Virus Herpes Simpleks

Virus-virus herpes termasuk ke dalam genus virus DNA. Α-herpesvirus terdiri dari herpes simpleks-1 (HSV-1), herpes simpleks-2 (HSV-2), dan virus zoster varicella yang telah dikenal. Β-herpesvirus diwakili oleh sitomegalovirus. Γ-herpesvirus mencakup virus Epstein-Barr dan HSV-6 (eksantema subitum). Virus herpes secara karakteristik memiliki sebuah amplop lipid, sebuah kapsik icosahedral, dan sebuah inti protein dari DNA berantai ganda.
   
Studi-studi serologis pada populasi-populasi besar menandakan bahwa kebanyakan orang dewasa di perkotaan menunjukkan bukti infeksi sebelumnya dengan herpesvirus. Dari orang-orang dewasa yang diteliti, 90-95% telah mengalami infeksi HSV-1 (Rawls, 1985). Pada otopsi-otopsi acak orang-orang dewasa perkotaan, 65% ganglia trigeminal yang diperiksa mengandung HSV-1. Sampai 95% dari populasi perkotaan yang diambil sampelnya memiliki penanda serologik untuk virus zoster varicella. Studi-studi serologik menguatkan bahwa infeksi-infeksi Epstein-Barr telah dialami oleh 85-90% orang dewasa perkotaan. Dari 65 sampai 70% dari populasi yang sama ini telah mengalami infeksi sitomegalovirus. Eksantema subitum tidak sering didiagnosa secara klinis tetapi tersebar luas dalam populasi pediatri perkotaan.

  
Antibodi-antibodi terhadap HSV-2 jarang dideteksi sampai aktivitas seksual dimulai. Diantara wanita yang ditemukan di klinis penyakit tertularkan seksual (STD), sampel yang diambil secara acak menunjukkan bahwa 46% telah mengalami infeksi HSV-2 dibanding dengan 8,8% pada populasi non-STD dari mahasiswa-mahasiswa universitas (Corey, 1982). Sebanyak tujuh puluh persen wanita penjaja seks yang diteliti ditemukan seoreaktif terhadap HSV-2 (Corey dan Spear, 1986).
   
HSV ditemukan pada spesies mamalia lainnya. Untungnya kebanyakan dari HSV ini tidak mudah tertular ke manusia. Akan tetapi, HSV simian dapat ditularkan melalui inokulasi langsung cairan yang terinfeksi dari kera ke manusia dan bisa mematikan (Holmes dkk., 1990). Tak satupun dari obat-obat antiviral yang efektif dalam pengobatan infeksi HSV manusia juga efektif untuk infeksi simian.
   
Infeksi HSV-1 dan HSV-2 primer terjadi pada individu-individu yang sebelumnya telah mengalami infeksi virus tertentu. Lesi bisa terjadi pada area yang luas, yang melibatkan banyak dermatoma, dan antibodi-antibodi penetralisir bisa ditunjukkan dalam 14 hari setelah kenampakan lesi-lesi klinis. Titer-titer antibodi yang meningkat menguatkan adanya respons humoral terhadap virus. Lesi-lesi rekuren biasanya kurang parah dan durasinya singkat. Peluruhan asimptomatik cirus ditemukan pada infeksi oral dan genital dan bisa dideteksi hanya dengan kultur. Periode laten dengan sekuestrasi virus dalam badan-badan saraf mengikuti penyembuhan lesi-lesi simptomatik dan asimptomatik. Virus-virus laten berfungsi sebagai sumber lesi klinis dan asimptomatik rekuren.
   
Penularan HSV terjadi melalui inokulasi langsung atau penghirupan sel-sel terinfeksi dan tetes-tetes cairan tubuh. Pemindahan material terinfeksi dari permukaan epitelium sel skuamus terstratifikasi utuh dalam 4-5 menit setelah keterpaparan bisa mencegah infeksi.
   
Infeksi yang rekuren dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi imunitas seluler, seperti onset penyakit lain, episode demam, mens, tekanan emosional, dan lecur surya (sunburn). Diperkirakan bahwa sekitar 14% individu yang terinfeksi dengan HSV-1 akan mengalami lesi kutaneous rekuren (Reeves dkk., 1981). Kebanyakan mereka yang terinfeksi mengalami penyakit lagen dan mungkin tidak pernah mengekspresikan lesi-lesi kutaneous setelah episode primer (Reeves dkk., 1981).
   
Perjalanan klinis HSV dikendalikan oleh (1) ada atau tidak adanya tempat-tempat reseptor genetik utuk HSV pada permukaan sel-sel epitelium; (2) kemampuan keratinosit terinfeksi untuk menghasilkan interferon-α sehingga memblokir penyebaran infeksi pada sel-sel yang terinfeksi; (3) kemampuan individu untuk memobilisasi sel-sel pembuluh alami dan memprogram sel-sel T helper terhadap virus; dan (4) kemampuan host yang terinfeksi untuk memberikan respons humoral cepat terhadap infeksi. Walaupun antibodi-antibodi reaktif-silang dan spesifik tipe dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi baik dengan HSV-1 atau HSV-2, antibodi-antibodi ini tidak berfungsi untuk memberikan imunitas protektif silang. Bahkan dalam sub-sub kelompok dari masing-masing kelompok viral, tidak ada imunitas-silang protektif.
   
Untuk menegakkan diagnosis presumptif infeksi HSV-1 atau HSV-2, lesi-lesi kutaneous atau membran mukus yang tersusun atas vesikel-vesikel berkelompok dan multiloculated pertama kali harus diamati. Lesi-lesi yang kompatibel secara klinis ini bersama dengan hapusan Tzanck positif dimana sel-sel epitelium abnormal berinti banyak dan berinti banyak yang ditemukan biasanya sudah cukup untuk menentukan diagnosis presumptif secara akurat.
   
Pemeriksaan histologis mikroskop cahaya untuk vesikel-vesikel herpes sering menandakan diagnosis presumptif dengan menunjukkan (1) degenerasi balloon yang jelas dari epitelium terinfeksi yang terkait dengan acantholysis yang jelas; (2) vesikel-vesikel terlokulasi dan sel-sel raksasa berinti banyak, serta sel-sel nukleasi yang abnormal; (3) vaskulitis parah yang ditandai dengan deposit-deposit fibrinoid dan sebuah respons inflammatory padat yang mengandung banyak neutrofil baik di dalam maupun di luar dinding-dinding kapiler; (4) debu nuklear, sel-sel merah estravasasi dan perdarahan sesekali yang terjadi akibat nekrosis dinding pembuluh. Pada pasien-pasien yang mengalami pneumonitis, badan-badan inklusi tipikal ditemukan dalam parenchyma paru pada pemeriksaan histologis. Jaringan encephalitis mengandung inklusi intranuklear eosinofilik. Tipe-tipe inklusi yang sama juga bisa ditemukan dalam hati dan kelenjar adrenal setelah sepsis, yang menghasilkan kematian.
   
Diagnosis definitif infeksi HSV-1 atau HSV-2 memerlukan kultur jaringan dan imunotiping. Penentuan sub-tipe virus-virus ini memanfaatkan stabilitas pola-pola endonuklease restriktif DNA nya, yang berbeda bagi masing-masing komposisi isolat virus. Pola-pola ini memungkinkan pengidentifikasian semua pasien yang terinfeksi virus dengan virus tertentu (Hayward dkk., 1984) atau pengidentifikasian berbagai infeksi virus pada seseorang.

Infeksi-Infeksi Herpes Primer
   
Infeksi HSV primer biasanya terjadi pada orang-orang yang sebelumnya tidak mengalami keterpaparan terhadap virus. Mereka tidak memiliki antibodi-antibodi penetralisir tetapi akan mendapatkannya dalam 14-21 hari pertama dari infeksi awal (Corey dan Spear, 1986; Rawls, 1985). Walaupun penyakit kompleks primer tidak lebih jarang terjadi, penyakit ini bisa terjadi pasien-pasien yang mengalami penyakit viral awal yang disebabkan oleh sub-sub tipe HSV-1 dan HSV-2.
   
Inokulasi virus bisa terjadi di bagian manapun pada kulit, pada mata, atau pada membran mukus. Yang paling ditakuti adalah inokulasi korneal secara langsung dan keratokonjungtivitis herpetik yang dihasilkan. Jika penyakit dibiarkan tidak diobati, ulser-ulser dendritus dalam bisa terjadi dan menghabiskan kebutaan akibat scarring atau perforasi kornea. Inokulasi viral secara langsung ke dalam lipatan-lipatan perionychial akan menghasilkan whitlow herpetik. Lesi-lesi yang menyusahkan dan terasa nyeri ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi personil medis – paling sering ditemukan pada perawat, teknisi endoskopi, dan dokter gigi. Dengan ditemukannya tindakan-pencegahan universal yang digunakan sekarang ini digunakan dalam kebanyakan setting medis, frekuensi witlow herpetik telah berkurang signifikan.
   
Infeksi primer pada janin in utero dalam membran amnionik utuh tidak umum terjadi. Akan tetapi, jika ibu memiliki infeksi HSV primer pada bagian manapun di tubuhnya dan mengalami viremia signifikan, invasi plasenta dan kontaminasi janin bisa terjadi. Jika ini terjadi, janin bisa mati in uteri atau pada periode neonatal awal akibat kerusakan otak, paru, dan hati. Vesikel-vesikel kutaneous difus dan berkelompok akan terdapat pada anak-anak ini. infeksi in utero tidak terjadi pada pasien-pasien dengan HSV rekuren selama ibunya tidak tertekan sistem kekebalannya secara signifikan.
   
Infeksi primer pada periode neonatal disebabkan oleh inokulasi selama kelahiran, kontaminasi langsung dari personil medis pada saat perawatan, atau dari orang tua yang secara aktif meluruhkan virus ini. Anak-anak ini bisa mengalami gingivostomatitis fulminasi dan mengalami masalah dengan menyusui, tetapi jarang mengalami pneumonitis atau diseminasi. Akan tetapi, gingivostomatitis primer bisa terjadi kapanpun selama masa hidup pada orang-orang yang sebelumnya tidak mengalami infeksi virus, tetapi palign sering terjadi pada 2 tahun pertama masa hidup (Corey dan Spear, 1986; Rawls, 1985). Infeksi HSV-2 primer pada mulut bisa terjadi dengan adanya HSV-1 rekuren. Infeksi perineal dan genital dibahas selanjutnya dalam bab ini.

Erupsi Varicelliformis Kaposi
   
Erupsi varicelliformis Kaposi merupakan penularan HSV pada permukaan tubuh. Sebelum ditemukannya terapi antiviral yang efektif, penyakit ini merupakan kondisi yang berpotensi mematikan. Sekarang ini mungkin masih membahayakan nyawa pasien. Penularan yang tersebar luas ini terjadi setelah inokulasi langsung HSV ke dalam epitelium skuamus terstratifikasi yang rusak, menghasilkan banyak kolonisasi primer. Pasien-pasien yang berisiko untuk penularan herpetik mencakup atopik, yang memiliki penyakit keratinisasi, dan pasien dengan imunosupresi yang disebabkan oleh abnormalitas kongenital, terapi obat imunosupresif, atau abnormalitas imun seluler yang didapat seperti infeksi HIV, limfoma, atau leukemia.

Herpes Simpleks Rekuren
   
Walaupun reaktivasi dan rekurensi infeksi HSV selanjutnya belum dipahami dengan baik, HSV-1 diketahui lebih antigenik dibanding HSV-2, yang lebih sering terkait dengan penyakit rekuren. Trauma psikis yang parah, imunosupresi aitrogenik, cedera cahaya ultraviolet, cedera termal, suar dermatitis atopik, dan penyakit sistemik, viral, dan bakteri signifikan semuanya merupakan kejadian-kejadian klinis yang terkait dengan reaktivasi dan semuanya terkait dengan infeksi HSV rekuren selanjutnya. Semakin parah imunosupresi, semakin sering rekurensi terjadi (Corey dan Spear, 1986).
   
Lesi-lesi kutaneous rekuren merupakan penyakit yang paling sering menyusahkan tetapi bisa mengarah pada dampak yang serius. Pada pasien yang mengalami dermatitis atopik, autoinokulasi bisa menyebarkan penyakit dan menghasilkan infeksi ekstensif. Keratokonjungtivitis rekuren bisa menyebabkan kerusakan parah pada kornea, yang menghasilkan scarring, perforasi, atau kebutaan (Gbr. 32-1). Cervicitis herpetik rekuren bisa juga menghasilkan masalah selama melahirkan. Penyakit aktif dan peluruhan aktif pada semester ketiga kehamilan pada umumnya dianggap sebagai indikasi kuat untuk operasi cesar.
   
Pada lesi klasik rekuren yang berlangsung lama, nyeri saraf pra-erupsi sering terjadi. Setelah banyak episode rekurensi, parestesia pasca-simpleks dari saraf yang terlibat bisa terjadi.
   
Diagnosis banding lesi-lesi herpetik pada membran mukus bisa diperparah oleh gejala-gejala kondisi-kondisi lain yang bisa disalahartikan, yang terlebih dahulu harus dipastikan sebelum diagnosis definitif bisa ditegakkan. Karena stomatitis aftosa bisa salah didiagnosa sebagai ulserasi herpetik, maka preparasi Tzanck, kultur HSV, dan biopsi harus dilakukan untuk menghindari kesalahan ini. Eritema oral rekuren multiformis bisa terkait atau tidak terkait dengan HSV (Brice dkk., 1989). Jadi jelas, pemfigus, pemfigoid cicatricial, erupsi obat, penyakit infeksi jamur dan lainnya juga bisa terkait dengan ulserasi oral, tetapi biopsi yang lebih baik, imunopatologi, kultur virus, kultur jamur, dan studi serologis bisa membedakan ini dari HSV.

Herpes Simpleks Genital
   
HSV genital merupakan penyakit-tertular-seksual kedua paling umum yang asal usulnya berkaitan dengan virus (US Department of Health and Human Services, 1989). Jutaan kasus baru ditemukan setiap tahun. Trauma emosional yang terkait dengan HSV genital sangat mengganggu pada wanita karena rasa takut akan menginfeksi anak-anak selama kehidupan intrauterin dan kelahiran. Diantara pasien-pasien penyakit tertular seksual, 46% dari wanita yang mendatangi klinis penyakit-tertular-seksual telah ditemukan terinfeksi dengan HSV-2 berbanding 8,8% dari kelompok universitas  yang dikontrol untuk usia (Koutsky dkk., 1990). Presentase tepat untuk kejadian HSV-1 tidak tersedia. Kedua jenis kelamin bisa menjadi pembawa asimptomatik sehingga bertindak sebagai reservoir kronis dan vektor penyakit.
   
Lesi-lesi HSV yang tertularkan secara seksual bisa ditemukan pada bagian manapun di tubuh, tetapi lesi yang paling tipikal ditemukan pada genitalia (Gbr. 32-2), dalam mulut, dan dalam anus, dimana lesi primer serta lesi rekuren bisa sangat ekstensif. Lesi-lesi rekuren cukup umum jika HSV-2 merupakan agen etiologinya. Frekuensi rekurensi tergantung bukan hanya pada tipe virus tetapi pada respons imun pasien terhadap virus penginfeksi juga. Kultur-kultur telah digunakan dengan baik dalam menentukan keberadaan HSV-1 dan HSV-2 tetapi tidak memiliki manfaat prognostik dalam memprediksikan penyakit rekuren.

Pasien-pasien penyakit-tertular-seksual (STD) harus menjalani pemeriksaan fisik yang cermat. Pemeriksaan harus melibatkan palpasi  pada semua kelenjar getah bening, pemeriksaan kulit permukaan seluruh tubuh termasuk tangan, kaki, anus, mulut, dada, dan genitalia. Pemeriksaan cermat pada mulut, nasofaring, dan genitalia harus dilakukan, khususnya pada pasien pria yang sering memiliki lesi pada penis dan anus dan dalam mulut. Pada kebanyakan pasien klinik STD, umum bagi STD untuk ditemukan, seperti papilomavirus manusia, syfilis, gonorrhea, chalmydia, chancroid, Trichomonas, dan infeksi HIV.
   
Lesi-lesi awal tipikal dari infeksi HSV tampak sebagai vesikel-vesikel padat yang berkelompok yang akan pecah dengan mudah dan menyisakan erosi-erosi dangkal yang sangat nyeri, yang bisa merupakan tanda kondisi lain disamping HSV. Ulser-ulser yang lunak seperti ini menunjukkan diagnosis banding yang harus mencakup chancroid, limfogranuloma venereum dan sifilis serta HSV. Lesi-lesi syfilis biasanya asimptomatik. Cukup jarang, herpes zoster bisa menghasilkan lesi-lesi pada genitalia yang bisa disalahartikan sebagai HSV.
   
Untuk menegakkan diagnosis ulserasi genital lunak yang tepat. Sebuah pemeriksaan di ruang gelap harus dilakukan, sertai uji warna Gram, preparasi Tzanck, HSV dan kultur herpes zoster, kultur chancroud, dan pada beberapa kasus biopsi insisional. Jika lesi herpes simpleks berkerak, lesi-lesi ini kecil kemungkinannya menghasilkan preparasi Tzanck positif tetapi bisa menghasilkan kultur viral positif. Sayangnya, lesi-lesi herpetik vaginal dan servikal sering asimptomatik. Keberadaannya ditemukan dengan penelitian fisik yang cermat, dan didiagnosa secara akurat dengan kultur viral.

Pencegahan
   
Sejauh ini metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi adalah penghindaran kontak atau penggunaan pembatas yang tidak dapat ditembus virus. Kondom lateks utuh merupakan pembatas yang paling efektif. Krim-krim spermatosida dan foam bisa merusak memusnahkan virus tetapi tidak efektif 100%. sabun dan air bisa memusnahkan virion dalam beberapa menit pertama setelah kontak, sehingga menjadikannya bermanfaat pada banyak permukaan kulit tetapi tidak praktis pada vagina dan cervix. Fenol, alkohol, iodin, dan klorofom semuanya merusak virus-virus ini dalam ruang-ruang ekstraseluler tetapi tidak praktis dalam penggunaan rutin pada kulit atau membran mukus.
   
Perkembangan vaksin manusia yang efektif masih belum terlalu pesat. Selama beberapa tahun, vaksin protein struktural utama telah banyak digunakan di Eropa dan terkadang di Amerika Serikat. Ini belum berhasil dalam mengimunisasi resipien-resipien atau dalam mencegah penyakit rekuren. Pembuatan vaksin terhadap HSV hewan telah membuka pintu untuk lebih meneliti vaksin HSV manusia. Pada model-model hewan, vaksin telah dibuat dari protein-protein struktural kecil dari HSV-1 telah terbukti tidak hanya dalam mencegah penyakit aktif dan kematian pada hewan-hewan yang diinokulasi tetapi juga berhasil dalam mencegah kolonisasi ganglia utama. Perkembangan vaksin-vaksin ini lebih lanjut diantisipasi, dan pengaplikasiannya pada penyakit manusia masih menunggu perkembangan selanjutnya. Perlu diperhatikan bahwa “vaksin-vaksin autogenous” tidak boleh dikembangkan dan tidak efektif. Ini hanya mengarah pada autoinokulasi dan terjadinya tempat-tempat inokulasi primer yang baru.
   
Penularan HSV-1 dan HSV-2 bisa menjadi bahaya nyata bagi personil medis. Virus-virus bisa ada selama beberapa hari pada instrumen yang terkontaminasi. Penggunaan sarung tangan, pembuangan alat yang sesuai, dan sterilisasi sangat disarankan dalam penanganan instrumen-instrumen yang terkontaminasi dan material-material limbah medis.

Terapi
   
Sejak tahun 1960an, banyak laporan yang menjelaskan efikasi berbagai pengobatan dalam pengobatan infeksi HSV ditemukan dalam literatur. Penggunaan BCG, autovaksin, vaksin polio, dan vaksin cowpox untuk meningkatkan sistem imun dan mengontrol rekurensi HSV dilaporkan tanpa validitas sains yang baik. Sekarang ini kita mulai memiliki agen-agen antiviral yang yang efektif dalam memusnahkan virus-virus dalam ruang-ruang ekstraseluler, tetapi obat-obat yang sama ini tidak mampu memberantas HSV dari sistem saraf pusat. Walaupun agen-agen antiviral ini tidak bisa memberantas HSV dari sistem saraf pusat, 5-iodo-2'-deoksiuridin (IDU0, adenin arabinosa (ara-A), dan sitosin arabinosida (ara-C) telah menjadi andalan untuk terapi fulminating eye dan infeksi HSV menular.
   
Pada pertengahan 1980an, asiklovir menjadi tersedia, dan dengannya sebuah revolusi dalam perawatan pasien-pasien HSV asimptomatik. Obat ini secara efektif menghambat pertumbuhan virus-virus HSV yang menghasilkan kinase thymidin kinase. Dalam sel-sel yang terinfeksi virus, thymidin kinase yang spesifik HSV memfosforilasi obat menjadi bentuk mono- di- dan tri-fosfatase nya. Enzim-enzim seluler kemudian mengonversi mon- dan di-fosfat ini menjadi trifosfat dari obat tersebut, yang menghambat DNA polimerase, sehingga mencegah pembentukan DNA yang lebih viral. Selama sel-sel infeksi mengandung kinase thymidin viral, proses inhibisi viral bisa terus berlanjut (Douglas, 1984).
   
Untungnya, HSV yang kekurangan thymidin kinase tidak umum, dan jumlah mutasi HSV dari yang menghasilkan thymidin kinase dengan yang kekurangan thymidin kinase biasanya terjadi dengan lambat. Pada kebanyakan kasus mutasi tidak terkait dengan resistensi viral yang signifikan terhadap asiklovir jika pasien imunokompeten. Pada pasien-pasien imunodefisien, lain lagi ceritanya. Virus yang kekurangna thymidin kinase bisa terbentuk meskipun pasien sedang menjalani pengobatan asiklovir, dan infeksi HSV bisa ditularkan. Jika ini terjadi, maka agen-agen antiviral lainnya yang tidak memerlukan aktivitas kinase tymidin untuk efektifitasnya harus digunakan pada pasien-pasien ini. IDU, ara-A, ara-C, dan khususnya sodium fosfanet bisa bermanfaat pada infeksi HSV yang kekurangan thymidin kinase (Sall dkk., 1989).
   
Pada tahun 1989, CDC setuju dengan otoritas-otoritas medis lainnya dan merekomendasikan agar HSV primer diobati dengan 200 mg asiklovir lewat mulut lima kali sehari selama 7-10 hari atau sampai penyembuhan klinis telah terjadi. Akan tetapi, mereka juga merekomendasikan agar herpes proctitis diobati dengan dengan 400 mg lewat mulut lima kali sehari selama 7-10 hari atau sampai penyembuhan klinis telah dicapai. Pasien yang dirawat inap karena infeksi progresif yang parah atau yang mengalami encephalitis, pneumonitis, atau komplikasi lain harus mendapatkan sekurang-kurangnya 5mg/kg berat tubuh secara aintravena setiap 8 jam selama 5-7 hari atau sampai pembersihan klinis telah terjadi (US Department of Health and Human Service, 1989).
   
Isu-isu seputar penggunaan asiklovir sebagai terapi sistemik untuk HSV rekuren terus diperdebatkan. Obat ini cukup mahal, sehingga tidak digunakan oleh departemen kesehatan pasien yang tidak mampu. Biayanya menjadi kendala karena untuk menekan lesi-lesi rekuren secara klinis, asiklovir harus diberikan menurut salah satu dari dua schedul, baik pada 200 mg dua kali sehari dengan basis tidak terbatas atau schedul sesekali yang dimulai jika terjadi rekurensi klinis. Karena asiklovir diekskresikan dalam ginjal dan bisa membentuk kristal jika output ginjal rendah, maka terapi jangka panjang memerlukan pemantauan yang sering terhadap kadar kreatinin serum dan bersihkan kreatinin. Dengan demikian direkomendasikan agar terapi asiklovir kontinyu tidak melebihi 1 tahun. Pengobatan pasien-pasien yang tertekan sistem kekebalannya bisa memerlukan dosis yang tinggi, dosis yang lama, dan variasi obat karena resistens virus.
   
Penggunaan asiklovir pada wanita hamil juga masih terus diperdebatkan. Obat ini hanya boleh digunakan pada infeksi-infeksi yang membayakan nyawa pasien dan merupakan pengobatan yang dipilih untuk neonatus yang terinfeksi. Asiklovir tidak direkomendasikan untuk wanita selama kelahiran jika diketahui membawa virus, karena ketiadaan peluruhan virus tidak menjamin kegunaannya. Karena bahaya terhadap janin setelah kerusakan prematur membran ambiotik neonatal saat kelahiran, pasien HSV yang simptomatik atau asimptomatik pada saat kelahiran harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk operasi cesar.
   
Bentuk-bentuk terapi yang lain untuk infeksi  yang perlu disebutkan untuk pertimbangan di masa mendatang adalah interferon dan gansiklovir. Interferon memegang peranan utama dalam mengendalikan migrasi virus infeksi dari sel ke sel. Kegunaannya dalam penyakit klinis sebagai pengobatan utama masih menunjukkan klarifikasi di masa mendatang (Pazin dkk., 1987). Gansiklovir telah dikembangkan untuk digunakan dalam infeksi-infeksi sitomegalovirus (Fletcher dan Baflour, 1990). Walaupun cukup berhasil dalam mengontrol infeksi sitomegalovirus pada pasien-pasien yang tertekan sistem kekebalannya, kegunaannya pada infeksi HSV yang resisten masih mengecewakan.

Manajemen dan Konseling Pasangan
   
Pasien dengan infeksi HSV genital harus diberi tahu tentang riwayat alami penyakit yang mereka alami. mereka juga harus dinasihati untuk tidak melakukan aktivitas seksual apabila terdapat lesi terbuka. Mereka harus diberi tahu tentang peluruhan viral asimptomatik karena mereka bisa menjadi reservoir virus dan mentransmisikan penyakitnya selama periode-periode peluruhan asimptomatik tersebut. Masalah dan risiko infeksi neonatal harus dijelaskan kepada pria dan wanita yang mengalami herpes genital. Wanita usia melahirkan yang mengalami herpes genital harus menyarankan kepada dokter mereka tentang riwayat yang mereka alami sehingga kehamilan di masa mendatang bisa dievaluasi dengan benar (Asano dkk., 1989).

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Herpes Genital