 1a atau 1b, pendeteksian viremia pada 24 pekan memprediksikan presistensi viral meskipun dengan terapi. Sehingga, direkomendasikan agar pasien dengan viremia pada 24 pekan menghentikan terapi. Karena viremia pada 12 pekan sekarang ini tampak memprediksikan infeksi HCV persisten, beberapa ahli merekomendasikan penghentian terapi pada 12 pekan jika viremia HCV dideteksi. Pada pasien dengan genotip 1a atau 1b (dan kemungkinan genotip 4 juga) dan muatan viral HCV yang tidak terdeteksi pada 24 pekan, pemberian terapi secara terus menerus selama 48 pekan penuh diindikasikan.
   
Pengobatan infeksi HCV yang baru dibentuk dengan interferon alfa-2b tidak termodifikasi selama 24 pekan baru-baru ini ditemukan menghilangkan virus pada kebanyakan pasien yang diteliti. Sayangnya, beberapa pasien yang mengalami infeksi HCV akut, walaupun terkadang ditemukan selama screening. Data sebanding telah dikumpulkan untuk respons infeksi HCV akut terhadap pegylated interferon, tetapi cukup beralasan untuk mengharapkan manfaat yang serupa.

HEPATITIS D
   
Virus hepatitis D hanya mengenai pasien yang sebelumnya terinfeksi dengan HBV. Pasien yang terinfeksi ganda lebih besar kemungkinannya mengalami sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Pengobatan untuk hepatitis B dan ko-infeksi hepatitis D mirip dengan pengobatan untuk infeksi HBV kronis, walaupun beberapa protokol menggunakan dosis interferon yang lebih tinggi.

Sitomegalovirus
   
Inveksi CMV pada umumnya menyebabkan penyakit akut asimptimatik atau simptomatik ringan pada orang-orang dewasa yang imunokompeten. Sekitar 10 persen pasien mengalami sindrom mirip mononukleosida yang sembuh sendiri. Pengobatan mononukleosida CMV pada umumnya bersifat suportif. Penyakit CMV parah pada pasien-pasien yang imunokompeten cukup jarang dan telah terkait dengan hampir 50 persen angka kematian.
   
Gansiklovir dan Foscarnet. Belum ada rekomendasi baku untuk mengobati infeksi CMV parah pada pasien-pasien yang imunokompeten. Akan tetapi, laporan kasus dari pasien-pasien yang sakit parah yang mendapatkan baik gansiklovir intravena (Cytovene) atau foscarnet (Foscavir) menunjukkan hasil yang membaik dibanding dengan pasien-pasien yang tidak diobati. Pasien-pasien diobati dengan berbagai dosis selama berbagai durasi.
   
Efek toksik utama dari gansiklovir adalah myelosupresi. Gansiklovir juga bisa menyebabkan demam, ruam, dan fungsi hati abnormal. Foscarnet terkait dengan nausea, muntah-muntah, anemia, abnormallitas elektrolit, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan ginjal. Gansiklovir dan foscarnet harus digunakan dengan hati-hati pada pasien-pasien yang mengalami gangguan ginjal bersamaan.

Virus Herpes
   
Virus herpes adalah virus DNA yang bisa tetap pasif dalam neuron-neuron sensoris setelah infeksi awal, kemudian selanjutnya mengalami reaktivasi dan menyebabkan penyakit. Virus pada famili ini mencakup virus herpes simpleks (HSV) dan virus zoster varicella (VZV). Manifestasi dominan dari virus-virus ini adalah penyakit kulit dan saraf. Agen-agen antiviral yang digunakan dalam pengobatan virus herpes disebutkan pada tabel 2.

HERPES GENITAL
   
Episode awal dan episode rekuren dari HSV genital bisa diobati, dan episode rekuren (lebih dari enam tahun) bisa ditekan dengan pengobatan antiviral. Pengobatan supresif jauh lebih efektif dibanding pengobatan episodik.
   
Asiklovir. Asiklovir (Zovirax) merupakan sebuah analog guanosin yang menghambat DNA polimerase. Obat ini memiliki bioavailabilitas buruk dan memiliki waktu-paruh singkat. Pengobatan dengan asiklovir orla harian mengurangi episode dari 11,4 menjadi 1,8 per tahun. Asiklovir topikal tidak merupakan pengobatan yang efektif untuk HSV genital episodik.
   
Valasiklovir. Valasiklovir (Valtrex) merupakan sebuah pro-drug yang bermetabolisasi menjadi asiklovir. Obat ini memiliki bioavailabilitas yang lebih baik dan dosis yang lebih kurang dibanding asiklovir. Setelah satu tahun pengobatan harian dengan valasiklovir, 40 sampai 50 persen pasien bebas dari episode infeksi, dan tingkat kejadian rata-rata adalah 0,8 episode per tahun. Jika dibandingkan dengan plasebo, valasiklovir mengurangi lama episode dan waktu penyembuhan rata-rata selama dua hari. Ini sama efektifnya seperti asiklovir untuk pengobatan awal dan pengobatan episodik dan untuk menekan HSV genital.
   
Famsiklovir dan Pensiklovir. Famsiklovir (Famvir) merupakan sebuah pro-drug dari pensiklovir (Denavir), sebuah analog purin. Obat ini memiliki bioavailabilitas yang tinggi dan dengan cepat bermetabolisasi menjadi pensiklovir. Pada pengobatan episodik HSV genital, famsiklovir mengurangi waktu penyembuhan. Sebuah penelitian tentang penggunaannya pada penekanan infeksi HSV genital menunjukkan rata-rata 1 sampai 1,8 episode per tahun pada pasien-pasien yang diobati berbanding 5,1 episode per tahun pada pasien-pasien yang mendapatkan plasebo. Pensiklovir topikal mengurangi waktu untuk pembentukan kerak pada haru pertama.
   
Asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir memiliki efek-efek samping serupa, yang mencakup nausea, muntah-muntah, sakit kepala, dan diare. Ketika digunakan dalam dosis tinggi sebagai sebuah obat intravena, asiklovir bisa membentuk mengkristalisasi tubula-tubula ginjal, yang menyebabkan gagal ginjal akut.

HERPES OROLABIAL
   
Infeksi HSV orolabial awal (gingivostomatitis) sering mempengaruhi anak-anak kecil, dan pengobatan dengan obat antiviral oral bisa membantu pada populasi tertentu. Masih sedikit penelitian yang telah meneliti penggunaan obat-obat antiviral oral untuk infeksi HSV orolabial rekuren atau episodik.
   
Asiklovir. Pengobatan dengan asiklovir oral secara signifikan mengurangi perjalanan infeksi HSV orolabial awal pada anak-anak (dengan sekitar enam hari) dan mengurangi gejala dan durasi peluruhan viral.
   
Famsiklovir. Ketika dikonsumsi dalam 48 jam keterpaparan terhadap stimulus yang menyebabkan presipitasi, famsiklovir oral mengurangi waktu penyembuhan sebesar 2 hari pada herpes orolabial imbas radiasi ultraviolet.
   
Valasiklovir. Valasiklovir baru-baru ini disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan infeksi HSV orolabial pada orang dewasa dan anak-anak usia 12 tahun atau lebih.
   
Pengobatan topikal. Pensiklovir topikal dan docosanol (Abreva) mengurangi waktu penyembuhan hingga sampai 0,7 hari.

VIRUS ZOSTER VARICELLA
   
Penelitian-penelitian telah mengaitkan pengobatan menggunakan agen-agen antiviral dengan penurunan durasi neuralgia post-herpetik, walaupun penggunaan obat untuk tujuan ini masih kontroversial.
   
Asiklovir. Pada sebuah penelitian acak tersamarkan ganda, asiklovir mempercepat penyembuhan, mengurangi frekuensi penularan ruam, dan mengurangi nyeri akut.
   
Valasiklovir. Pada pasien yang berusia lebih dair 50 tahun, valasiklovir mengurangi durasi nyeri akut dan neuralgia post-herpetik dibanding dengan asiklovir.
   
Famsiklovir. Famsiklovir efektif dalam mengurangi waktu penyembuhan lesi VZV dan mengurangi durasi neuralgia post-herpetik. Tidak ada perbedaan efektifitas antara famsiklovir dan valasiklovir dalam pengobatan VZV.
Obat-Obat Antiviral pada Host Imunkompeten:

Bagian I. Pengobatan Hepatitis, Sitomegalobirus, dan Infeksi Herpes

Sejak ditemukannya amantadin pada tahun 1966, agen-agen lain yang dirancang untuk melawan berbagai infeksi virus telah diproduksi. Bagian I dari dua artikel ini berfokus pada agen-agen yang digunakan untuk menangani hepatitis, sitomegalovirus, dan infeksi-infeksi herpes. Pada pasien dengan hepatitis B kronis, inferferon-alfa-2b atau lamivudin merupakan pengobatan yang dipilih. Interferon pegylated alfa-2a atau -2b, bersama dengan ribavirin, merupakan pengobatan standar untuk pasien-pasien dengan hepatitis C kronis. Walaupun pengobatan infeksi-infeksi sitomegalovirus pada umumnya bersifat suportif, namun telah ada beberapa laporan tentang pasien-pasien sakit parah yang membaik setelah mendapatkan gansiklovir atau foscarnet. Agen-agen antiviral oral untuk infeksi virus herpes simpleks primer dan rekuren telah terbukti mengurangi durasi leis. Pengobatan infeksi herpes zoster dengan obat-obat antiviral mengurangi perjalanan infeksi dan meredakan gejala. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan antiviral bisa mencegah neuralgia pasca-herpetik yang lama, walaupun penggunaan ini masih kontroversial.

Infeksi-infeksi viral merupakan kondisi yang paling berat dalam setting perawatan primer, yang menyebabkan berbagai penyakit yang sulit untuk diobati. Pembuatan obat-obat antiviral dirasakan sulit karena kebanyakan obat yang membunuh virus juga merusak sel host. Akan tetapi, sejak ditemukannya obat antiviral pertama, amantadin (Symmetrel) pada tahun 1966. kemajuan telah dicapai di bidang ini. Bagian I dari dua partikel ini berfokus pada agen-agen antiviral yang digunakan untuk mengobati infeksi hepatitis, sitomegalovirus (CMV), dan infeksi herpes pada pasien-pasien yang tidak terganggu sistem kekebalannya. Isu-isu penting dalam penanganan infeksi viral pada pasien yang mengalami infeksi HIV dan pada pasien transplan sumsum tulang atau organ padat tidak direview disini.

Virus-Virus Hepatitis

Hepatitis B
   
Infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) mengenai 5 persen populasi di seluruh dunia dna bisa mengarah pada sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Infeksi HBV dianggap kronis ketika antigen permukaan terus ada selama lebih dari enam bulan. Tiga kriteria untuk mengobati HBV kronis mencakup kadar aminotransferase alanin (ALT) yang lebih besar dari dua kali normal dan tes positif untuk DNA HBV dan antigen hepatitis B e (HbeAg) (Tabel 1). Ketiga kriteria ini harus ada sebelum pasien dipertimbangkan untuk terapi anti-HBV. Pengobatan yang dipilih pada pasien-pasien ini adalah interferon alfa-2b (Intron A) atau lamivudin (Epivir-HBV). Baru-baru ini, adefonir dipivoxil (Hepsera0 disetujui untuk digunakan pada infeksi HBV kronis.
   
Interferon Alfa-2b. Respons terhadap interferon alfa-2b (yang didefinisikan sebagia kehilangan HbeAg dan DNA HBV) terjadi pada 30 sampai 40 persen pasien. Sayangnya, interferon  terkait dengan efek-efek samping signifikan, termasuk gejala-gejala mirip flu (seperti sakit kepala, demam, myalgia, kelelahan), trombositopenia, leukopenia, depresi, penurunan berat badan, ruam, batuk, hipotiroidisme atau hipertiroidisme, tinnitus, pembentukan autoantibodi, dan retinopati.
   
Lamivudin. Lamivudin adalah sebuah inhibitor transkriptase terbalik nukleosida yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan HBV. Tingkat respons terhadap lamivudin cukup mirip dengan respon yang diperoleh dengan interferon alfa-2b, dan lamivudin jauh lebih dapat ditolerir. Akan tetapi, resistensi obat merupakan kesulitan utama yang terkait dengan lamivudin. Resistensi terjadi setelah satu tahun pengobatan pada 15 hingga 30 persen pasien. Berbeda dengan interferon alfa-2b, lamivudin disetujui untuk digunakan pada pasien-pasien yang mengalami sirosis parah akibat infeksi HBV.
   
Adefovir Dipivoxil. Adefovir dipivoxil merupakan sebuah inhibitor transkriptase terbalik nukleotida dengan sebuah mekanisme aksi yang mirip dengan lamivudin. Pada penelitian-penelitian terdahulu, resistensi terhadap adefovir dipivoxil kelihatannya tidak umum. Adefovir dipivoxil juga bisa digunakan secara efektif pada pasien-pasien yang resisten terhadap lamivudin. Ada kemungkinan bahwa protokol-protokol pengobatan di masa mendatang untuk infeksi HBV akan menggunakan banyak resimen kombinasi, walaupun resimen seperti ini masih sedang dalam tahap penelitian.

HEPATITIS C
   
Virus hepatitis C (HVC) merupakan penyebab penyakit hati tahap-akhir yang paling sering di Amerika Serikat dan mengarah pada indikasi untuk transplant hati. Dengan demikian, seperti HBV kronis, penting agar dokter mempertimbangkan opsi-opsi pengobatan pada pasien yang terinfeksi HCV.
   
Terapi untuk infeksi HCV kronis diindikasikan pada pasien-pasien yang memiliki muatan viral RNA HCV dan kadar ALT yang meningkat persisten. Temuan sirosis, fibrosis, atau bahkan inflamasi sedang pada biopsi hati mendukung pilihan intervensi terapeutik, tetapi biopsi tidak dianjurkan sebelum melakukan terapi.
   
Pegylated Interferon Alfa dan Ribavirin. Resimen pengobatan standar untuk infeksi HCV kronis disebutkan pada Tabel I. Pegylated interferon alfa-2a (Pegasys) dan pegulated interferon alfa-2b (PEG-Intron) merupakan bentuk-bentuk termodifikasi dari interferon alfa dengan waktu-paruh yang jauh lebih panjang, yang memungkinkan obat-obat ini dikonsumsi sekali sepekan. Disamping itu, obat-obat ini secara signifikan lebih efektif terhadap HCV, baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan ribavirin (Rebetol), dibanding dengan alfa interferon yang tidak termodifikasi, dan memiliki profil-profil efek samping yang mirip dengan interferon alfa yang tidak termodifikasi.
   
Muatan viral HCV harus dinilai setelah 24 pekan terapi. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien yang terinfeksi dengan genotip HCV 2 atau 3 harus mendapatkan 24 pekan terapi, sedangkan pasien dengan genotip 1 atau 4 memiliki tingkat respons virologi yang lebih lama jika diobati selama 48 pekan. Pada pasien dengan infeksi genotip 1a atau 1b, pendeteksian viremia pada 24 pekan memprediksikan presistensi viral meskipun dengan terapi. Sehingga, direkomendasikan agar pasien dengan viremia pada 24 pekan menghentikan terapi. Karena viremia pada 12 pekan sekarang ini tampak memprediksikan infeksi HCV persisten, beberapa ahli merekomendasikan penghentian terapi pada 12 pekan jika viremia HCV dideteksi. Pada pasien dengan genotip 1a atau 1b (dan kemungkinan genotip 4 juga) dan muatan viral HCV yang tidak terdeteksi pada 24 pekan, pemberian terapi secara terus menerus selama 48 pekan penuh diindikasikan.
   
Pengobatan infeksi HCV yang baru dibentuk dengan interferon alfa-2b tidak termodifikasi selama 24 pekan baru-baru ini ditemukan menghilangkan virus pada kebanyakan pasien yang diteliti. Sayangnya, beberapa pasien yang mengalami infeksi HCV akut, walaupun terkadang ditemukan selama screening. Data sebanding telah dikumpulkan untuk respons infeksi HCV akut terhadap pegylated interferon, tetapi cukup beralasan untuk mengharapkan manfaat yang serupa.

HEPATITIS D
   
Virus hepatitis D hanya mengenai pasien yang sebelumnya terinfeksi dengan HBV. Pasien yang terinfeksi ganda lebih besar kemungkinannya mengalami sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Pengobatan untuk hepatitis B dan ko-infeksi hepatitis D mirip dengan pengobatan untuk infeksi HBV kronis, walaupun beberapa protokol menggunakan dosis interferon yang lebih tinggi.

Sitomegalovirus
   
Inveksi CMV pada umumnya menyebabkan penyakit akut asimptimatik atau simptomatik ringan pada orang-orang dewasa yang imunokompeten. Sekitar 10 persen pasien mengalami sindrom mirip mononukleosida yang sembuh sendiri. Pengobatan mononukleosida CMV pada umumnya bersifat suportif. Penyakit CMV parah pada pasien-pasien yang imunokompeten cukup jarang dan telah terkait dengan hampir 50 persen angka kematian.
   
Gansiklovir dan Foscarnet. Belum ada rekomendasi baku untuk mengobati infeksi CMV parah pada pasien-pasien yang imunokompeten. Akan tetapi, laporan kasus dari pasien-pasien yang sakit parah yang mendapatkan baik gansiklovir intravena (Cytovene) atau foscarnet (Foscavir) menunjukkan hasil yang membaik dibanding dengan pasien-pasien yang tidak diobati. Pasien-pasien diobati dengan berbagai dosis selama berbagai durasi.
   
Efek toksik utama dari gansiklovir adalah myelosupresi. Gansiklovir juga bisa menyebabkan demam, ruam, dan fungsi hati abnormal. Foscarnet terkait dengan nausea, muntah-muntah, anemia, abnormallitas elektrolit, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan ginjal. Gansiklovir dan foscarnet harus digunakan dengan hati-hati pada pasien-pasien yang mengalami gangguan ginjal bersamaan.

Virus Herpes
   
Virus herpes adalah virus DNA yang bisa tetap pasif dalam neuron-neuron sensoris setelah infeksi awal, kemudian selanjutnya mengalami reaktivasi dan menyebabkan penyakit. Virus pada famili ini mencakup virus herpes simpleks (HSV) dan virus zoster varicella (VZV). Manifestasi dominan dari virus-virus ini adalah penyakit kulit dan saraf. Agen-agen antiviral yang digunakan dalam pengobatan virus herpes disebutkan pada tabel 2.

HERPES GENITAL
   
Episode awal dan episode rekuren dari HSV genital bisa diobati, dan episode rekuren (lebih dari enam tahun) bisa ditekan dengan pengobatan antiviral. Pengobatan supresif jauh lebih efektif dibanding pengobatan episodik.
   
Asiklovir. Asiklovir (Zovirax) merupakan sebuah analog guanosin yang menghambat DNA polimerase. Obat ini memiliki bioavailabilitas buruk dan memiliki waktu-paruh singkat. Pengobatan dengan asiklovir orla harian mengurangi episode dari 11,4 menjadi 1,8 per tahun. Asiklovir topikal tidak merupakan pengobatan yang efektif untuk HSV genital episodik.
   
Valasiklovir. Valasiklovir (Valtrex) merupakan sebuah pro-drug yang bermetabolisasi menjadi asiklovir. Obat ini memiliki bioavailabilitas yang lebih baik dan dosis yang lebih kurang dibanding asiklovir. Setelah satu tahun pengobatan harian dengan valasiklovir, 40 sampai 50 persen pasien bebas dari episode infeksi, dan tingkat kejadian rata-rata adalah 0,8 episode per tahun. Jika dibandingkan dengan plasebo, valasiklovir mengurangi lama episode dan waktu penyembuhan rata-rata selama dua hari. Ini sama efektifnya seperti asiklovir untuk pengobatan awal dan pengobatan episodik dan untuk menekan HSV genital.
   
Famsiklovir dan Pensiklovir. Famsiklovir (Famvir) merupakan sebuah pro-drug dari pensiklovir (Denavir), sebuah analog purin. Obat ini memiliki bioavailabilitas yang tinggi dan dengan cepat bermetabolisasi menjadi pensiklovir. Pada pengobatan episodik HSV genital, famsiklovir mengurangi waktu penyembuhan. Sebuah penelitian tentang penggunaannya pada penekanan infeksi HSV genital menunjukkan rata-rata 1 sampai 1,8 episode per tahun pada pasien-pasien yang diobati berbanding 5,1 episode per tahun pada pasien-pasien yang mendapatkan plasebo. Pensiklovir topikal mengurangi waktu untuk pembentukan kerak pada haru pertama.
   
Asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir memiliki efek-efek samping serupa, yang mencakup nausea, muntah-muntah, sakit kepala, dan diare. Ketika digunakan dalam dosis tinggi sebagai sebuah obat intravena, asiklovir bisa membentuk mengkristalisasi tubula-tubula ginjal, yang menyebabkan gagal ginjal akut.

HERPES OROLABIAL
   
Infeksi HSV orolabial awal (gingivostomatitis) sering mempengaruhi anak-anak kecil, dan pengobatan dengan obat antiviral oral bisa membantu pada populasi tertentu. Masih sedikit penelitian yang telah meneliti penggunaan obat-obat antiviral oral untuk infeksi HSV orolabial rekuren atau episodik.
   
Asiklovir. Pengobatan dengan asiklovir oral secara signifikan mengurangi perjalanan infeksi HSV orolabial awal pada anak-anak (dengan sekitar enam hari) dan mengurangi gejala dan durasi peluruhan viral.
   
Famsiklovir. Ketika dikonsumsi dalam 48 jam keterpaparan terhadap stimulus yang menyebabkan presipitasi, famsiklovir oral mengurangi waktu penyembuhan sebesar 2 hari pada herpes orolabial imbas radiasi ultraviolet.
   
Valasiklovir. Valasiklovir baru-baru ini disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan infeksi HSV orolabial pada orang dewasa dan anak-anak usia 12 tahun atau lebih.
   
Pengobatan topikal. Pensiklovir topikal dan docosanol (Abreva) mengurangi waktu penyembuhan hingga sampai 0,7 hari.

VIRUS ZOSTER VARICELLA
   
Penelitian-penelitian telah mengaitkan pengobatan menggunakan agen-agen antiviral dengan penurunan durasi neuralgia post-herpetik, walaupun penggunaan obat untuk tujuan ini masih kontroversial.
   
Asiklovir. Pada sebuah penelitian acak tersamarkan ganda, asiklovir mempercepat penyembuhan, mengurangi frekuensi penularan ruam, dan mengurangi nyeri akut.
   
Valasiklovir. Pada pasien yang berusia lebih dair 50 tahun, valasiklovir mengurangi durasi nyeri akut dan neuralgia post-herpetik dibanding dengan asiklovir.
   
Famsiklovir. Famsiklovir efektif dalam mengurangi waktu penyembuhan lesi VZV dan mengurangi durasi neuralgia post-herpetik. Tidak ada perbedaan efektifitas antara famsiklovir dan valasiklovir dalam pengobatan VZV.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital