Pengaruh Larutan Garam Hipertonik (10%) pada Pasien-Pasien Dengan Tekanan Intrakranial yang Meningkat Setelah Stroke

Abstrak

Latar belakang dan tujuan – Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek larutan garam hipertonik pada pasien-pasien stroke yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial (CIP) setelah terapi konvesional dengan mannitol tidak berhasil.

Metode – Sebanyak 22 episode krisis ICP terjadi pada 8 pasien dimana pengobatan standar 200 mL mannitol 20% tidak efektif. Krisis ICP didefinisikan sebagai peningkatan ICP 20 mm Hg (n=18), abnormalitas pupillary (n = 3), atau kombinasi keduanya (n = 1). Pasien-pasien diobati dengan 75 mL larutan-garam 10% selama 15 menit. ICP, tekanan darah arterial rata-rata, dan tekanan perfusi serebral dipantau selama 4 jam. Gas darah, hematokrit, hemoglobin, pH, osmolaritas, dan kadar elektrolit diukur sebelum dan 15 dan 60 menit setelah dimulainya infusi. Pengobatan dianggap efektif jika ICP berkurang > 100% atau reaksi pupillary telah menjadi normal.

Hasil – Pengobatan efektif pada ke 22 episode. Penurunan ICP maksimum adalah 9,9 mm Hg 35 menit setelah dimulainya infusi. Setelah itu, ICP mulai meningkat kembali. Tidak ada efek konstan terhadap tekanan darah arterial rata-rata, sedangkan tekanan perfusi serebral meningkat secara konsisten. Osmolaritas darah meningkat sebesar 9 mmol/L dan sodium serum sebesar 5,6 mmol/L. Kadar potassium, hemoglobin, hematokrit, dan pH sedikit berkurang. Tidak ada efek samping tidak diharapkan yang terjadi.

Kesimpulan – Infusi 75 mL larutan-garam hipertonik (10%) mengurangi ICP yang meningkat dan meningkatkan tekanan perfusi serebral pada pasien-pasien stroke yang telah gagal diobati dengan mannitol. Efek terhadap ICP dan tekanan perfusi serebral mencapai maksimum setelah akhir infusi dan diamati selama 4 jam.

Kata kunci: edema otak, larutan hipertonik, larutan garam, tekanan intrakranial, stroke.


Dalam beberapa hari pertama setelah stroke hemisferik, luasan dan lokasi edema otak yang terjadi, yang mengarah pada hipertensi intrakranial, pergeseran jaringan otak, dan herniasi tentorial, merupakan penyebab-penyebab utama kematian. Selama beberapa tahun, beberapa opsi pengobatan tradisional seperti barbiturat atau hiperventilasi tidak menjanjikan lagi karena telah diketahui bahwa terapi-terapi ini bisa mengurangi tekanan perfusi serebral (CPP) dan bahkan bisa menyebabkan kerusakan ischemik sekunder. Dalam hal ini, larutan hipertonik menawarkan sebuah alternatif menarik karena mengurangi tekanan intrakranial yang meningkat (ICP) tanpa adanya efek negatif terhadap CPP. Beberapa zat hipertonik telah digunakan, yang paling ekstensif adalah mannitol. Walaupun trial-trial acak berskala besar belum dilakukan, berbagai penelitian klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa dosis tunggal mannitol mengurangi ICP yang meningkat, sekurang-kurangnya secara sementara. Akan tetapi, ada beberapa aspek yang menghambat antusiasme menggunakan mannitol untuk pasien-pasien stroke. Pertama, hampir semua penelitian klinis skala besar dengan mannitol dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala; penelitian-penelitian serupa pada pasien stroke belum dilakukan. Kedua, efek manfaat jangka-panjang mannitol tidak diketahui. Ketiga, ada beberapa bukti bahwa dosis mannitol yang berulang bisa memperburuk edema otak. Selain itu, mannitol gagal untuk menjadi efektif pada beberapa pasien, khususnya setelah dosis berulang. Dengan demikian, terapi-terapi alternatif untuk ICP yang meningkat dianjurkan.
  
Larutan-garam hipertonik pada awalnya digunakan untuk “resusitasi volume kecil” pada pasien-pasien yang mengalami syok perdarahan. Jika dibandingkan dengan terapi syok standar, prosedur resusitasi volume kecil menghasilkan ekspansi volume yang lebih cepat; meningkatkan output jantung, tekanan darah sistemik, dan perfusi mikrovaskular; dan bisa memperbaiki kelangsungan hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak bukti yang telah ditemukan dari beberapa studi kasus dan trial acak skala kecil bahwa larutan-garam hipertonik bisa menjadi pengobatan yang efektif untuk edema otak dan ICP yang meningkat setelah trauma kepala. Pada pasien dengan stroke, preparasi larutan-garam hipertonik baru diamati secara anekdot. Pada sebuah studi kasus prospektif skala kecil, Qureshi dkk tidak dapat mendeteksi adanya efek bermanfaat dari infusi kontinyu 3% larutan-garam/asetat pada 14 pasien yang telah mengalami stroke berat. Pada sebuah penelitian acak skala kecil sebelumnya, efek infusi bolus mannitol dan larutan-garam hipertonik (7,5%) larutan starch hidroksietil (HS-HES) pada pasien stroke dengan ICP yang meningkat akut, dibandingkan. Infnusi kedua zat sangat menurunkan ICP yang meningkat. Akan tetapi, pada penelitian ini, starch hidroksietil ditambahkan ke larutan-garam hipertonik untuk memperbesar aksi larutan-garam hipertonik, sehingga peranan larutan-garam hipertonik sendiri tidak ditentukan.
  
Tujuan dari studi kasus prospektif kali ini adalah untuk mengevaluasi efek infusi bolus larutan-garam hipertonik tanpa penambahan zat augmentatif pada pasien-pasien yang mengalami peningkatan ICP akut setelah terapi konvensional dengan mannitol tidak berhasil.

Bahan dan metode
  
Dari Januari sampai Juli 2001, 8 pasien konsekutif dengan ICP meningkat setelah stroke hemisferik akut (n=6) atau perdarahan supratentorial dengan edema perifocal berat (n=2) dimasukkan dalam penelitian ini. Semua pasien diobati dalam unit perawatan neurokritikal sesuai dengan protokol institusional utnuk pasien-pasien stroke yang mengalami peningkatan ICP. Semua pasien diintubasi, diventilasi, dan dianestesi dengan analgesik dan sedatif. Pasien dirawat pada posisi tegak 30o. Parameter-parameter ventilasi disesuaikan untuk mencapai normocapnia dan PaO2 >90 mmHg. ICP dipantau secara kontinyu dengan peranti ICP intraprankimatosa (n=6) ipsilateral ke lesi atau melalui sebuah kateter ventrikular (n=2). ICP, oksigenasi pulsa, denyut jantung, dan tekanan darah arterial rata-rata (MAP) dipantau secara kontinyu. Cairan-cairan kristalin dan larutan-larutan koloidal (starch hidroksietil) diberikan untuk mencapai tekanan vena sentral 12 sampai 16 cm H2O. Jika substitusi volume tidak cukup untuk mencapai CPP ≥70 mmHg, kami memberikan norepinefrin dan/atau dobutamin sebagai sebuah infusi kontinyu melalui sebuah saluran sentral. Pasien dengan infarksi hemisferik yang menempati banyak ruang diobati dengan hemikraniektomi dekompresif atau hiptermia terapeutik seperti disebutkan sebelumnya dalam literatur. Ukuran-ukuran terapeutik spesifik tidak digunakan sampai ICP mencapai 20 mmHg atau tanda-tanda klinis Icp yang meningkat telah terlihat. Sebagai terapi standar, pasien-pasien ini pertama kali diobati dengan 200 mL larutan mannitol 20%.
  
Kami memberikan larutan-garam hipertonik jika terapi standar dengan mannitol memiliki efek yang terbatas dan berlangsung singkat atau tidak ada efek dan 1 atau 2 dari kriteria berikut dipenuhi: ()1) peningkatan ICP secara posntan >20 mmHg yang terus menerus selama >5 menit atau (2) pelebaran pupillary bilateral atau unilateral yang baru diamati. Selanjutnya, 75 mL larutan-garam 10% (3422 mIsm/L) diberikan melalui sebuah kateter vena sentral selama periode 15 menit. Efikasi pengobatan ini dinilai 10 menit setelah akhir infusi (yakni, 25 menit setelah dimulai). Terapi dikelompokkan berhasil jika ICP turun >10% dari nilai awal atau reaksi pupillary telah menjadi normal (pada pasien-pasien dengan abnormalitas pupillary). Pasien dimana terapi dengan larutan-garam hipertonik tidak berhasil, segera diobati dengan larutan buffer THAM, hiperventilasi jangka pendek, atau barbiturat. Terapi dengan larutan-garam hipertonik bisa diulangi pada pasien yang sama jika pengobatan pertama telah berhasil dan kriteria untuk intervensi dipenuhi kembali.
  
Parameter-parameter berikut dinilai pada awal dan setelah 5, 10, 15 (akhir infusi), 25, 35, 45, 60, 120, 180, dan 240 menit; ICP, MAP, CPP, dan reaksi pupillary. Reaksi pupillary dikategorikan normal, abnormal unilateral (membesar atau areaktif), atau abnormal bilateral. Osmolaritas darah; kadar sodium, potasium, dan klorida; PaCO2; PaO2; hematokrit; hemoglobin; dan pH ditentukan pada awal, setelah 15 menit (akhir infnusi), dan setelah 60 menit.
  
Selama 60 menit pertama, parameter-parameter ventilasi dan obat yang bersamaan – khususnya, laju infusi epinefrin atau penggantian volume tambahan – dipertahnakan, dan prosedur perawatan seperti turning atau penghisapan endotrakea dibatasi seminimal mungkin. Pasien yang terapi vasopressor atau parameter ventilasinya harus dimodifikasi selama 60 menit pertama setelah infusi larutan-garam hipertonik dikeluarkan dari analisis lebih lanjut. Kriteria eksklusi yang umum untuk pengobatan dengan larutan-garam hipertonik adalah gagal ginjal oligurat, edema paru, dan gagal jantung. Larutan-garam hipertonik tidak diberikan jika kadar sodium baseline adalah >150 mmol/L. Hasil akhir pasien dinilai 2 pekan setelah perujukan dengan skala hasil-akhir Glasgow (GOS).
  
Penelitian ini dilakukan menurut standar kometik etika setempat. Izin didapatkan dari kerabat pasien. Semua analisis data dilakukan tanpa identifikasi pasien.
  
Analisis statistik dilakukan dengan uji Wilcoxon signed-rank untuk mendeteksi perbedaan antara masing-masing titik waktu dan nilai-nilai awal. Perbedaan dianggap signifikan pada nilai P<0,05. Data dipresentasikan sebagai nilai mean±SD. Analisis statistik dilakukan untuk nilai-nilai yang didapatkan dalam 60 menit pertama saja, karena kami tidak dapat mempertahankan faktor-faktor pengaruh yang mungkin seperti prosedur perawatan, parameter ventilasi, atau obat lain selama periode waktu yang lama.

Hasil
  
Secara keseluruhan, 22 kejadian diobati pada 8 pasien (4 wanita; usia rata-rata, 59,8±8,8 tahun). Dari 6 pasien dengan infark hemisferik besar, 2 mengalami bedah dekompresif; 4 pasien lainnya dengan infark hemisferik besar diobati dengan hipotermia ringan sampai sedang terapeutik. Interval rata-rata antara onset stroke dan pemberian larutan-garam hipertonik pertama adalah 69 jam (rentang, 38 sampai 109 jam). Pada pasien yang diobati dengan hipothermia, krisis ICP terjadi hampir hanya selama atau beberapa saat setelah rewarming.
  
Indikasi untuk terapi dengan larutan-garam hipertonik adalah (1) peningkatan ICP >20 mmHg pada 18 episode, (2) abnormalitas pupillary yang baru diamati pada 3 episode, dan (3) krisis ICP plus abnormalitas pupillary pada 1 episode lainnya. Terapi standar yang mendahului dengan mannitol tidak memiliki efek sama sekali pada 1 pasien dan menghasilkan efek yang tidak cukup dan berlangsung singkat pada 7 pasien lainnya. Terapi bersamaan mencakup infusi obat-obatan vasopressor kontinyu selama periode pengamatan pada 18 episode.
  
Pada akhir penelitian, 4 pasien meninggal akibat hipertensi intrakranial tak terkendali (GOS 5). Empat pasien lainnya tetap mengalami kecacatan parah (GOS 3).
  
Terapi dianggap berhasil 10 menit setelah akhir infusi pada semua episode.
  
ICP, MAP, dan CPP ditunjukkan pada Gambar. Rata-rata ICP awal adalah 26,7±6,8 mmHg. Beberapa saat setelah dimulainya infusi mannitol, ICP turun signifikan (P < 0,001 untuk semua titik waktu). Setelah 15 menit, pada akhir infusi, ICP menurun sebesar 22% sampai 20,8±6,1 mmHg. Penurunan tertinggi ICP dari kadar awal, 38%, terjadi setelah 35 menit (menjadi 16,8±6,5 mmHg, P<0,0001).
  
MAP awal adalah 92,4±19,3 mmHg dan tetap tidak berubah kecuali untuk titik waktu pada akhir infusi (rata-rata peningkatan 8,0% sampai 99,8±16,2 mmHg, P < 0,05).
  
Utamanya sebagai efek perubahan ICP, CPP secara signifikan lebih tinggi pada awal di semua titik waktu. CPP awal adalah 65,7±17,4 mm Hg. Peningkatan CPP paling jelas setelah 15 menit pada akhir infusi (rata-rata peningkatan 20,2% menjadi 79,0±14,2 mm Hg, P < 0,001).
  
Gas darah arterial, pH, osmolaritas, elektrolit serum, dan hematokrit/hemoglobin diberikan pada Tabel. Pada akhir infusi, kadar hematokrit dan hemoglobin berkurang. Selanjutnya, kadar hemoglobin meningkat kembali tetapi masih di bawah nilai awal setelah 60 menit. Kadar sodium dan klorida serum meningkat sebesar 5,6 mmol/L setelah 15 menit. Kadar klorida dan sodium serum menurun setelahnya tetapi masih tetap meningkat setelah 60 menit.
  
Osmolaritas darah meningkat sebesar 9 mOsm/L pada akhir infusi. Setelah titik waktu tersebut, osmolaritas turun kembali; akan tetapi, setelah 60 menit, osmolaritas masih lebih tinggi dibanding nilai awal.
  
pH sedikit turun sebagai akibat dari asidosis hiperkloremik. Disamping itu, ada sedikit penurunan kadar potasium.
  
PaO2 dan PaCO2 tetap tidak berubah selama periode pengamatan. Kami tidak menemukan adanya efek samping atau khususnya tanda dekompensasi kardiovaskular atau pulmonary.
  
Intervensi berulang menjadi perlu pada semua kecuali 1 pasien (mean, 2,8 kejadian per pasien; rentang, 1 sampai 4). Karena jumlah kejadian berulang yang kecil, analisis lebih lanjut terhadap efek intervensi berulang tidak dilakukan.

Diskusi
  
Dalam penelitian ini, infusi bolus larutan-garam hipertonik secara konsisten mengarah pada pengurangan sedang dan pengurangan substansial ICP yang meningkat akut dan mengarah pada peningkatan CPP yang signifikan, sehingga mencerminkan efek terhadap ICP. Pada semua pasien, pengobatan sebelumnya dengan mannitol tidak efektif. Khususnya penting bahwa infusi larutan-garam hipertonik sangat efektif, walaupun osmolaritas meningkat signifikan sebelum dimulainya pengobatan dengan larutan-garam hipertonik akibat terapi sebelumnya dengan mannitol. Muatan osmolar 75 mL larutan-garam 10% (3422 mOsm/L) sebanding dengan 200 mL mannitol 20% (1100 mOsm/L). Seseorang bisa berspekulasi bahwa pemberian mannitol berulang bisa mendorong efek-efek yang sama, tetapi pada situasi darurat ini dengan ICP yang meningkat akut, kami tidak menganggap wajar untuk mengulangi pengobatan yang pada awalnya tidak berhasil. Efek osmotik larutan-garam hipertonik bisa lebih jelas dibanding dengan jumlah mannitol yang sebanding, karena, meskipun dengan berat molekuler yang jauh lebih tinggi untuk sodium, permeabilitas pembatas darah-otak lebih rendah untuk sodium. Volume larutan-garam hipertonik lebih kecil dibanding untuk mannitol; akan tetapi, volume total kedua preparasi begitu kecil sehingga perbedaan ini kemungkinan tidak memiliki relevansi klinis. Mannitol bertindak sebagai sebuah obat diuretik potensial. Larutan-garam hipertonik juga memiliki efek diuretik 2-kali lipat; secara langsung sebagai konsekuensi natriuresis dan secara tidak langsung melalui pelepasan hormon natriuretik atrial. Kelebihan lain dari larutan-garam hipertonik dibanding mannitol adalah harganya yang sangat rendah. Infusi larutan-garam hipertonik juga bisa membawa beberapa risiko. Perubahan cepat konsentrasi natrium serum bisa menghasilkan seizure dan terkait dengan myelinolysis pontin sentral, walaupun ini kelihatannya terjadi sebagian besar pada kondisi kronis hiponatremia. Sampai sekarang, belum ada laporan myelinolisis pontin sentral setelah pemberian larutan-garam hipertonik. Komplikasi pengobatan yang mungkin lainnya dengan larutan-larutan hipertonik secara umum seperti gagal jantung, edema paru, hemolysis, dan abnormalitas koagulasi tidak ditemukan pada pasien kami. Setelah penggunaan larutan-larutan hipertonik dalam jangka lama, asidosis hiperkloremik akan terjadi. Pada pasien kami, pH turun signifikan setelah pemberian larutan-garam hipertonik, tetapi tingkat perubahan cukup kecil dan kemungkinan tidak relevan secara klinis. Untuk mencegah asidosis hiperkloremik, larutan-garam hipertonik/larutan asetat telah digunakan pada pasien-pasien secara kontinyu diobati dengan larutan-garam hipertonik. Ini kemungkinan tidak perlu jika larutan-garam hipertonik diberikan sebagai sebuah infusi bolus. Akan tetapi, penggunaan larutan-garam hipertonik secara berulang akan dibatasi oleh hipernatremia, yang tak terhindarkan terjadi setelah berbagai pengobatan. Berbeda dengan itu, mannitol mengarah pada pada hiponatremia. Karena efek-efek komplementernya terhadap kadar sodium, yang mana bisa membatasi penggunaan berulang obat, mannitol dan larutan-garam hipertonik, bisa digunakan silih berganti jika pengobatan berulang diperlukan.
  
Telah diusulkan bahwa infusi mannitol berulang bisa memperburuk edema otak jika zat-zat osmotik bermigrasi melalui sebuah sawar (barrier) darah-otak ke dalam jaringan otak, sehingga membalikkan gradien osmotik. Kelihatannya tidak mungkin bahwa sawar (barrier) darah-otak yang rusak akan mempertahankan permeabilitas selektifnya; dengan demikian, efek negatif yang diduga kemungkinan terjadi dengan larutan-garam hipertonik juga. Disamping itu, agen-agen osmotik sebagian besar mengarah pada dehidrasi dan penyusutan jaringan otak normal dan bisa mendukung displasement jaringan otak dan bahkan meningkatkan risiko herniasi. Akan tetapi, sampai sekarang, pertimbangan-pertimbangan yang masih sebagian besar teoretis ini tidak terlalu meyakinkan dalam penelitian-penelitian klinis. Pada 2 pasien, pembentukan edema akhir dalam perjalanan perdarahan intraserebral telah dikaitkan dengan pemberian larutan-garam hipertonik yang lama, tetapi harus dicatat bahwa pembentukan edema akhir sering terjadi pada kelompok pasien ini tanpa memperhitungkan ukuran-ukuran terapeutik.
  
Pada pasien euvolemic kami, tekanan darah arterial tidak berubah terus menerus setelah infusi larutan-garam hipertonik. Hasil ini sesuai dengan penelitian klinis dan eksperimental lain yang telah menunjukkan bahwa berbeda dengan pasien yang mengalami syok perdarahan, tekanan darah tetap tidak terkena atau bahkan berkurang setelah larutan-garam hipertonik, kemungkinan karena penurunan resistensi perifer.
  
Pada sebuah penelitian sebelumnya, kami mengevaluasi  larutan-garam hipertonik yang digabungkan dengan HS-HES dibanding dengan pengobatan standar dengan mannnitol. Walaupun hasil dari kedua penelitian tidak begitu berbeda, kriteria inklusi dan modalitas pengobatan hampir identik (7,5 g sodium klorida diinfusi selama 15 menit pada kedua penelitian). Efek HS-HES yang disebutkan sebelumnya terhadap parameter-parameter laboratorium, ICP dan MAP, hampir identik dengan yang didapatkan dalam penelitian kali ini yang menggunakan larutan hipertonik saja. Mekanisme efek HS-HES cukup kompleks, karena terdiri dari dua komponen: sodium klorida, yang bertanggung jawab utamanya untuk gradien osmotik, dan HES, yang ditambahkan untuk mempertahnakan efek volume singkat dari larutan-garam hipertonik. Untuk meningkatkan mikrosirkulasi serebral, HES atau dekstran telah digunakan selama bertahun-tahun pada stroke tetap gagal untuk meningkatkan hasil-akhir pasien. Sampai sekarang, kelebihan penambahan koloid ke dalam larutan-garam hipertonik dibanding larutan-garam hipertonik saja belum ditunjukkan pada berbagai penelitian hewan atau klinis. Kami merekomendasikan agar koloid tidak digunakan sebagai tambahan bagi larutan-garam hipertonik sampai ada banyak bukti yang mendukung strategi pengobatan ini.
  
Dalam penelitian ini, kami menilai efek-efek dini dari larutan-garam hipertonik. Kelihatannya tidak dapat disangkal bahwa larutan-garam hipertonik bisa mengurangi ICP yang meningkat (sekurang-kurangnya secara sementara) sehingga bermanfaat dalam situasi-situasi emergensi pada pada pasien akut sebelum terapi seperti evakuasi hematoma atau bedah dekompresif dilakukan. Efek jangka panjang dari pengobatan berulang atau kontinyu dengan larutan-garam hipertonik pada pasien stroke masing tetap belum jelas. Pada sebuah populasi pasien campuran dengan berbagai kondisi patologi intrakranial yang mengarah pada edema otak, larutan-garam hipertonik (3%)/asetat gagal menunjukkan efek bermanfaat pada displacement lateral otak dan ukuran hasil-akhir lainnya pada pasien-pasien yang mengalami stroke ischemik dan stroke hemoragik.
  
Hasil yang kami peroleh sangat menunjukkan bahwa larutan-garam hipertonik bisa digunakan dengan berhasil pada pasien-pasien dengan ICP yang meningkat akut setelah stroke, bahkan setelah pengobatan konvensional dengan mannitol tidak berhasil. Konsentrasi optimal dan dosis, durasi dan cara terapi, dan khususnya keamanan dan efikasi jangka panjang dari pengobatan ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut. Akan tetapi, walaupun larutan-garam hipertonik bukan merupakan peluru ajaib untuk pengobatan edema otak, namun hasil yang kami peroleh menunjukkan bahwa larutan-garam hipertonik sekurang-kurangnya merupakan sebuah alternatif yang bermanfaat bagi terapi yang ada sekarang untuk edema otak setelah stroke.

Kesimpulan
  
Dosis tunggal 75 mL larutan-garam hipertonik (10%) mengurangi ICP yang meningkat dan memperbesar CPP pada pasien-pasien yang mengalami edema otak setelah stroke setelah terapi standar dengan mannitol tidak berhasil, bahkan jika osmolaritas sebelumnya meningkat akibat pengobatan dengan mannitol. Larutan-garam hipertonik tidak memiliki efek utama terhadap MAP. Efek terhadap ICP dan CPP paling menonjol setelah pemberian tetapi diamati selama 4 jam. Efek samping yang tidak diharapkan tidak terjadi. Larutan-garam hipertonik bisa digunakan dengan sukses setelah mannitol tidak berhasil.

Comments

Popular posts from this blog

Kemajuan-kemajuan terbaru dalam memahami patogenesis pemfigus vulgaris

Sintesis Kolagen

Hubungan antara Penggunaan DMPA (Depot Medroksiprogesteron) dengan Perdarahan Uterin yang Meningkat pada Wanita yang Memiliki Berat-badan-berlebih dan Gemuk