Polifenol Teh Hijau Mencegah Kerusakan Oksidatif Imbas Sinar Ultraviolet dan Ekspresi Metaloproteinase Matriks pada Kulit Mencit

Abstrak

Keterpaparan kulit manusia secara terus menerus terhadap sinar ultraviolet (UV) matahari menghasilkan fotoaging (penuaan kulit akibat sinar matahari). Kerusakan oksidatif imbas UV dan induksi metaloproteinase matriks (MMP) telah diketahui terlibat dalam proses ini. Karena polifenol dari teh hijau (GTP) mencegah efek-efek kulit berbahaya lainnya dari radiasi UV maka kami berhipotesis bahwa kerusakan oksidatif imbas UV dan induksi MMP bisa dicegah secara in vivo pada kulit mencit dengan pemberian GTP (polifenol teh hijau) lewat mulut. GTP diberikan dalam air minum (0,2%, berat/vol) kepada mencit tidak berambut SKH-1, yang kemudian dipaparkan terhadap berbagai dosis sinar UVB (90 mJ per cm2, selama 2 bulan selang-seling setiap hari) dengan mengikuti protokol hewan fotoaging secara in vivo. Pengobatan dengan GTP menghasilkan inhibisi oksidasi protein imbas UVB secara in vivo pada kulit mencit, sebuah penanda fotoaging, ketika dianalisis secara biokimia, dengan metode imunoblotting, dan imunohistokimia. Pengobatan dengan GTP juga menghambat oksidasi protein imbas UVB secara in vitro pada sel fibroblas kulit manusia HS68, yang mendukung pengamatan in vivo. Lebih daripada itu, pemberian GTP lewat mulut juga menghasilkan penghambatan ekspresi MMP pendegaradasi matriks imbas UVB, seperti MMP-2 (67%), MMP-3 (63%), MMP-7 (62%), dan MMP-9 (60%) pada kulit mencit yang tidak berambut. Data-data ini menunjukkan bahwa GTP sebagai sebuah suplemen makanan bisa bermanfaat untuk memperkecil penuaan kulit dini akibat sinar UVB matahari.

Kata kunci: polifenol teh hijau, metaloproteinase matriks, fotoaging, oksidasi protein, sinar ultraviolet.

Keterpaparan kulit manusia secara terus menerus terhadap radiasi ultraviolet (UV) matahari merupakan sebuah faktor lingkungan utama yang memiliki efek berbahaya terhadap struktur dan fungsi kulit. Dengan tergantung pada jumlah dan bentuk radiasi UV, serta pada tipe kulit orang yang terpapar, radiasi UV menyebabkan lecur surya (sunburn), penekanan sistem kekebalan (imunosupresi), tekanan oksidatif, kanker kulit melanoma dan non-melanoma serta penuaan dini pada kulit yang disebut sebagai fotoaging (Kligman, 1986; Brenneisen dkk., 2002). Pada manusia, fotoaging ditandai dengan kulit kasar yang mengering dan mengeripik, keriput halus dan kasar,  elastisitas buruk, lentigo surya, warna kulit menjadi pucat dan penyembuhan luka yang terganggu (Kligman, 1986). Semakin banyak bukti yang menunjukkan pembentuk spesies oksigen reaktif (ROS) pada kulit selama keterpaparan UV (Katiyar dan Mukhtar, 2001a; Katiyar dan Elmets, 2001b). Pembentukan ROS yang meningkat bisa melingkupi mekanisme-mekanisme pertahanan antioksidan, menghasilkan tekanan oksidatif dan kerusakan protein akibat cahaya yang bersifat oksidatif dan makromolekul-makromolekul lain dalam kulit. Walaupun mekanisme pertahanan seluler dan mitokondria yang mencakup enzim-enzim antioksidan telah ada untuk menghentikan ROS, namun sistem-sistem pertahanan antioksidan ini tidak sepenuhnya efisien, dan dengan demikian selama masa hidup sel-sel mengakumulasi kerusakan oksidatif molekuler pada lipid, protein, DNA, yang bisa mengarah pada peningkatan terkait usia dan akhirnya mengarah pada fotoaging kulit (Fuchs dkk., 1989; Pence dan naylor, 1990; Young, 1990; Shindo dkk., 1994). Fotoaging dianggap terjadi karena kerusakan terus menerus pada matriks ekstraseluler berkolagen yang membentuk jaringan-jaringan konektif. Baru-baru ini telah ditemukan pada kulit hewan bahwa kerusakan akut dan kronis oleh cahaya diperantarai oleh ekspresi enzim antioksidan yang berkurang dan modifikasi protein oksidatif yang meningkat (Sander dkk., 2002) dan akumulasi peroksidasi lipid dan produk-produk glikation (Jeanmaire dkk., 2001; Tanaka dkk., 2001, Fisher dkk., 2002). Penelitian-penelitian sebelumnya pada mencit tidak berambut dengan menggunakan pengkelat zat besi dan antioksidan menunjukkan bahwa ROS imbas UV terlibat dalam fotoaging (Bissett dkk., 1990; Bissett dan McBride, 1996). Telah ditunjukkan bahwa keterpaparan kulit manusia atau mencit terhadap radiasi UV meningkatkan sintesis enzim-enzim pendegradasi matriks yakni metaloproteinase matriks (MMP), seperti MMP-1, -2, -3, -7, -8, -9, dan -12 (Fisher dkk., 1998, 2001; Fisher dan Voorhees, 1998; Saarialho-Kere dkk., 1999; Inomata dkk., 2003), yang telah terlibat dalam fotoaging.
   
Belakangan ini, polifenol dari teh hijau (GTP) telah menarik banyak perhatian karena efeknya yang dapat melindungi kulit dari sinar matahari (Katiyar dkk., 2000; Katiyar dan Elmets, 2001b). Teh hijau (Camelia sinensis) mengandung beberapa polifenol, yang mendapatkan banyak perhatian peneliti karena aktivitas antioksidannya yang potensial (Katiyar dan Elmets, 2001b). GTP (polifenol teh hijau) telah terbukti memiliki efek preventif yang sangat baik terhadap fototoksisitas pada model hewan serta pada manusia (Katiyar dan elmets, 2001b, Katiyar dkk, 2001c). Pemberian GTP lewat oral kepada mencit tidak berambut SKH-1 sebagai satu-satunya sumber minuman diikuti dengan radiasi UV menghasilkan proteksi yang signifikan terhadap edema kutaneous imbas UV dan penghambatan aktivitas siklooksigenase dan metabolit-metabolitnya (Agarwal dkk., 1993). Pengaplikasian GTP secara topikal ke kulit mencit sebelum keterpaparan terhadap sunar UV mengurangi respons hiperplastis imbas UV, edema, aktivitas myeloperoksida, dan penekanan hipersensitifitas kontak (Katiyar dkk., 1995). Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa pengobatan dengan (-)-epigallokatechin-3-gallate (EGCG), sebuah konstituen polifenol dari teh hijau, bahkan tanpa keterpaparan UV secara langsung dapat menghambat ekspresi MMP seperti MMP-9, MMP-2, MT1-MMP dan neutrofil elastase pada konsentrasi yang bisa dicapai secara farmakologi (Beneli dkk., 2002; Dell'Aica dkk., 2002). Dengan demikian, kami berhipotesisi bahwa pemberian GTP lewat mulut pada air minum akan mencegah penanda fotoaging kutaneous seperti penghambatan kerusakan oksidatif imbas UVB pada protein dan ekspresi MMP. Untuk menguji hipotesis ini kami melakukan ekspreimen pada sebuah model fotoaging mencit tidak berambut (Kligman, 1996) dimana mencit-mencit dipaparkan terhadap berbagai keterpaparan UVB untuk menentukan apakah GTP memiliki efek protektif terhadap fotoaging. Efek-efek fotoprotektif dari GTP ditentukan berdasarkan kerusakan oksidatif imbas UV pada protein, dan ekspresi MMP, seperti MMP-2 (gelatinase A), MMP-7, MMP-9 (gelatinase B) yang mendegradasi fragmen-fargmen kolagen tipe I dan III yang dihasilkan oleh kolagenase, dan MMP-3 (stromelysin) yang mendegradasi kolagen tipe IV dari membran dasar (Rittie dan Fisher, 2002).

Hasil

Pemberian GTP oral dan konsumsinya. Selama masa penelitian masing-masing mencit (sekitar 25 g beratnya) mengkonsumsi 5-6 mL air minum per hari dengan atau tanpa GTP. Sehingga, rata-rata masing-masing mencit mengkonsumsi 10-12 mg GTP per hari. Konsumsi air minum dengan atau tanpa GTP dipantau sepanjang protokol eksperimen, dan tidak ada perbedaan berarti yang ditemukan dalam hal konsumsinya. Untuk menghindari perubahan-perubahan yang ditimbulkan sinar matahari dalam polifenol, botol-botol yang mengandung air minum ditutupi dengan aluminium foil. Pada kondisi-kondisi ini dibawah suhu kamar (24o ± 2oC), polifenol teh hijau tidak secara signifikan teroksidasi atau terdegradasi. Masih sangat sedikit penelitian yang dilakukan tentang bioavailabilitas polifenol teh hijau pada kulit secara in vivo. Pemberian EGCG akut lewat tabung gastrik telah dilakukan pada mencit, yang menunjukkan keberadaan metabolit-metabolit EGCG pada semua organ target yang mencakup kulit mencit (Suganuma dkk., 1998). Akan tetapi, pengamatan ini berbeda dari penelitian ini dimana GTP diberikan kepada mencit dalam air minum.

Perlakuan sel fibroblast HS68 secara in vitro dengan GTP dapat menghambat oksidasi protein imbas UVB dan H2O2. Karena kebanyakan kelainan yang terdapat pada kulit fotoaging disebabkan oleh kerusakan oksidatif protein dalam dermis dan dihasilkan oleh fibroblast, maka penelitian-penelitian terdahulu dilakukan untuk menentukan apakah GTP melindungi terhadap oksidasi protein imbas UV pada fibroblast kulit. Untuk tujuan ini, kami melakukan sebuah sistem in vitro dimana sel fibroblast kulit manusia HS68 dipaparkan terhadap radiasi UVB (30 mJ per cm2). Sel-sel HS68 yang diobati dengan UVB secara signifikan menginduksi oksidasi protein (Gbr. 1). Penambahan GTP ke sel-sel HS68 secara dependen menghambat oksidasi protein imbas UVB (Panel A). Sebagai sebuah kontrol positif untuk eksperimen-eksperimen ini, sel-sel HS68 diperlakukan dengan H2O2 bukan dengan UVB. Seperti ditunjukkan pada Gbr 1 (Panel B), perlakuan dengan GTP sangat baik dalam menghambat oksidasi protein yang ditimbulkan H2O2 (25 µm). Karena GTP memegang sebuah peranan sebagai antioksidan, kami menggunakan sebuah antioksidan endogen, katalase, untuk menentukan efeknya terhadap oksidasi protein imbas H2O2. Perlakuan dengan katalase menghasilkan hasil yang sama seperti GTP dalam hal penghambatan oksidasi protein imbas H2O2 pada sel-sel HS68 (Panel C).

Pemberian GTP oral menghambat perubahan histopatologi imbas UVB pada kulit. Fotoaging kulit disebabkan oleh keterpaparan kronis terhadap UV, yang menghasilkan atropi epidermis dan kerusakan bagi protein dermal. Belum ada penelitian yang telah meneliti efek protektif dari GTP terhadap fotoaging setelah keterpaparan radiasi UV kronis. Untuk meneliti efek fotoprotektif dari GTP terhadap perubahan-perubahan histopatologis pada kulit yang terjadi setelah keterpaparan UVB kronis secara in vivo, mencit tidak berambut SKH-1 diperlakukan dengan UVB (90 mJ per cm2) selama 2 bulan selang-seling setiap hari. Perubahan-perubahan histopatologis pada kulit dianalisis dengan uji staining H & E. Pada kulit normal yang terpapar non-UV (Gbr 2, panel teratas), epidermis diamati tipis dengan ketebalan dua sampai tiga lapisan sel. Sebuah respons hiperplastis terbukti pada kulit yang telah diperlakukan dengan resimen UVB dan memiliki ketebalan lapisan antara enam sampai delapan (Gbr. 2, panel tengah). Ketebalan epidermis diukur sebagai 15 ± 4, 46 ± 7 dan 25 ± 5 µm masing-masing pada kulit normal (terpapar non-UV), kulit terpapar UVB dan kulit terpapar GTP + UVB. Sehingga perlakuan dengan GTP terhadap mencit yang terpapar UVB mengurangi respons hiperplastis epidermal sebesar 67% (p<0,001). Pada dermis yang teradiasi UVB kronis (Gbr. 2, panel tengah), kelenjar sebasea membesar, terdapat proliferasi kista dermal dan ada banyak vakuola jika dibandingkan dengan kulit normal yang terpapar non-UV. Pemberian GTP lewat mulut kepada mencit mencegah perubahan-perubahan morfologi ini (Gbr. 2, panel bawah) yang menunjukkan bahwa GTP memiliki efek protektif bagi epidermis dan dermis.

Pemberian GTP oral menghambat oksidasi protein imbas UVB. Telah ditunjukkan bahwa protein-protein yang termodifikasi oksidatif terakumulasi khusus dalam dermis atas kulit fotoaging (Sander dkk., 2002). Dengan demikian kami tertarik untuk menentukan apakah kadar karbonil, sebuah ukuran oksidasi protein, meningkat pada kulit mencit yang terpapar terhadap radiasi UVB kronis. Kami menemukan bahwa radiasi UVB kronis menyebabkan tingginya kadar karbonil protein sekitar 21 kali lipat dibanding dengan hewan kontrol yang tidak terpapar UV (Gbr. 3, panel A). Pemberian GTP lewat mulut bersama dengan air minum secara signifikan melindungi kulit dari karbonilasi protein (50%, p<0,001) setelah keterpaparan UVB kronis.
   
Pembentukan karbonilasi protein oleh keterpaparan UVB dikuatkan dengan analisis western blot (Gbr. 3, panel B) terhadap ekstrak-ekstrak jaringan dengan menggunakan sebuah antibodi khusus terhadap dinitrofenilhidrazon. Hasil lysis kulit yang diambil dari kulit teradiasi UVB menunjukkan kadar oksidasi protein yang lebih tinggi setelah UVB kronis dibanding dengan kulit yang tidak terpapar UVB (Gbr. 3, Panel B). Perlakuan dengan GTP saja tidak meningkatkan oksidasi protein sebagaimana dengan mencit kontrol yang diperlakukan dengan non-GTP (Gbr. 3, Panel A dan B). Analisis densitometri terhadap berkas-berkas yang dihasilkan menunjukkan bahwa pemberian GTP lewat mulut kepada mencit menghambat oksidasi protein imbas UVB pada kulit sebesar 37% (p<0,01) setelah keterpaparan kronis terhadap radiasi UV. Intensitas berkas dalam resimen-resimen pengobatan berbeda terbukti dalam hal kandungan karbonil protein (% kontrol) (Gbr. 3, Panel C).
   
Imunostaining dilakukan untuk melokalisasi protein-protein teroksidasi pada kulit. Keterpaparan UVB kronis menghasilkan kadar oksidasi protein lebih tinggi dalam dermis relatif terhadap epidermis (Gbr. 4, panel tengah). Keduanya lebih besar dibanding pada kulit yang tidak terpapar terhadap UVB (Gbr. 4, panel teratas). Pemberian GTP lewat mulut dalam air minum menghambat oksidasi protein imbas UVB dalam dermis sebagaimana ditunjukkan oleh intensitas staining yang berkurang (panel bawah). Pengamatan-pengamatan ini memberikan bukti tambahan bahwa GTP memiliki efek protektif terhadap oksidasi protein.

Pemberian GTP oral menghambat ekspresi MMP imbas UVB. Kulit yang menua akibat cahaya telah dibuktikan mengandung kadar MMP yang meningkat dan telah dianggap sebagai penanda fotoaging. Kami tertarik untuk mengevaluasi efek fotoprotektif dari GTP terhadap ekspresi MMP berbeda yang terdapat pada kulit mencit setelah keterpaparan UVB kronis. Analisis densitometri terhadap berkas-berkas yang dihasilkan dari western blots menunjukkan bahwa keterpaparan UVB kronis menginduksi kadar MMP-2 yang tinggi (3 kali lipat), MMP-3 (10 kali lipat), MMP-7 (2 kali lipat), dan MMP-9 (2 kali lipat) dibanding dengan yang ada pada kulit mencit yang tidak terpapar UVB, seperti ditunjukkan pada Gbr. 5. Pemberian GTP dalam air minum ditemukan dapat mencegah ekspresi MMP-2 imbas UVB (Panel D), MMP-3 (Panel C), MMP-7 (Panel B), dan MMP-9 (Panel A) masing-masing sebesar 67%, 62%, 63%, dan 60%, pada model kulit mencit yang mengalami fotoaging. Penghambatan ekspresi MMP imbas UVB oleh GTP memberikan bukti lebih jauh untuk pendapat bahwa GTP memiliki efek anti-fotoaging.

Pembahasan
   
Kerusakan foto-oksidatif yang disebabkan oleh sinar UV matahari merupakan penyebab utama penuaan ekstrinsik kulit. Fotoaging menyebabkan banyak perubahan histologis, fisiologis, dan perubahan klinis (kligman, 1986). Kami menunjukkan bahwa keterpaparan akut terhadap radiasi UV matahari pada kulit menginduksi tekanan oksidatif (Katiyar dan Mukhtar, 2001a; Katiyar dan Elmets, 2001b; Katiyar dkk., 2001c), dan tekanan oksidatif dianggap sebagai kontributor utama untuk proses fotoaging kulit (Harman, 2001; Rittie dan Fisher, 2002). Walaupun mekanisme pertahanan sitoplasmik dan mitokondria yang mencakup enzim-enzim antioksidan glutation peroksidase, glutation reduktase, superoksida dismutase, dan katalase terbentuk untuk menangkap ROS, namun enzim-enzim pertahanan antioksidan ini tidak sepenuhnya efisien, dan selama masa hidup sel mengakumulasi bukti kerusakan oksidatif. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ada peningkatan terkait usia pada pembentukan ROS (Sohal dan Brunk, 1992) dan kadar protein yang rusak secara oksidatif (Stadtman dan Levine, 2000). Dengan demikian agen-agen kemopreventif baru dan strategi-strategi baru perlu dikembangkan sehingga bisa mencegah kerusakan oksidatif imbas sinar UV matahari, dan kerusakan oksidatif yang memperantarai proses fotoaging. Salah satu pendekatan yang telah menarik banyak perhatian adalah penggunaan antioksidan (Fisher dkk., 1999; Sander dkk., 2002). Diet-diet yang kaya akan polifenol-polifenol yang terjadi secara alami, utamanya dari buah-buahan dan sayuran, telah terkait dengan kejadian penyakit berperantara ROS. Pada kulit yang rusak akibat cahaya, telah dilaporkan bahwa vitamin A, E, C, dan prosianida menunjukkan efek-efek protektif terhadap kulit akibat aktivitas-aktivitas antioksidannya (Eberlein-Konig dkk., 1998; Stahl dkk, 2000; Mittal dkk, 2003). Dalam konteks ini, terdapat banyak minat dalam menggunakan suplemen botani makanan untuk pencegahan fotoaging.
   
Penelitian in vivo ini menunjukkan bahwa pemberian GTP oral memberikan perlindungan terhadap efek merusak imbas-UV terhadap kulit. Kulit memiliki banyak mekanisme pertahanan antioksidan yang saling terkait untuk melindungi dirinya sendiri dari kerusakan akibat tekanan oksidatif imbas UVB. Akan tetapi, kapasitas sistem-sistem ini terbatas dan bisa dilingkupi oleh keterpaparan berlebihn terhadap UV yang menghasilkan kerusakan sel-sel target. Pemberian GTP oral sebagai satu-satunya sumber air minum secara signifikan melindungi oksidasi mimbas UVB dari makromolekul-makromolekul protein dalam kulit dibanding dengan mencit yang diperlakukan dengan non-GTP. Penelitian-penelitian telah menemukan peningkatan kadar protein teroksidasi pada keratinosit-keratinosit dari kulit donor yang sudah menua (Petropoulos dkk., 2000). Penelitian-penelitian lain telah menunjukkan bahwa pembentukan parotein karbonil paling dominan dalam dermis setelah radiasi UV, dimana perubahan-perubahan patologik utama fotoaging terjadi (Sander dkk., 2002). Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa GTP menghambat kadar protein karbonil yang meningkat yang terjadi dalam kulit setelah keterpaparan UVB kronis. Kebanyakan jalur pensinyalan seluler yang terlibat dalam fotoaging diperantarai melalui tekanan oksdiatif (Katiyar dan Elmets, 2001b; Rittie dan Fisher, 2002). Telah ditemukan bahwa penipisan kadar enzim antioksidan pada kulit yang menua akibat cahaya juga terkait dengan kadar oksidasi protein yang lebih tinggi (Sander dkk., 2002). Kami juga menemukan bahwa pemberian GTP lewat mulut ke mencit menghasilkan pencegahan penipisan enzim antioksidan imbas UVB seperti glutation peroksidase, katalase dan kadar glutation (Vayali dkk., 2003; dan pengamatan-pengamatan yang tidak dipublikasikan). Dengan demikian, GTP mungkin mencegah oksidasi protein dengan memicu berbagai peristiwa dimana tekanan oksidatif berkurang dalam kulit, dan/atau reparasi teraktivasi atau enzim proteolitik yang mereparasi atau mendegradasi protein-protein yang rusak bisa terlibat (Stadtman dan Levine, 2000). Perlakuan GTP secara in vitro terhadap sel HS68 fibroblast kulit manusia menghasilkan penghambatan oksidasi protein imbas UVB dan H2O2 (digunakan sebagai agen oksidatif). Perlakuan dengan katalase, sebuah antioksidan endogen, terhadap sel-sel HS68 juga menghasilkan penghambatan oksidasi protein imbas H2O2, sehingga menunjukkan adanya peran GTP sebagai sebuah antioksidan, dan mendukung temuan kami dalam sistem in vivo. Saat ini, agen-agen kemopreventif dari makanan yang bisa mencegah oksidasi protein secara in vivo masih terbatas. Sejauh pengetahuan kami, ini merupakan laporan pertama yang dengan rinci menunjukkan bahwa polifenol dari teh hijau menghambat karbonilasi protein imbas UV atau oksidasi protein secara in vivo.
   
Fotoaging ditandai dengan degradasi kolagen dan akumulasi elastin abnormal dalam dermis superfisial; beberapa MMP matriks berdampak dalam proses ini (Saarialho-Kere dkk., 1999; Fisher dkk., 2002; Inomata dkk., 2003). MMP-1, -7, dan -9 laten yang berasal dari keratinosit-keratinosit atau fibroblast dermal bisa diaktivasi secara maksimal oleh MMP-3, dan pada akhirnya mengawali degradasi kolagen tipe I dan III. Ekspresi MMP-2, -3, -7, dan -9 secara simultan bisa mengarah pada degradasi matriks ekstraseluler non-kolagen, termasuk membran dasar dan proteoglikan (Kahari dan  Saarialho-Kere, 1997; Fisher dan Voorhees, 1998). Penelitian kami pada model fotoaging ini menunjukkan bahwa keterpaparna kulit mencit secara kronis terhadap ekspresi MMP-2, -3, -7, dan -9 yang ditimbulkan oleh UVB semuanya telah terbukti terlibat dalam degradasi fragmen-fragmen kolagen tipe I dan III yang dihasilkan oleh kolagenase, dan kolagen tipe IV dari membran dasar (Rittie dan Fisher, 2002). Pemberian GTP lewat mulut sangat baik dalam menghambat ekspresi MMP ini yang ditimbulkan UV pada kulit mencit (in vivo) sehingga menunjukkan bahwa GTP memiliki efek antifotoaging potensial. Perlakuan dengan EGCG, sebuah konstituen polifenol utama pada teh hijau, telah terbukti mengurangi kerusakan kulit imbas UVA (kekasaran dan kekenduran) dan terlindungi dari pengurangan kolagen dermal pada kulit mencit yang tidak berambut, dan juga memblokir peningkatan sekresi kolagen imbas UV dan kadar mRNA kolagenase pada kultur fibroblast (Kim dkk., 2001). Pada penelitian lain, pemberian ekstrak teh hijau ke mencit Sprague-Dawley sangat menghambat peningkatan terkait usia dalam fluoresensi pada kolagen aortik, sedangkan yang terdapat pada kolagen kulit tidak dihambat signifikan dengan perlakuan ini (Song dkk., 2002). Perlu diperhatikan bahwa perbedaan penelitian Song dkk., (2002) dengan yang ditemukan dalam penelitian kami bisa terkait dengan fakta bahwa penelitian-penelitian tersebut menguji perubahan-perubahan kolagen kulit yang belum terpapar UV, sedangkan pada seri eksperimen kami, kulit telah mendapatkan perlakuan UV kronis selama periode 2 bulan. Lebih daripada itu, karena preparasi GTP ini hanya mengandung sedikit kafein (<0,3%), kami tidak mengharapkan bahwa kafein memiliki peranan signifikan dalam pencegahan efek berbahaya imbas UV dalam penelitian ini.
   
Lebih jauh, distribusi GTP dalam jaringan (in vivo) tidak dikaji secara memadai setelah pemberian lewat mulut, khususnya pada jaringan kulit, dengan demikian hubungan antara GTP dan efek biologis tidak dipahami secara jelas. Kim dkk (2000) menunjukkan distribusi GTP dalam jaringan pada paru-paru dan hati mencit setelah pemberian GTP lewat mulut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsumsi teh oleh mencit bisa menimbulkan respon adaptif yang mempengaruhi kadar catechin teh dalam darah dan jaringan seiring dengan waktu. Juga ada kemungkinan bahwa GTP tidak secara langsung mempengaruhi sel-sel kulit secara in vivo, tetapi bisa memiliki efek tidak langsung melalui sel pada jaringan-jaringan lain. Lagi-lagi disarankan bahwa metabolit-metabolit GTP mencapai jaringan atau sel kulit dan menghasilkan proteksi terhadap efek-efek radiasi UV yang berbahaya. Akan tetapi, secara lebih jelas, bahwa mekanisme yang digunakan GTP adalah dengan mempengaruhi respons imbas-UV dalam kulit secara in vivo masih belum jelas sampai sekarang ini.
   
Data-data yang didapatkan dalam penelitian ini memberikan bukti bahwa efek anti-fotoaging dari GTP secara in vivo pada kulit diperantarai, sekurang-kurangnya oleh (1) reduksi kerusakan oksidatif makromolekul protein, dan (2) penghambatan ekspresi MMP yang mendegradasi protein-protein matriks ekstraseluler. Polifenol teh hijau dengan demikian bisa menjadi alternatif yang bermanfaat untuk pencegahan penuaan kulit secara dini akibat sinar UV matahari pada manusia. Akan tetapi, trial-trial klinis dan tiral mekanistik rinci diperlukan untuk menguji manfaat potensial dari polifenol teh hijau terhadap fotoaging kulit pada manusia.

Bahan dan Metode

Hewan. Mencit betina SKH tidak berambut yang bebas patogen (usia 6-7 pekan) dibeli dari Charles River Laboratory (Wilmington, Massachusetts) dan dikandangkan dalam fasilitas hewan berdinding bebas-patogen di departemen kami di Universitas Alabama di Birmingham. Mencit-mencit disimpan berkelompok yang terdiri dari empat hewan per sangkar dan diberi makan dengan diet Teklad dan air ad libitum. Hewan-hewan ini diaklimasi selama sekurang-kurangnya satu pekan sebelum dimulainya eksperimen, dan disimpan dengan siklus 12 jam terang/12 jam gelap, 24oC ± 2oC dan dengan kelembaban relatif 50% ± 10%. Protokol hewan untuk penelitian ini disetujui Institutional Animal Care and use Committee di Universitas Alabama di Birmingham, sesuai dengan aturan-aturan dan standar Departemen Pertanian AS, Departemen Kesehatan dan Manusia yang ada sekarang ini.

Kultur dan perlakuan sel HS68 fibroblast manusia. Sel HS68 fibroblast kulup manusia diambil dari American Type Culture Collection (Rockville, Maryland) untuk menentukan efek GTP secara in vitro terhadap oksidasi protein imbas UVB atau H2O2 (oksidan). Sel-sel ditumbuhkan dalam medium eagle termodifikasi Dulbecco (DMEM) dengan 4 mM L-glutamin dan 4,5 g per L glukosa, disuplementasi dengan serum bovin janin (10%, vol/vol) dan penicillin (100 U per mL) dan streptomycin (100 mg per mL) dalam sebuah inkubator pada suhu 37oC di lingkungan lembab yang mengandung 5% CO2.

Antibodi dan reagen. Antibodi-antibodi utama terhadap MMP-2, -3, -7, dan -9 dibeli dari SantaCruz Biotechnologies (Santa Cruz, California). GTP murni (yang mengandung >86% turunan epicatechin) didapatkan dari Tokyo Food Techno Co. Ltd., Shizuoka, Japan. Reagen diaminobenzidin dibeli dari Kirkgaard dan Perry (Gaithersburg, Maryland). Alat pendeteksian western blot oksidasi protein OxyBlot dibeli dari Intergen Company (Purchase, New York). Semua zat-zat kimia lain dan reagen yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas tertinggi dan kemurnian tertinggi.

Radiasi UV. Radiasi UV dilakukan sebagaimana dijelaskan sebelumnya (Katiyar dan Mukhtar, 2001a). Ringkasnya, kulit dorsal dipaparkan terhadap radiasi UV dari sebuah berkas empat lampu fluoresensi FS-20 yang darinya panjang gelombang (<290 nm) yang tidak normalnya terdapat pada radiasi matahari alami disaring dengan menggunakan Kodacel cellulose film (Eastman Kodak Co., Rochester, New York). Setelah filtrasi dengan film Kodacel, kebanyakan panjang gelombang radiasi UV yang dihasilkan berada dalam rentang UVB (290-320 nm) dan UVA (320-400 nm) dengan emisi puncak pada 314 nm sebagaimana yang dipantau. Emisi UVB dipantau dengan radiometer fototerapi IL-1700 yang dilengkapi dengan detektor IL SED 240 yang dipasangkan dengan difuser kwarsa sudut sisi W dan filter SC5 280 (semua dari International Light, Newburyport, Massachusetts). Selama radiasi UVB mencit dikadangkan dalam sangkar-sangkar yang dirancang khusus dimana mereka dipisahkan dengan Plexiglas. Kulit dorsal mencit dipaparkan terhadap resimen UVB kronis yang terdiri dari banyak keterpaparan UVB (90 mJ per cm2) selama 2 bulan selang-seling setiap hari.

Perlakuan GTP. GTP murni merupakan sebuah campuran dari lima turunan catechin utama. Ini didapatkan dari Tokyo Food Co., Ltd., Shizuoka, Jepang. Lima konstituen utama yang ditemukan dalam GTP adalah: (-)-epicathecin (10,4%), (-)-epigallocatechin (8,3%), (EGCG) (55,8%), (-)-gallocatechin gallate (4,2%) dan (+)-epicatechin gallate (6,9%). Pisahan GTP ini mengandung sedikit kafein (<0,3%). GTP (0,2%, berat/vol) diberikan lewat mulut sebagai satu-satunya sumber air minum 10 hari setelah dimulainya radiasi UVB dan dilanjutkan sampai 24 jam setelah keterpaparan UVB terakhir. Air yang mengandung GTP diganti secara teratur setiap 2 kali sepekan, dan botol-botol air yang mengandung GTP ditutupi dengan aluminium foil untuk menghindari oksidasi polifenol imbas cahaya, jika ada. Kelompok kontrol. Dengan atau tanpa radiasi UVB, diberikan air minum saja tanpa GTP.

Histologi kulit. Untuk mengevaluasi efek GTP pada perubahan morfologi kulit yang ditimbulkan UV, menit disembelih 24 jam setelah keterpaparan UV terakhir. Biopsi-biopsi kulit didapatkan dari kulit dorsal, tegak lurus dengan aksis panjang dari trunkus, dimasukkan ke formalin berbufer 10% dan diolah untuk staining H & E untuk evaluasi mikroskopis.

Preparasi hasil lysis kulit. Biopsi-biopsi kulit dikumpulkan dan dikelompokkan dari masing-masing mencit dalam setiap kelompok perlakuan. Jaringan subkutan dihilangkan dengan menggunakan sebuah pisau cukur, dan kulit dicuci beberapa kali dengan bufer 0,05 M Tris-HCl, pH 7,4, yang mengandung 0,15 mM EDTA; 1 mM PMSF; 1 mM sodium ortovanadat; 1 mM NaF; dan aprotinin dan leupetin masing-masing 1 µg per mL). Homogenat disentrifugasi pada 14.000 g selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan jernih digunakan untuk analisis karbonil protein, dan untuk analisis western blot karbonil protein dan MMP.

Pengujian untuk karbonil protein atau oksidasi protein. Analisis kuantitatif karbonil-karbonil protein dilakukan dengan menggunakan DNPH (2,4-dinitrofenilhidrazin) seperti yang dijelaskan sebelumnya (Cao dan Coutler; 1995; Levine dkk., 2000). Ringkasnya, asam-asam nukleat terdapat dalam hasil lysis kulit yang mengandung gugus-gugus karbonil yang reaktif terhadap DNP pada awalnya diendapkan dengan menggunakan streptomisin sulfat (1% konsentrasi akhir) diikuti dengan dialysis terhadap air selama 2,5 jam dan air diganti satu kali setelah 1,5 jam. Hasil endapan dikeluarkan dengan sentrifugasi pada 14.000 g pada 4oC. Ke dalam 1 mL larutan lapisan teratas (yang mengandung ~1,0-1,5 mg per mL protein) 4 mL dari 12,5 mM DNPH dalam 2,5 M Hcl atau 2,5 M HCl saja (blanko) ditambahkan dan diinkubasi pada suhu kamar selama 1 jam. Protein diendapkan dengan asam trikloroasetat 10%. Pellet dicuci 3-5 kali dengan memecah pellet dengan sebuah pengaduk kaca untuk menghilangkan DNPH bebas dengan 4 mL etanoletil asetat (1:1, vol/vol). Pellet dilarutkan dalam 6 M guanidin-HCl pada suhu 37oC selama 20 menit dengan pengadukan yang sering. Material-material yang tidak larut dihilangkan dengan sentrifugasi dan absorbansi diukur pada 370 nm. Kandungan protein karbonil dihitung dari koefisien absorpsi molar (ε) 22.000 M-1 cm-1. Kandungan protein ditentukan dengan menggunakan alat pendeteksian protein BioRad mengikuti protokol pabrik.

Analisis western blot oksidasi protein. Untuk analisis western blot oksidasi protein, OxyBlot Protein Oxidation Detection kit (Interge Company, Purchase, New York) digunakan dengan mengikuti petunjuk dari pabrik. Hasil lysis protein (5µg) didenaturasi dengan menambahkan dodesil sulfat terhadap sebuah konsentrasi 6% dan diderivatisasi menggunakan larutan DNPH selama 15 menit. Sampel-sampel kontrol negatif diobati secara simultan dengan larutan kontrol derivatisasi. Sampel-sampel yang diderivatisasi dimasukkan ke dalam elektroforesis gel natrium dodesil sulfat-poliakrilamida 10%, dan diblot ke atas sebuah membran nitroselulosa. Membran ini diblok dalam larutan garam berbufer Tris yang mengandung 0,1% Tween-20 (TBS-T) dan 5% susu kering non-lemak selama 1 jam. Membran ini kemudian diinkubasi selama 1 malam pada suhu 4oC dengan antibodi primer terencerkan yang sesuai [ada susu kering non-lemak dalam TBS-T sebagaimana dijelaskan oleh pabrik. Ini diikuti dengan inkubasi membran dengan antibodi sekunder terkonyugasi HRP selama 1 jam pada suhu kamar pada TBS-T yang mengandung 5% susu kering non-lemak. Membran dicuci dengan TBS-T dan diperlakukan dengan alat pendeteksi ECL reagen chemiluminesensi (Amersham, Piscataway, New York) menurut protokol pabrik. Berkas-berkas divisualisasikan dengan memaparkan membran ke film XAR-5 (Eastman Kodak Co., Rochester, New York). Intensitas karbonilasi protein ditentukan dengan densitometri berkas pada autoradiograf dengan menggunakan program OPTIMAS 6.2. Setelah itu, blot distaining dengan Coomassie Biru untuk mengkonfirmasikan muatan protein yang seimbang.

Pendeteksian histokimia protein karbonilasi. Sebagai penanda oksidasi protein berperantara ROS dan tekanan oksidatif, karbonil-karbonil protein dideteksi dengan metode DNPH menggunakan Alat Pendeteksian Oksidasi Protein Oxyblot (Intergen, Purchase, New York) sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya (Sander dkk., 2002) dengan beberapa modifikasi. Irisan kulit yang dibekukan dengan ketebalan lima µm dimasukkan ke dalam aseton dingin dan setelah itu diinkubasi dengan larutan DNPH (diencerkan 1:100) atau larutan derivasi kontrol (1:100) selama 1 jam. Setelah tiga kali pencucian secara berturut-turut selama masing-masing 5 menit, irisan-irisan diblok dengan menggunakan BSA 3% dalam PBS selama 30 menit, dan diinkubasi dengan antibodi anti-dinitrofenilhidrazon kelinci (Intergen, Purchase, New York) pada PBS selama 1 jam pada suhu 37oC. Peroksida-peroksida endogen diblok dengan hidrogen peroksida 0,5% dalam PBS selama 30 menit. Setelah pencucian, irisan-irisan diinkubasi dengan antibodi sekunder anti-kelinci dari hewan kambing yang terbiotinilasi selama 1 jam pada suhu kamar. Irisan-irisan dicuci dan diinkubasi lagi dengan streptavidin terkonyugasi peroksidase selama 30 menit. Setelah pencucian, produk reaksi divisualisasikan setelah diinkubasi dengan diaminobenzidin dan kemudian dicuci dengan air suling. Irisan-irisan distaining-balik dengan metil hijau. Untuk kontrol negatif, irisan-irisan diperlakukan dengan larutan DNPH bukan larutan derivatisasi kontrol.

Analisis western blot MMP. Untuk imunoblotting MMP, 50-80µg protein dalam buffer Laemmli dimuatkan pada 10% gel poliakrilamida dan dijalankan pada tegangan konstan 125 V sampai penelusuran zat warna mencapai 1 cm dari dasar gel. Ini diikuti dengan elektroblotting pada sebuah membran nitroselulosa selama 2 jam pada tegangan konstan 25 V. Sisa prosedur identik dengan yang dijelaskan untuk analisis Western blot karbonilasi protein kecuali untuk antibodi primer dan sekunder yang spesifik terhadap MMP-2, -3, -7, dan -9. Intensitas berkas-berkas protein ditentukan dengan densitometri berkas-berkas pada autoradiograf dengan menggunakan program OPTIMAS 6.2.

Analisis statistik. Hasil enzim-enzim antioksidan dan karbonil protein dinyatakan sebagai nilai mean ± SD dalam bentuk persen kontrol. Analisis statistik terhadap semua data antara kelompok-kelompok yang diradiasi UV dan yang diradiasi GTP+UP dianalisis dengan uji-t Student. Nilai P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Staining imunohistokimia irisan-irisan oksidasi protein dianalisis dengan menggunakan analisis gambar densitometri. Sekurang-kurangnya tiga area berbeda dari epidermis dan dermis masing-masing irisan dipilih dan intensitas staining untuk total area diukur dan dikuantifikasi dengan menggunakan program terkomputerisasi OPTIMAS 6.2.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk