Arsenik darah sebagai biomarker keterpaparan arsenik: Hasil dari sebuah penelitian prospektif

Abstrak

Keterpaparan terhadap air minum yang terkontaminasi arsenik mengenai jutaan orang di dunia. Keterpaparan arsenik terkait dengan penyakit kulit, efek terhadap kulit, paru-paru, kanker ginjal dan hati, dan efek-efek kardiovaskular. Penelitian-penelitian di masa lalu yang melibatkan biomarker keterpaparan As biasanya mengevaluasi kadar As dalam urin (UAs) (disesuaikan untuk kreatinin urin), As pada rambut atau kuku kaki, tetapi tidak memeriksa As darah (BAs) karena konsentrasi dalam darah sangat rendah dan tidak terdeteksi dengan teknik-teknik spektrofometri serapan atom konvensional.
   
Pada sebuah analisis kasus-kohort terhadap 303 kasus penyakit kulit yang baru didiagnosa, dan 849 anggota sub-kohort yang dipilih secara acak dari 8092 partisipan studi HEALS di Araihazar, Bangladesh, kami mengevaluasi darah, urin, dan konsentrasi As air, dan meneliti hubungannya satu sama lain, dan hubungannya dengan risiko penyakit kulit. Konsentrasi BAs sangat terkait dengan konsentrasi UAs tersesuaikan kreatinin (r=0,85) dan terkait dengan air As air (Was) (r = 0,75). Kami mengamati hubungan dosis-respons yang konsisten antara risiko penyakit kulit dengan semua tolok-ukur keterpaparan As. Rasio angka (RR) untuk penyakit kulit berdasarkan kuintil keterpaparan As, yang disesuaikan untuk usia dan jender, menunjukkan bahwa dua kuintil tertinggi secara signifikan terkait dengan risiko penyakit kulit yang meningkat untuk masing-masing tolok-ukur keterpaparan yaitu: BAs, UAs, Was dan variabel As air. Penelitian prospektif ini menguatkan risiko penyakit kulit yang meningkat dalam kaitannya dengan konsentrasi As dalam darah, urin dan air dan juga menegaskan bahwa BAs merupakan sebuah biomarker yang bermanfaat untuk keterpaparan As dalam penelitian ini.

Kata kunci: Arsenik, Biomarker darah, Lesi kulit, Studi kasus-kohort, Bangladesh.

1. Latar belakang
   
Keterpaparan terhadap air minum yang terkontaminasi arsenik (As) mengenai puluhan juta orang di seluruh dunia (Rahman dkk., 2001). Arsenik anorganik (InAs) dilepaskan dari deposit-deposit mineral yang terbentuk secara alami dan masuk ke dalam akuifer bawah tanah melalui proses yang belum dipahami dengan baik. Bangladesh merupakan salah satu daerah yang paling parah dimana sekitar 50% dari 125 juta penduduk negara ini mengkonsumsi air yang mengandung kadar As yang lebih dari standar (10 µg/l) yang ditentukan oleh WHO.
   
Arsenikosis, toksisitas As akibat keterpaparan kronis, timbul dalam bentuk berbagai penyakit kulit, kardiovaskular, saraf, hepatik, hematologi, endokrin dan sistem ginjal. Dengan dikategorikan sebagai karsinogen manusia kelas I oleh WHO, As terkait dengan kanker kulit, paru-paru, kandung kemih, ginjal, dan kanker hati (Smith dkk., 2000). Kulit merupakan organ utama akumulasi As dan keterpaparan kronis menghasilkan perubahan-perubahan karakteristik pada pigmentasi (hiperpigmentasi dan hipopigmentasi), diikuti dengan hiperkeratosis, dan, setelah keterpaparan yang lama, menyebabkan kanker kulit. Mortalitas seumur hidup dari kanker internal terkait arsenik telah diperkirakan menjadi dua kali lipat karena As dalam air minum di populasi Bangladesh, dibanding dengan perkiraan tanpa adanya keterpaparan As.
   
Penelitian-penelitian yang telah menggunakan biomarker untuk menilai keterpaparan As pada umumnya hanya melibatkan pengukuran konsentrasi As dalam urin, rambut dan/atau kuku kaki, karena afinitas unsur ini terhadap gugus sulfidril yang melimpah dalam keratin; sehingga, konsentrasi As pada jaringan-jaringan yang lambat tumbuh ini dianggap sebagai tolok-ukur yang baik untuk keterpaparan di masa lalu. Karena dosis tunggal As dapat dibersihkan dengan cepat dan ekstensif dari darah melalui ginjal, maka konsentrasi As dalam darah (BAs) telah dianggap hanya menunjukkan keterpaparan terbaru (Pomroy dkk., 1980). Akan tetapi, dengan keterpaparan kronis yang terus menerus, konsentrasi tetap dalam darah dan urin dicapai; ini memiliki potensi untuk berfungsi sebagai biomarker terhadap keterpaparan di masa lalu. As urin (UAs) telah digunakan pada banyak penelitian epidemiologi, meskipun kurangnya validasi sebagai sebuah biomarker, karena pengambilan sampelnya tidak invasif dan terkait dengan pengukuran As air (WAs). Akan tetapi, UAs merupakan sebuah cerminan dari eksresi As dan tidak merupakan beban jaringan aktual (Klassen, 2001), dan kompleksitas-kompleksitas signifikan diperkenalkan ketika konsentrasi urin dinormalisasi untuk kreatinin urin (Cr) untuk disesuaikan dengan status hidrasi. Kami mengusulkan bahwa dengan keterpaparan jangka-panjang, BAs – yang mendapatkan input bukan hanya dari keterpaparan eksogen terbaru tetapi juga dari bagian-bagian jaringan – bisa mencerminkan bebas As internal total pada seseorang dengan lebih baik.
   
Kemajuan dalam hal instrumentasi, utamanya penemuan ICP-MS, telah mengatasi kekurangan-kekurangan yang sebelumnya menjadi penyebab tidak praktisnya konsentrasi BAs untuk penilaian keterpaparan As. Jika dibandingkan dengan alat-alat yang digunakan dalam laboratorium-laboratorium logam runut, seperti GFAA, ICP-MS memiliki batas deteksi yang sangat baik, kapabilitas multi-elemen, dan kinerja proses yang tinggi, sehingga menjadikan pengukuran BAs dapat diandalkan untuk penelitian-penelitian epidemiologi skala besar. Dengan demikian, dengan menggunakan desain studi kasus-kohort, kami mengevaluasi ukuran-ukuran keterpaparan As, yang mencakup konsentrasi As dalam air, urin dan darah.

2. Metode

2.1 Studi HEALS (penelitian longitudinal tentang pengaruh arsenik)
   
HEALS merupakan sebuah penelitian kohort prospektif di Araihazar, Bangladesh dengan tujuan utama untuk meneliti pengaruh kesehatan keterpaparan As dari air minum. Ini merupakan penelitian induk yang disajikan disini dan rincian metodologi penelitian telah disebutkan dalam literatur lain. Ringkasnya, sebelum perekrutan subjek, sampel-sampel air dan data sistem posisi geografis dikumpulkan untuk 5966 sumur yang berdekatan dalam area geografis yang telah ditentukan seluas 25 km2 di Araihazar, Bangladesh. Informasi demografi tentang pengguna sumur dikumpulkan untuk membuat kerangka pengambilan sampel untuk HELAS (Parvez dkk., 2006). Antara Oktober 2000 dan Mei 2002, sebanyak 11.746 pria dan wanita berusia 18 tahun keatas direkrut, dengan jumlah partisipan 97,5%. Kohort HEALS ditindaklanjuti dengan kunjungan perorangan pada  interval 2 tahun. Izin lisan didapatkan dari masing-masing responden yang memenuhi syarat yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Prosedur penelitian disetujui oleh Columbia University Institutional Review Board and the Ethical Comittee dari Dewan Penelitian Medis Bangladesh.
   
Pada saat perekrutan. Sampel darah vena utuh awal dikumpulkan dalam 3 mL EDTA Vacutainers untuk 91,8% dari total 11.746 partisipan kohort. Sampel urin spot dikumpulkan dalam 50 ml tabung pada awal dan pada kunjungan lanjutan setelah 2 tahun untuk 95,6% dan 94,5% dari partisipan kohort, masing-masing. Sampel darah dan urin disimpan dalam pendingin yang mudah dibawa-bawa (dibawa oleh tim penelitian) setelah pengumpulan. Dalam 2-8 jam, sampel darah dan urin dibekukan pada suhu -20oC di kantor penelitian kota Dhaka. Semua sampel dibiarkan membeku dan dikirim ke Universitas Columbia pada es kering dalam 1-2 bulan.

2.2 Pemilihan kasus dan sub-kohort
   
Dokter terlatih melakukan pemeriksaan fisik komprehensif pada kunjungan awal dan kunjungan lanjutan. Atau atau tidak ada, tipe, ukuran, bentuk penyakit kulit dan luasan keterlibatan kulit dicatat. Dokter disamarkan terhadap informasi keterpaparan As partisipan. Dalam penelitian ini, keberadaan penyakit kulit didefinisikan sebagai keberadaan melanosis, leykomelanosis, dan/atau keratosis dalam bentuk manapun.
   
Desain studi kohort digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara kadar BAs dan risiko penyakit kulit. Diantara 9727 partisipan yang memberikan sampel urin dan darah dan menyelesaikan pemeriksaan fisik pada kunjungan awal, 712 mengalami prevalensi kulit. Yang dikeluarkan dari penelitian adalah 923 subjek yang dipilih secara acak yang sampel darahnya sebelumnya digunakan dalam sebuah penelitian kerentanan genetik. Analisis kali ini mencakup 10,5% sampel acak dari sisa 8092 partisipan (n = 849) dan 303 kasus penyakit kulit yang baru didiagnosa. Sebanyak 303 kasus penyakit kulit didiagnosa pada follow-up 2 tahun dari 9082 partisipan antara November 2002 dan April 2004. Diantara 303 kasus yang baru didiagnosa, 31 juga merupakan bagian dari 849 anggota kohort.

2.3. Pengukuran keterpaparan As
   
Pada awal penelitian, sampel-sampel air dari 5966 sumur tabung di wilayah penelitian dikumpulkan dalam tabung-tabung berukuran 50 mL setelah pemompaan selama 5 menit. Konsentrasi As total ditentukan oleh GFAA dengan sistem Hitachi Z-8200 di Lamont-Doherty Earth observatory of Columbia University; batas pendeteksian dari metode ini adalah 5 µg/L. Sampel-sampel yang mengandung konsentrasi kurang dari ini selanjutnya dianalisis dengan ICP-MS, yang memiliki batas deteksi 0,1 µg/L. Analisis sampel runtun-waktu yang dikumpulkan dari 20 sumur tabung di daerah penelitian menunjukkan bahwa standar deviasi konsentrasi As air tanah adalah < 10 µg/L selama 3 tahun. Dengan konsentrasi As dalam air sumur yang relatif stabil dari waktu ke waktu, kami mendapatkan ukuran As tertimbang waktu (TWA) sebagai sebuah fungsi durasi minum dan konsentrasi As sumur. Disamping informasi tentang sumur sekarang, durasi minum dan konsentrasi As sumur sebelum sebelumnya dipertimbangkan dalam perhitungan TWA untuk partisipasipan yang sebelumnya memiliki sumur air minum yang telah diuji. TWA mewakili keterpaparan As rata-rata yang berkembang selama 9 tahun rata-rata dalam anggota kohort sebelum waktu kunjungan pertama.
   
Konsentrasi UAs total diukur dengan GFAA, menggunakan sistem furnace grafit Perkin-Elmer Aanalyst 600, seperti yang telah dielaskan sebelumnya. Kreatinin urin dinilai dengan alat kolorimetri Sigma Diagnostic Kit untuk menyesuaikan berdasarkan status hidrasi.

2.4. Pengukuran As dalam darah utuh
   
Sampel-sampel darah utuh dianalisis untuk konsentrasi BAs dengan menggunakan Perkin-Elmer Elan DRC II ICP-MS dilengkapi dengan autosampler AS 93+. Metode-metode ICP-MS-DRC untuk logam-logam dalam darah utuh dikembangkan dari metode-metode yang telah dipublikasikan, dengan beberapa modifikasi preparasi sampel darah sebagaimana dianjurkan oleh Laboratory for ICP-MS Comparison Program, Institut National de Sante Publique de Quebec. Sampel-saampel darah utuh dicairkan, dicampur secara merata, kemudian diencerkan 50 kali dengan pengencer yang mengandung 1% HNO3 + 0,2% Triton X-100 + 0,5% NH4OH. Sampel-sampel kemudian disentrifugasi selama 10 menit pada 3500 rpm, dan lapisan teratas dipersiapkan untuk analisis. Larutan standar digunakan untuk kalibrasi instrumen. Konsentrasi As pada larutan standar dipilih untuk mencakup rentang konsentrasi As yang diduga dalam sampel darah: 5, 25, dan 50 µg/L. Interferensi imbas matriks dikoreksi dengan pemilihan sebuah standar internal yang disesuaikan dengan massa dan sifat ionisasi As, yakni iridium (Ir). Larutan spiking standar internal stok dipersiapkan dan ditambahkan ke semua kalibrator dan sampel dalam konsentrasi yang sama, 10 ng Ir per tabung. Interferensi poliatomik ditekan dengan fitur teknologi DRC (sel reaksi dinamik instrumen), dengan memanfaatkan oksigen sebagai sebuah gas kedua. Setelah instrumen dikalibrasi, sampel-sampel kontrol kualitas (sampel darah dengan konsentrasi analit yang diketahui didapatkan dari Laboratory for ICP-MS Comparison Program di Quebec) dijalankan. Sampel darah kontrol berkualitas dibeli untuk menutupi rentang konsentrasi analit yang diinginkan dan dilakukan setiap hari. Selama periode dimana semua sampel penelitian ini dianalisis, koefisien variasi intra-presisi untuk As darah adalah 12,8%.

2.5 Analisis statistik
   
Subkohort merupakan sebuah sebuah representasi yang baik untuk populasi sumber. Korelasi Spearman dihitung untuk perbandingan berpasangan BAs, WAs, dan total UAs diukur pada awal dalam sub-kohort. Kami juga melakukan model-model regresi linear untuk mengevaluasi hubungan WAs dengan BAs dan total UAs dengan mengontrol usia, jender, indeks massa tubuh (BMI), dan status merokok.
   
Rasio tingkat insidens (RR) untuk penyakit kulit diperkirakan dengan menggunakan model bahaya proporsional Cox dengan prosedur PROC PHREG untuk SAS. Kesalahan-kesalahan standar diperkirakan dengan menggunakan estimator varians kuat yang diusulkan oleh Barlow (Barlow dkk., 1999). Kohort acak ditimbang dengan invers fraksi sampling dari populasi sumber. Set risiko dibuat dengan usia pada saat kunjungan follow-up sebagai sebuah variabel pencocok. Untuk masing-masing kasus, anggota sub-kohort acak yang usianya pada saat follow-up lebih dari usia kasus sebesar ≤3 tahun dimasukkan sebagai perbandingan untuk kasus, yakni, yang belum didiagnosa dengan penyakit kulit pada usia dimana kasus didiagnosa. Kategori-kategori keterpaparan arsenik ditentukan berdasarkan nilai-nilai kuintil pada sub-kohort. Disamping usia dan jender, RR disesuaikan untuk BMI dan status merokok.

3. Hasil
   
Tabel 1 merangkum karakteristik kasus penyakit kulit (n = 303) dan sub-kohort (n = 849). Kasus-kasus lebih besar kemungkinannya pria, lebih tua, kurang terdidik dan pernah merokok. BMI secara esensial sama pada kedua kelompok. Untuk masing-masing pengukuran keterpaparan As, nilai awal rata-rata lebih tinggi pada kasus: ini mencakup UAs, BAs, dan WAs, dan TWA. Jika dibandingkan dengan sub-kohort, kasus lebih besar kemungkinannya telah mengganti sumber air minum sejak penilaian awal 2 tahun sebelumnya.
   
Rasio jumlah untuk penyakit kulit berdasarkan kuintil dari empat ukuran keterpaparan As ditunjukkan pada Tabel 2. Setelah disesuaikan untuk usia dan jender, ada trend dosis-respons untuk risiko penyakit-penyakit kulit dalam kaitannya dengan keempat ukuran As. Rasio jumlah cukup mirip setelah penyesuaian tambahan untuk BMI dan status merokok.
   
Diantara anggota sub-kohort, BAs berkorelasi kuat dengan WAs dan dengan UAs. Plot-plot hubungan antara WAs, BAs, dan UAs dari anggota-anggota sub-kohort yang minum hanya dari satu sumur ditunjukkan pada Gbr. 1, untuk seluruh rentang keterpaparan (n = 724), dan untuk WAs < 50 µg/L ( n = 341). Pada masing-masing kasus, korelasi yang paling kuat diamati antara BAs dan UAs (r = 0,85 dan 0,65 masing-masing).
   
Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa BAs dan UAs berhubungan positif dengan konsentrasi WAs dan merokok, dan terkait terbalik dengan BMI (Tabel 3). Jika dibandingkan dengan wanita, pria memiliki konsentrasi UAs yang jauh lebih rendah, sebelum dan setelah penyesuaian untuk kreatinin. Pria juga memiliki kadar BAs yang lebih tinggi, meskipun ini tidak mencapai signifikansi. BAs juga tampak berkurang seiring dengan usia.

4. Pembahasan
   
Disini, kami melaporkan temuan-temuan dari analisis kasus-kohort yang berkaitan dengan risiko penyakit kulit dalam kaitannya dengan empat ukuran keterpaparan As yaitu: air sumur, urin, darah dan asupan As tertimbang waktu. Kami mengamati sebuah hubungan dosis-respons antara risiko penyakit kulit dan keempat ukuran keterpaparan. BAs dan UAs paling kuat berkorelasi satu sama lain dan berkorelasi serupa dengan WAs. Bioavailabilitas arsenik dalam makanan tidak diketahui tetapi bisa berkontribusi sebagian bagi korelasi tidak sempurna antara biomarker arsenik dan konsentrasi arsenik pada air sumur. Kandungan arsenik dalam makanan tergantung pada konsentrasi arsenik dalam tanah, dalam air yang digunakan untuk mencuci dan memasak, dalam air yang digunakan untuk irigasi, dalam pestisida, dan dalam berbagai proses memasak. Dengan demikian, evaluasi kandungan arsenik dalam diet cukup kompleks dan tidak termasuk dalam cakupan penelitian kali ini tetapi akan dibahas pada penelitian HEALS selanjutnya.
   
Disamping itu, kami mengavaluasi kekuatan hubungan antara biomarker-biomarker ini dan penyakit kulit yang ditimbulkan As. Meskipun beberapa penelitian sebelumnya meneliti risiko penyakit kulit terkait As dengan menggunakan ukuran ekologi atau retrospektif, namun ini merupakan penelitian prospektif skala bersar pertama yang menggunakan ukuran keterpaparan tingkat perorangan.
   
Kami mengamati peningkatan RR untuk penyakit kulit dalam kaitannya dengan semua ukuran keterpaparan As. Hubungan dosis-respons yang diamati dalam penelitian kali ini menguatkan temuan kami dalam analisis cross-sectional terhadap data awal, tetapi lebih lemah dibanding yang diamati pada penelitian cross-sectional dasar dari seluruh kohort yang berjumlah 11.746 (Ahsan dkk., 2006b). Signifikansi statistik hanya dicapai pada dua kuntil tertinggi dari keterpaparan As. Ini konsisten dengan kecenderungan hubungan keterpaparan-penyakit yang lebih lemah dalam analisis-analisis kohort prospektif sebagaimana dibandingkan dengan analisis cross-sectional atau kasus kontrol. Atau, perubahan keterpaparan As selama periode follow-up bisa telah mempengaruhi perkiraan rasio, khususnya yang terkait dengan keterpaparan As tingkat rendah. Akan tetapi, dalam sebuah analisis terpisah, perkiraan OR dengan penyesuaian tambahan untuk UAs yang diukur pada saat follow-up tetap hampir sama (data tidak ditunjukkan). Dalam analisis mendatang terhadap kohort ini, dengan peningkatan waktu follow-up dan jumlah kasus yang dikembangkan, kita akan mampu mengevaluasi apakah sub-kelompok tertentu dari populasi lebih rentan terhadap risiko penyakit kulit pada tingkat keterpaparan As yang rendah. Ini akan bermanfaat karena risiko penyakit terkait As pada tingkat maksimum (MCL) belum diukur secara prospektif, tetapi masih bergantung pada ekstrapolasi dari skenario dosis-tinggi (Schoen dkk., 2004; NRC, 1999). Disamping itu, kita akan mampu mengevaluasi apakah peralihan jangka panjang terhadap air yang aman memiliki pengaruh terhadap hubungan dosis-respons.
   
Biomarker yang lebih baik diperlukan untuk membantu mengetahui pengetahuan mekanistik tentang toksisitas As dan untuk penilaian risiko. Dalam menerapkan paradigma manajemen/penilaian risiko The National Academy of Science, Tchounwou dkk menjelaskan diperlukannya penilaian dosis-respons yang lebih baik, penilaian keterpaparan dan karakterisasi risiko, untuk secara realistis membuat keputusan manajemen risiko. Total kadar BAs bisa berkontribusi bagi upaya-upaya ini karena mewakili sebuah ukuran dosis internal. Data metabolit BAs bisa memberikan pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan metabolik yang mengarah pada perbedaan kerentanaan terhadap arsenikosis tetapi, karena metabolit BAs tidak dapat dideteksi dalam rentang keterpaparan rendah, maka kegunaannya bisa terbatas dalam penelitian penilaian risiko. Demikian juga, studi dosis-respons terhadap individu yang mengalami keterpaparan kronis terus menerus, pada rentang keterpaparan yang luas paling baik dilakukan dengan menganalisis konsentrasi BAs total. Analisis komparatif kadar BAs dengan biomarker efek biologis awal akibat toksisitas As, seperti kerusakan DNA atau penanda tekanan oksidatif, kemungkinan akan membantu pada variasi-variasi biologis yang menyebabkan beberapa orang lebih rentan. Disamping itu, dengan menggunakan metode SSA, Wu dkk melaporkan hubungan positif antara BAs dan oksidan reaktif plasma, dan hubungan terbalik dengan kapasitas antioksidan plasma (Wu dkk., 2001). Disamping itu, dengan menggunakan teknologi mikroarray cDNA, mereka menentukan bahwa gen-gen mediator inflammatory, meskipun memegang peranan dalam atherosklerosis imbas As, meningkat ketika kadar BAs meningkat. Dengan demikian kelihatan menjanjikan bahwa penggunaan BAs sebagai sebuah biomarker keterpaparan bisa menunjukkan efek-efek biologis awal yang mendahului penyakit yang tampak.
   
Kelebihan utama lainnya dari pengukuran BAs adalah bahwa penyesuaian untuk kreatinin tidak diperlukan. Beberapa variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, ras/etnisitas, dan BMI merupakan prediktor signifikan untuk kreatinin urin, sehingga membaurkan ekspresi UAs sebagai µg/g kreatinin. Disamping itu, folat merupakan sebuah pengarah penting untuk reaksi metilasi As. Gamble dan rekan-rekannya melaporkan bahwa ekspresi total UAs per gram kreatinin mengganggu hubungan antara folat dan metabolisme As karena kreatin otot – yang merupakan prekursor kreatinin – adalah produk utama dari metabolisme satu-karbon, sebuah jalur yang tergantung folat. Lebih daripada itu, kreatinin urin merupakan penentu signifikan untuk proporsi UAs yang diperkirakan sebagai dimetilarsenik (DMA), kemungkinan karena kreatinin urin secara langsung mencerminkan integritas dan/atau kecukupan jalur metabolik satu-karbon. Penghilangan kompleksitas yang diperkenalkan oleh penyesuaian analit urin untuk kreatinin tampaknya memiliki kelebihan utama dibanding penggunaan kadar As dalam darah sebagai biomarker.
   
Seperti pada analisis cross-sectional baseline kami sebelumnya, kami menemukan bahwa partisipan pria, perokok, dan partisipan dengan BMMI rendah lebih rentan terhadap penyakit kulit terkait As pada tingkat keterpaparan As tertentu. Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam penelitian kali ini, jender pria terkait positif dengan BAs dan terkait terbalik dengan UAs, dan sehingga BAs lebih erat kaitannya dengan status merokok dibanding UAs. Tidak diragukan lagi, karena pengukuran UAs tidak invasif, mereka kemungkinan akan terus menjadi sebuah alat penting dalam memantau populasi-populasi yang terpapar, meskipun ada fakta bahwa mereka melibatkan dua pengukuran (yakni As dan kreatinin atau gravitas spesifik), dan dua sumber kesalahan eksperimental.
   
Analisis kuku kaki menjadi ukuran yang terpercaya terhadap keterpaparan As di masa lalu (Karagas dkk., 2000). Akan tetapi, As kuku mencerminkan beberapa bulan keterpaparan tetapi tidak menunjukkan keterpaparan terbaru, dan tidak bisa digunakan untuk menilai hubungan antara keterpaparan dan produk-sampingan labil dari metabolisme. Metode-metode yang ada sekarang untuk menganalisis As kuku hanya mengukur total As. Disamping itu, As kuku bisa memiliki manfaat yang terbatas pada populasi yang sangat terpapar. Dalam sebuah penelitian kuku sebagai biomarker keterpaparan As di Mongolia Dalam, Schmitt dkk melaporkan bahwa konsentrasi As air sumur pada kelompok keterpaparan tinggi 50 kali lebih besar dibanding kelompok keterpaparan rendah, tetapi konsentrasi As kuku hanya menunjukkan perbedaan 20 kali lipat, sehingga kemungkinan menunjukkan bahwa kuku bisa menjadi jenuh dengan As. Demikian juga, biomarker ini bisa menjadi paling sesuai ketika keterpaparan As air perorangan sangat rendah atau ketika ukuran keterpaparan terintegrasi waktu diperlukan.
   
Ringkasnya, dengan menggunakan ukuran keterpaparan As ganda, kami menemukan hubungan dosis-respons antara risiko penyakit kulit dan keterpaparan As dari air minum, yang menguatkan temuan dari berbagai penelitian cross-sectional dalam literatur. Kami juga menunjukkan bahwa BAs merupakan biomarker yang baik untuk keterpaparan As dalam populasi ini. korelasi kuat ditemukan antara BAs dan UAs, dan antara BAs dan As air membenarkan penggunaan ketiga biomarker dalam penelitian HEALS di masa mendatang, dimana pilihan penanda keterpaparan yang sesuai bisa didasarkan pada desain penelitian dan parameter-parameter logistik.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk