Risiko penyakit-penyakit kulit yang terkait dengan arsenik di perkampungan Bangladesh pada tingkat keterpaparan yang relatif rendah: sebuah laporan dari Gonoshasthaya Kendra

Abstrak

Tujuan: Konsentrasi arsenik pada 25% sumur tabung di Bangladesh melebihi 50 µg/L, sebuah level yang diketahui berbahaya. Kadar pada sumur-sumur penduduk berbeda-beda. Kami mengumpulkan data tentang tingkat keterpaparan arsenik dan prevalensi penyakit kulit untuk mengatasi kurangnya pengetahuan tentang risiko dimana konsentrasi arsenik rata-rata lebih rendah.

Metode: LSM Gonoshasthaya Kendra melakukan tiga penelitian terkait terhadap penyakit-penyakit kulit keratotik sejak 2004: (1) sebuah survei prevalensi ekologik diantara 13.705 wanita yang berusia ≥ 18 tahun pada sebuah sampel acak yang terdiri 53 desa; (2) sebuah studi kasus-kontrol pada 176 kasus dan referent yang disesuaikan dengan usia dan desa; dan (3) survei prevalensi populasi keseluruhan yang terdiri dari 11.670 pada dua desa tambahan. Kami menghitung prevalensi sebagai sebuah fungsi konsentrasi arsenik rata-rata sebgaimana dilaporkan dalam Survei Hidrokimia Nasional, dan mengukur konsentrasi arsenik pada sumur-sumur yang digunakan oleh subjek-subjek dalam studi kasus-kontrol.

Hasil: Prevalens penyakit kulit adalah 0,37% pada orang-orang yang terppar terhadap konsentrasi arsenik dibawah 5 µg/L, 0,63% pada 6-50µg/L, dan 6,84% pada 81µg/L. Pada analisis kasus-kontrol, risiko relatif penyakit kulit meningkat tiga kali lipat pada konsentrasi di atas 50 µg/L (P < 0,05).

Kesimpulan: Sedikit penyakit kulit serius yang kemungkinan terjadi jika konsentrasi arsenik dalam air minum tetap dijaga di bawah 500 µg/L, tetapi memastikan kualitas air ini akan memerlukan surveilans sistematik dan pengujian terpercaya terhadap semua sumur, yang bisa tidak praktis. Lebih banyak penelitian diperlukan tentang pecegajhan efek-efek toksik dari keterpaparan arsenik di Bangladesh.

Pendahuluan
   
Arsen adalah penyebab kanker pada manusia dan penyebab penyakit kulit; bukti-bukti telah ditemukan oleh International Agency for Research on Cancer pada beberapa penelitian. Suatu ancaman serius terhadap kesehatan umum yang telah terbukti pada 30-40 tahun terakhir adalah kontaminasi arsen pada air minum, seperti tercatat di Amerika Selatan dan Asia, dan yang terkhir di Bangladesh dan Bengal Barat (India). Manifestasi racun awalnya sebagai penyebab penyakit kulit keratotic; lebih mengancam, adalah kanker internal, yang sayangnya sedikit bukti yang pasti tentang hal terebut. Sebuah musibah utama nasional telah terbukti dengan publikasi di tahun 2001 oleh survey sistematis pada sekitar 4000 sumur yang menunjukkan bahwa setengah dari distrik di Bangladesh rata-rata mempunyai konsentrasi arsen rata-rata  – sering diatas 50 μg/L, suatu tingkat yang diketahui berbahaya. Rata-rata ini mungkin bukan refleksi masalah yang sebenarnya, karena tingkatan yang bervariasi sangat besar di dalam dan antara desa. Jadi sebetulnya tidak mungkin, untuk memperkirakan seberapa bagian dari populasi pedesaan di Bangladesh yang berisiko, walau pada standar nasional adalah 50 μg/L, tanpa tergantung pada petunjuk rekomendasi WHO sebesar 10  μg/L. Berdasarkan bermacam-macam pola keterpaparan yang ekstrim, maka diperlukan untuk data epidemiologi melebihi kisaran luas konsentrasi.
   
Terdapat lima prevalensi penelitian terakhir: satu di Bengal Barat, yang kemudian digunakan dalam analisa pengendalian kasus, dan empat di Bangladesh, yang perkiraan keterpaparan secara perorangan berhubungan dengan risiko penyakit kulit. Dua penelitian, melaporkan resiko yang sangat rendah dibawah 50 μg/L, meningkat pada prevalensi 20-30% pada konsentrasi yang lebih tinggi. Dua sisanya diteliti oleh Ahsan et.al dan Rahman et al, yang dipublikasikan pada tahun 2006, dan pada wilayah yang terbatas di sebelah tenggara dari Dhaka, dimana kontaminasi arsen tergolong tinggi. Penelitian sebelumnya, di Araihazar, melaporkan peningkatan sistematis pada prevalensi odds ratio (OR) dibandingkan dengan mereka yang minum air yang mengandung < 8.1  μg/L, dari 1.91 pada 8.1 – 40  μg/L, meningkat menjadi 5.39 pada > 175.1  μg/L. Rahman dkk. tidak menyajikan data yang dapat dibandingkan pada respon keterpaparan di Matlab, tetapi prevalensi secara keseluruhan pada kalangan dewasa hanya 4/1000 setelah rata-rata penggunaan sumur pipa selama 20 tahun, dan rata-rata keterpaparan adalah 167 μg/L. Perbedaan jelas antara temuan pada dua penelitian ini dan lainnya akan dijelaskan dibawah.

Sasaran Penelitian
   
Ketidakpastian tentang tingkat resiko pada konsentrasi arsen yang relatif rendah secara serius menjadi bahan perhatian Gonoshashthaya Kendra (GK), sebuah LSM besar yang terkenal di seluruh dunia karena terobosannya di bidang perawatan kesehatan. GK menyediakan pelayanan luas untuk semua populasi lebih dari satu juta pada 600 desa yang tersebar luas di negara tersebut, kecuali divisi Khulna di Selatan dan Sylhet di timur laut. Hanya 3% dari desa-desa GK berada di distrik dengan konsentrasi rata-rata diatas 50  μg/L, dan setengahnya di distrik dibawah 11  μg/L. GK menjadi tempat  yang baik untuk meneliti akibat dari keterpaparan rata-rata yang relatif rendah, walau banyak penelitian tergolong rumit dikarenakan luasnya variasi di dalam dan antara desa. GK juga memperhatikan resiko yang tidak terbatas pada penyakit kulit, dan pada hal yang khusus tentang efek yang mungkin terjadi pada kehamilan dan kanker internal, dimana keduanya telah mulai dilakukan penelitian. Pertama, bagaimanapun, terpikir bahwa penting untuk menilai resiko penyakit kulit pada tingkatan yang paling sering terjadi di desa-desa dan mana yang bertanggungjawab serta tipe yang paling banyak ditemukan di Bangladesh.

Metode
   
Pemilihan atas desa-desa, bersamaan dengan pelatihan dan pengawasan dari paramedis, digambarkan pada laporan pendahuluan. Kasus-kasus yang didefinisikan pada perempuan dengan satu atau beberapa kelompok kecil atau karakteristik penebalan kulit pada telapak tangan atau kaki, dicatat dan dikelaskan oleh paramedis desa yang terlatih.Tidak ada catatan diambil tentang borok atau penyakit dan pertanyaan tentang diagnosa atau penyebab semua itu dengan sengaja dihindarkan. Angka prevalensi berdasarkan umur dihitung berlawanan dengan konsentrasi rata-rata yang dilaporkan oleh National Hydrochemical Survey (NHS), bersumber dari 129 sumur yang diuji coba di subdistrik dimana desa penelitian tersebut berlokasi.
   
Untuk menilai risiko yang berhubungan dalam desa-desa, masing-masing dari 176 perempuan dengan penyakit kulit yang teridentifikasi pada survey awal tersesuaikan usia (+/- 5 tahun) dengan seseorang yang tidak terinfeksi (terpilih secara acak dalam lingkup usia) di desa yang sama. Pada suatu kunjungan oleh salah satu penyusun laporan ini di tahun 2005-2006 pada 27 desa dengan satu atau lebih pasangan kasus-kontrol, sumur yang ada sampai sekarang dipakai oleh subyek telah diidentifikasi dan sebuah catatan dibuat pada berapa lama setiap perempuan tersebut telah menggunakan sumber air tersebut. Pemotretan juga dilakukan atas penyakit pada semua kasus yang dilaporkan untuk penelitian selanjutnya, dan tiga contoh air dari masing-masing sumur diuji menggunakan peralatan Arsenator yang digunakan pada NHS, yang menyediakan pembacaan secara digital atas konsentrasi arsen. Pada NHS, perbandingan dibuat antara Arsenator dan Laboratorium British Geological Survey (BSG) dengan hasil yang bersumbaer dari sekitar 250 sample pada survey di desa Manduri. Tak ada bukti ditemukan atas perbedaan sitematis antara dua set dengan detail seperti dipresentasikan di NHS.
   
Prosedur survey yang sama diikuti dengan penelitian pada dua desa besar Rajshahi, A dan B. Karena dua desa ini baru bagi GK, sensus atas semua penduduk dilakukan sebagai langkah awal. Dari total pupulasi yang terdaftar (n=11 670), 11 021 (94%) diuji oleh paramedis, termasuk anak-anak berusia dibawah 5 tahun jika si ibu ditengarai memiliki ketidaknormalan kulit. Survey ini  dicoba untuk menilai prevalensi pada laki-laki dan perempuan pada semua kisaran penuh usia. Pada beberapa anak-anak terlihat tetapi tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda yang mencolok. Penelitian secara luas atas tingkatarsen pada 1400 sumur pada dua desa ini masih berlangsung, dengan bertempat pada masing-masing sumur dan rumah ditujukan untuk masin-masing kasus, seperti ditentukan oleh Global Positioning System. Temuan ini akan dilaporkan secara terpisah.

Prosedur Statistik

Prevalensi (%) dihitung berdasarkan usia dan subdistrik atas 53 desa pada survey awal, dan berdasarkan usia dan jenis kelamin pada penelitian atas dua desa khusus; statistik x2 dengan test terhadap kecenderungan dihitung untuk menguji perbedaan prevalensi berdasarkan kelompok subdistrik berdasarkan konsentrasi arsen. Pengurangan logistik bersyarat digunakan untuk menentukan hubungan dengan keterpaparan (paling tinggi dari tiga konsentrasi yang tercatat) pada penelitian pengendalian kasus. Prevalensi odds rasio diasosiasikan dengan usia, jenis kelamin dan desa, dihitung dengan pengurangan logistik terhadap laporan  pada desa-desa khusus.

Hasil
   
Pada tiga survey yang telah dilakukan, terdapat temuan penting, seperti yang tercantum pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1 menunjukkan prevalensi penyakit kulit adalah rendah (0.37%) diantara 6448 perempuan yang tinggal di subdistrik A-E (25 desa) dengan rata-rata konsentrasi arsen sebesar 5 μg/L atau kurang. Sebanyak 0.63% di antara 5547 perempuan di subdistrik F-K (21 desa), dengan rata-rata konsentrasi sebesar 16-50 μg/L, tetapi lebih tinggi (6.84%) di antara 1710 perempuan di subdistrik L (7 desa) dengan konsentrasi sebesar 81  μg/L. Sementara kisaran konsentrasi rata-rata pada grup pertama adalah sempit (0-9 μg/L), pada tiga grup lebih tinggi (F-L) sangat luas (0-166 μg/L). Data yang tercatat bahwa dari 33 sumur dalam satu penyatuan membantu mempersempit kisaran (Lihat Tabel 1); bagaimanapun, hanya nilai dari semua sumur yang diukur pada masing-masing subdistrik yang digunakan pada laporan sekarang.
   
Studi kasus-kontrol, secara potensial bersumber dari 176 pasangan (352 perempuan), yang akhirnya berkurang menjadi 155 pasangan dengan hilangnya 21 kasus: 14 perempuan sudah pindah, dan tujuh tidak ingin berpartisipasi atau tidak bersedia. Hasil pada Tabel 2 berhubungan baik dengan prevalensi pada Tabel 1, menunjukkan peningkatan tiga kali lipat pada lebih dari 50  μg/L (P < 0.05), dan beberapa indikasi atas peningkatan dibawah 10  μg/L. Kasus dan pengawasan yang tepat untuk desa dan usia, resiko menunjukkan hanya pengaruh atas keterpaparan yang berbeda didalam dan tidak antara desa, dan tidak pada durasi usia sebagai wakil yang terpercaya. Analisa lebih lanjut atas pasangan yang berusia diatas dan dibawah 40 tahun (tidak tampak) menunjukkan bahwa risiko relatif cukup serupa antara perempuan yang lebih tua dan lebih muda.
   
Tabel 3, berdasarkan pada dua desa yang besar, menunjukkan prevalensi keseluruhan adalah lebih dari dua kali lebih tinggi di desa B (3.2%) dari desa A (1.3%); hampir serupa antar laki-laki dan perempuan di desa B, tetapi lebih kecil di desa A. Prevalensi di kedua desa meningkat tajam atas usia, dengan perbadningan lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Kasus pada anak-anak sangat jarang. Pengurangan logistik, tak termasuk mereka yang berusia 5 tahun atau kurang (dan mereka dengan umur yang tidak diketahui), menegaskan  (P<0.001) risiko yang lebih tinggi di desa B (OR = 2.44, 95% CI: 1.74 – 3.41) dan peningkatan risiko dengan (OR = 1.034, 95% CI : 1.027 – 1.042): penelitian kecil meningkat pada prevalensi laki-laki tidak mencolok dalam model ini (OR = 1.19, 95% CI : 0.87-1.62). Pada perempuan di atas 30 di desa B, prevalensi rata-rata (5.2%) kurang lebih mendekati apa yang didapat di sibdistrik L (tabel 1). Satu dari 10 sumur yang dicatat di subdistrik di mana terdapat desa A dan B, hanya satu yang menunjukkan konsetrasi diatas 1.1  μg/L (57.8  g/L di desa A). Pada survey yang sedang kami jalankan,bagaimanapun, banyak sumur yang terdapat baik di kedua desa mempunyai konsentrasi di atas 100  μg/L.

Diskusi
   
Masalah epidemiologi utama dalam menilai bahaya arsen di Bangladesh adalah perkiraan keterpaparan pada peseorangan atau rumah tangga, dan dalam mengidentifikasi penyakit potensial yang terkait dengannya. Pengamatan atas usia pada penelitian dalam prevalensi menyarankan bahwa pengecualian yang mungkin dalam kehamilan, risiko yang ditentukan baik oleh konsentrasi arsen pada air minum dan jangka waktu komsumsi air yang telah melebihi 20 tahun. Untuk mengumpulkan beberapa data yang dapat dipercaya untuk penelitian pada populasi yang jumlahnya besar, akan sangat sulit dan sebagaimana dijelaskan lebih awal, telah dicoba oleh Haque dkk. di Bengal Barat, dimana rata-rata konsentrasi arsen adalah 18  μg/L (kisaran 0 – 3400  μg/L). Sekumpulan penelitian kasus-kontrol dibatasi pada 21 desa dimana sumber air minum utamanya mengandung < 500  μg/L dan tidak terlalu berhasil dalam memperkirakan keterpaparan pada masa lalu, tetapi odds rasio pada hubungannya dengan konsentrasi puncak dari < 50  μg/L adalah 2.4 pada 50-99  μg/L, hasilnya mendekati pada penelitian kami sendiri dari kumpulan penelitian yang serupa (2.96) dan pada yang dilaporkan oleh Ahsan (3.03) untuk keterpaparan pada kisaran  40-91 μ g/L.
   
Karena memperkirakan keterpaparan pada perseorangan sangat sulit, kami memilih penelitian awal pada pendekatan ekologi untuk menilai prevalensi, menggunakan data dari National Hydrochemical Survey. Survey atas hamper 4000 sumur yang menggunakan listrik sistematis, menghasilkan pada satu sumur yang diuji coba masing-masing 37km2, tetapi terhitung hanya sekitar 60 sumur per disktrik dan 8 persubdistrik untuk pengitungan rata-ratanya. Walau pola geografi atas konsentrasi arsen setelah proses statistik perlahan muncul jelas, tetapi menyamarkan variasi lokal yang sangat besar. Sebagai contoh, pada tiga daerah survey khusus, konsentrasi berkisar dari < 3 sampai 2542  μg/L. Walau di subdistrik dimana desa A dan B berlokasi, walau rata-rata 6  μg/L, hanya sumur yang diuji di desa A berada pada tingkatan 57.8  μg/L. Jadi, pendekatan secara ekologi, walaupun berguna namun mempunyai keterbatasan.
   
Kesulitan lebih jauh terletak pada penentuan penyakit kulit. Dimana kami mengandalkan paramedis untuk menentukan secara obyektif hasil atas pengujian sederhana, penelitian lainnya telah memperkerjakan kalangan dokter, menguji berbagai macam pendapat mereka dan satu panel tenaga ahli dokter dan ahli kulit dikerahkan untuk mencapai konsensus dalam diagnosa atas keratosis arsen. Hasilnya menolak sekitar 70% kasus yang dilaporkan oleh tenaga lapangan. Hal ini mungkin dapat menjelaskan perbedaan antara perbandingan mereka, termasuk kami, bagaimanapun hal ini bermanfaat bahwa rata-rata keterpaparan di Matlab adalah 167  μg/L, dan hanya L, subdistrik kami (Tabel 1) mempunyai nilai yang mencapai tingkat tersebut, walau dengan kisaran luas untuk 10 sumur yang diuji coba (2-166  μg/L). Yang juga relevan adalah fakta bahwa rata-rata penggunaan sumur yang dipakai di Matlab berusia 20 tahun, dimana hamper keseluruhan sumur di sibdistrik L dilaporkan sampai saat ini, dari tahun 1953, lebih dari 50 tahun lebih awal dari survey kami.
   
Salah satu tujuan penting dari penelitian prevelansi di 53-desa adalah untuk mengevaluasi data ekologi yang diterbitkan dan kelayakan standar nasional sebesar 50 μg/L untuk menjamin keamanan. Tabel 1 menunjukkan bahwa sejumlah angka pada kasus-kasus di grup A-E kemungkinan mengecewakan, dan pada grup L, sangat jelas. Interpretasi atas grup F-I dan J-K lebih sulit. Angka prevalensi hampir dua kali lipat dari grup terendah (P = 0.04), tetapi konsentrasi rata-rata pada keduanya adalah dibawah 50  μg/L. Bgaimanapun, pada grup-grup tersebut terbukti bahwa pada 14 dari 61 sumur (23%), tingkatannya di atas 50  μg/L, menandakan resiko potensial. Keterpaparan digunakan untuk mengklasifikasikan subyek untuk analisa pengendalian kasus kami yang diukur dengan Arsenator, dan dapat dibandingkan dengan data BGS yang digunakan untuk menggolongkan 53 desa seperti tertera pada Tabel 1. Analisa detail, tidak ditunjukkan, dari 310 pengukuran sumur yang digunakan pada Tabel 2 mengindikasikan bahwa hampir semua mempunyai nilai diatas 50 μg/L adalah yang berasal dari subdistrik L, dan hanya beberapa dari subdistrik F-K.
   
Telah dijelaskan bahwa tingkat arsen dan prevalensi penyakit kulit adalah lebih tinggi pada tingkat yang sosial ekonominya paling atas dari populasi Matlab. Karena itu, kami menguji pertanyaan ini dengan menggunakan data yang banyak kami dapatkan dari GK tentang faktor sosial. Tidak memungkinkan untuk melakukan ini terhadap desa secara tersendiri, tetapi kami menguji grup geography utama yang adalah 53 desa kami dan terpilih sebagai yang terbaik atas indeks ketersediaan terhadap ibu hamil yang pada dua tahun terakhir digolongkan pada miskin atau sangat miskin. Hasilnya terbagi atas empat kategori konsentrasi arsen yang digunakan seperti pada Tabel 1, sebagai beikut : A-E (77%); F-I (86%); J-K (88%); L (78%). Jelas bahwa tidak ada kecenderungan sistematis. Kebiasaan seperti merokok, jenis pekerjaan dan terpaan sinar matahari diidentifikasikan oleh Chen et al, sebagai penjelasan pentng atas preavalensi yang lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini tidak dianggap penting pada 53 desa kami, karena hanya melibatkan kaum perempuan.

Penelitian kami memiliki kekurangan dan kelebihan, yang terpenting adalah bahwa penelitian ini berhasil menilai risiko pada total populasi perempuan dewasa di 53 desa, yang dipilih secara acak dan tersebar secara luas, pada tingkat keterpaparan sedang. Bagaimanapun, pencatatan penyakit kulit dilakukan oleh tenaga paramedis yang terlatih namun tidak divalidasi lebih lanjut. Kami yakin bahwa, walaupun demikian beberapa resiko yang berlebihan dalam suatu negara dimana konsentrasi rata-rata arsen dibawah 10  μg/L adalah yang paling tidak mungkin. Ada bukti resiko kecil dalam suatu area dengan rata-rata antara 11 dan 50  μg/L, kemungkinan dijelaskan oleh sumur yang didalamnya terkandung lebih dari 50  μg/L. Di atas 50  μg/L, walau data yang kami miliki ada pada tingkat konsentrasi lebih tinggi tidak mencukupi, risiko yang timbul besar. Masuk akal bahwa prevalensi penyakit kulit yang tercatat pada tiga dari tujuh desa di subdisatrik L adalah sangat tinggi (102 kasus pada 772 perempuan sebanyak 13%), sebuah contoh atas mereka yang diujicoba dan diyakinkan okeh tiga dari kami (NC, NH dan JCMcD). Tingkat resiko ini agak sesuai dengan rata-rata yang tercatat di desa A dan B sebagai survey tambahan di Rajshahi (Tabel 3).
   
Jika kami benar dalam kesimpulan-kesimpulan ini, maka berlaku bahwa kebijakan kesehatan masyarakat di area-area negara yang memiliki keterpaparan relatif rendah harus diberikan prioritas untuk memastikan bahwa konsentrasi arsenik dalam air yagn digunakan untuk air minum teta di bawah 50 µg/L. Ini akan memerlukan pengujian yagn terpercaya dan sistematis, pengujian ulang, penandaan dan mungkin penutupan semua sumur tabung pompa tangan, bersama dengan surveilans penyakit kulit yang terus berlanjut. Ukuran-ukuran seperti ini harus dimungkinkan pada kebanyakan negara, tetapi pada area dimana konsentrasi rata-rata melebihi 50µg/L kebijakan ini bisa tidak memadai atau tidak memungkinkan, dimana ukuran yagn lebih radikal diperlukan; ini tidak termasuk dalam cakupan paper kami. Akan tetapi, sampai diketahui apakah konsumsi air yang mengandung arsenik dibawah 50 µg/L membawa risiko signfiikan untuk kanker internal atau efek berbahaya yang penting pada kehamilan, tidak ada kebijakan kesehatan masyarakat yang bisa menjadi produk akhir.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk